Muhammad Kholid Asyadulloh
Lucu dan menggemaskan! Dua kalimat ini tampaknya cukup
mewakili pemerhati Muhammadiyah ketika membaca tulisan Ahmad Khoirul Fata (AKF)
tentang Muhammadiyah dan Ahmadiyah (Jawa Pos, 28/4). Lucu, karena tulisan itu
menunjukkan betapa minimnya pengetahuan sang penulis tentang
ke-Muhammadiyah-an. Menggemaskan, karena AKF telah mendistorsi ketokohan salah
satu besar Muhammadiyah KH. M. Yunus Anis, sebagai penganut Ahmadiyah.
Namun, di situlah mungkin terletak kelebihan sekaligus
kekurangan AKF dalam melihat dan membaca (tokoh) Muhammadiyah. Saat menanggapi
tulisan Asvi Warman Adam Belajar dari Sejarah Ahmadiyah (Jawa Pos, 24/04/08),
dia menyimpulkan kalau Asvi hanya menyampaikan fakta sejarah yang sepenggal.
Untuk memperkuat argumentasinya, Koordinator Jaringan KB Muda PII Jawa Timur
itu menulis "beberapa literatur justru menunjukkan" berbagai
kesalahan Asvi.
Sayangnya, pembaca harus terbohongi oleh kata
"beberapa literatur" sebagaimana yang dijanjikan AKF. Sebab, dari
awal hingga tulisan berakhir ternyata tidak ada literatur lain yang disebutkan,
kecuali hanya Peladjaran Agama Islam karya Buya HAMKA. Yang lebih hebat lagi,
tulisan AKF adalah rangkuman dari 11 halaman salah satu bab yang membahas Ahmadiyah-Bahai.
Luar biasa bukan?
Fatalnya lagi, AKF membuat rumor yang menyatakan KH. M.
Yunus Anis sebagai pengikut Ahmadiyah. Gosip ini semakin konyol ketika ulama
itu merupakan salah satu korban yang dikeluarkan dari Muhammadiyah pada tahun
1927. "Dagelan" itu menunjukkan bahwa sang penulis tidak pernah
melakukan konfirmasi dan konfrontasi dengan buku lain untuk melacak lebih
lanjut siapakah sebenarnya Yunus Anis?
Bagi pembaca yang paham tentang kesejarahan Muhammadiyah,
mereka tentu akan tertawa saat membaca tuduhan Yunus Anis sebagai penganut
Ahmadiyah, apalagi dipecat dari Muhammadiyah. Sebab, siswa SD Muhammadiyah pun
minimal sudah membaca riwayat hidup putra abdi dalem Kraton Yogyakarta H. M.
Anis itu. Namun, bagi kalangan grass root, tuduhan itu tentu sangat mengganggu,
bahkan mungkin sudah memasuki tahap meresahkan. Di manakah letak
ke-Ahmadiyah-an Yunus Anis, sehingga status ke-Muhammadiyah-annya diragukan?
Dengan kata lain, lontaran AKF terhadap Yunus Anis
sebagai tindakan yang sangat-sangat ceroboh. Pertama, jika mengikuti logika
AKF, seharusnya nama Yunus Anis juga sudah tidak beredar di Muhammadiyah sejak
dipecat pada 1927. Namun, sejarah mencatat, dan ini bisa dilihat di banyak buku
ke-Muhammadiyah-an, Yunus Anis adalah Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah
periode 1959-1962 yang terpilih dalam muktamar ke-34 di Yogyakarta.
Lebih jauh lagi, selain dikenal sebagai muballigh, Yunus
Anis lebih dikenal sebagai organisator dan administrator yang ulung. Tidak
heran jika sebelum terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, dia menjabat
sebagai Sekretaris Umum PP dalam dua periode, yaitu 1942-1953 dan 1953-1959.
Adalah sangat aneh jika sudah dikeluarkan sejak 1927, tetapi mendapatkan banyak
amanah dan kepercayaan dari keluarga besar Muhammadiyah. Yang benar saja?!
Kedua, AKF menulis bahwa syariat Ahmadiyah adalah
mengekalkan kolonialisme dengan melemahkan perlawanan umat Islam (jihad). Jika
"kelembekan" dijadikan alasan Yunus Anis sebagai penganut Ahmadiyah,
maka fakta yang paradoks akan tersuguhkan. Sebab, dialah satu-satunya Ketua
Umum PP Muhammadiyah yang berlatar belakang militer, tepatnya Kepala Pusroh
Angkatan Darat Republik Indonesia (Imam Tentara) sejak 1954, dengan pangkat
terakhir Letnan Kolonel.
Dalam buku HM Yunus Anis, Amal, Pengabdian dan Perjuangannya,
terungkap pengakuan Jendral Nasution memilih Yunus Anis masuk Angkatan Darat.
Nasution ingin agama menjadi bagian hidup keseharian para prajurit, sehingga
diperlukan pembinaan mental prajurit seperti yang pernah diinginkan jendral
Sudirman. Yunus Anis dinilai sebagai orang yang cakap karena kedalaman ilmu
agama, pengalamannya berorganisasi dan kemampuannya berkomunikasi.
Ketiga, yang perlu diketahui oleh AKF, Yunus Anis adalah
orang yang berperan besar dalam membentuk karakter Muhammadiyah. Rumusan
Keperibadian Muhammadiyah sebagai salah satu identitas pokok organisasi yang
didirikan KH. Ahmad Dahlan itu tidak lepas dari campur tangannya saat berada di
puncak Muhammadiyah. Dalam periode itu dibentuk tim perumus yang diketuai oleh
KH. Faqih Usman, dan diputuskan pada pada Muktamar ke-35 tahun 1962.
Singkatnya, sejak muncul di dunia ini pada 30 Mei 1903,
Yunus Anis adalah orang yang “lurus-lurus” saja. Sejak kecil dia dididik agama
oleh kedua orang tuanya dan datuknya sendiri, dan melanjutkan pendidikan
formalnya di Sekolah Rakyat Muhammadiyah Yogyakarta , Sekolah Al-Atas, dan
Sekolah Al-Irsyad Jakarta. Semasa hidup dia banyak terjun ke masyarakat untuk
mengembangkan misi dakwah dan Muhammadiyah di berbagai daerah di Indonesia .
Tidak ada yang kontroversial dalam perjalanan hidup Yunus
Anis sebagai warga Muhammadiyah, terkecuali dalam dunia politik praktis. Dia
mengabulkan permintaan Jenderal AH. Nasution, agar bersedia menjadi anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) yang sedang disusun oleh Presiden
Soekarno pada 1959. Kesediaannya menjadi anggota DPRGR mengundang banyak
kritikan dari para tokoh Muhammadiyah, karena Muhammadiyah saat itu tidak
mendukung kebijakan Soekarno yang membubarkan Masyumi dan menyusun anggota
parlemen secara otoriter.
Namun, kritik itu dijawab bahwa keterlibatannya dalam
DPRGR bukanlah untuk kepentingan politik jangka pendek, tetapi untuk
kepentingan jangka panjang, yaitu mewakili ummat Islam yang nyaris tidak
terwakili dalam parlemen saat itu. Sebab, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 telah
menimbulkan berbagai macam peristiwa politik yang tidak sehat, terutama
dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dengan kata lain, orang Muhammadiyah 24 karat kok dituduh
Ahmadiyah. Apa kata dunia?! Allah A'lam bi al-Shawab.