(Re)aktualisasi Dakwah Emansipatoris

Muhammad Kholid Asyadulloh
Sumber: Surya, 19 November 2007



Pada tanggal 18 November 2007 ini, Muhammadiyah genap berusia 95 tahun menjejakkan langkahnya di nusantara. Selama hampir satu abad itu, organisasi keagamaan yang didirikan KH. Ahmad Dahlan ini mendapatan tidak sedikit pujian atas kiprahnya. Ribuan institusi pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, serta berbagai amal usaha lainnya, merupakan sedikit di antara prestasi monumental yang dicatatnya. Bagi kalangan Muhammadiyah sendiri, berbagai produk tersebut tentu saja menjadi kebanggaan tersendiri.
Namun dalam situasi kontemporer, di mana konstruksi sosial sudah jauh berbeda dengan saat kelahirannya, Muhammadiyah justru terkesan mulai kehilangan vitalitas untuk merespon zamannya. Dimulai pada muktamarnya yang ke-41 di Surakarta, berbagai kritik tajam mulai ditujukan kepada organisasi kegamaan terbesar kedua di Indonesia ini. Gerakan purifikasi (tanzih) yang awalnya berfungsi sebagai pembebasan manusia dari kebodohan dan mistifikasi agama, kini justru membelenggu aktivisnya dalam logosentrisme yang despotic.
Menyadari wajahnya yang kurang bersahabat ini, maka sejak tanwir Bali 2002 dan Makassar 2003, Muhammadiyah mulai memperbincangkan dakwah kultural. Maksud dakwah ini adalah “upaya menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas, dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Definisi ini mengisyaratkan bahwa yang terpenting dari dakwah Muhammadiyah adalah proses yang dilaluinya, kendati hasilnya tidak selamanya harus sesuai dengan yang diinginkan.
Sayangnya, kendati konsepnya telah dibahas sejak tiga tahun silam, ternyata implementasinya kurang begitu ekselent. Bahkan pascamuktamar ke-45, 03-08 Juli 2005, di Malang, konsep dakwah emansipatoris ini seakan mulai kehilangan relevansinya untuk dibicarakan, apalagi untuk diaktualisasikan dalam keseharian. Justru Muhammadiyah semakin menampakkan wajahnya yang puritanis dan hegemonik, yang tentunya berakibat pada semakin kukuhnya konservatisme dalam kesadaran warganya.
Tidak salah jika 7 tahun silam, kader Muhammadiyah M. Azhar dan Hamim Ilyas telah mengidentifikasi adanya 3 penyakit akut Muhammadiyah yang membutuhkan penanganan holistic dan secepatnya. Pertama, nalar pemikiran Islam di Muhammadiyah lebih mengedepankan keangkuhan aksiomatik-possitivistik-monistik. Paradigma ini ditunjukkan oleh aktivisnya yang begitu menjadi mudah untuk mencari legitimasi di balik term-term keagamaan dalam menghukumi “salah” pada sebuah realitas. Pencarian kebenaran yang seharusnya tetap membuka pintu dialog dalam artikulasi yang simultan ditutup secara sepihak, dengan menghadirkan kebenaran instant yang diklaimnya sebagai yang “paling murni”.
Kedua, wilayah tajdid yang dilakukan oleh Majlis Tarjih, terjebak pada fiqh oriented, yang tentu saja berakibat pada pemiskinan dan penyempitan lapangan tajdid. Ekstasi ini berakibat pada hasil ijtihad yang keseluruhannya didasarkan pada kacamata fiqihisme Arab, hingga tidak cukup relevan untuk zamannya. Berbagai problema selalu diselesaikan dengan nalar bayani, dengan superiornya teks teks dalam mengganyang otoritas nalar kritis.
Penyakit yang ketiga adalah mulai maraknya perilaku sakralisasi produk pemikiran keagamaan sebagai kebenaran yang absolut. Buku Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah (HPTM) yang sebenarnya adalah hasil ijtihad Majlis Tarjih yang dikodifikasikan sejak 1927 seakan sudah menjadi “kitab suci” warga Muhammadiyah daripada Al-Qur’an dan Al-Hadits sendiri. Tanpa disadari, tidak sedikit warga Muhammadiyah, khususnya kalangan grass root, yang menyatakan bahwa seseorang muslim yang baik adalah saat dirinya sudah memahami betul kandungan HPTM.
Ketiga fenomena ini jika dikomparasikan dengan basis epistemologi yang dibangun oleh founding father Muhammadiyah sendiri, tentu sangat paradoks. Sebab, KH. Ahmad Dahlan malah menekankan pentingnya sikap terbuka dalam menerima sebuah kebenaran serta kesediaan belajar kepada orang lain. Sehingga dakwah yang dilakukannya tidak sekedar bertujuan meneguhkan identitas keagamaan, tetapi lebih kepada pembelaan hak-hak masyarakat marginal yang diakibatkan oleh ketidakadilan, tanpa memandang perbedaan kategori-kategori sosial yang memisahkan manusia.
Epistemologi ini secara eksplisit dikemukakannya dalam khutbah wada’nya di Bulan Desember 1922. Dia menyatakan bahwa problem kelemahan umat Islam justru diakibatkan oleh sikap umat Islam sendiri, di mana setiap orang, pemimpin, dan kelompok, merasa paling benar sendiri, dan menganggap segala yang datang dari orang lain selalu salah, buruk, dan jahat. Padahal seharusnya praksis Islam harus disandarkan pada kesatuan manusia dalam bersikap kritis terhadap kebenaran yang diyakini.
Sejalan dengan tuntutan perubahan sosial yang terjadi, sesuai dengan putusan tanwir Muhammadiyah 2003 di Makassar, maka dakwah kultural merupakan langkah yang cukup ekselent. Sebab konsep dakwah ini memuat aplikasi dakwah yang berhadapan vis a vis dengan persoalan lokal, ancaman budaya global, apresiasi seni, tantangan multimedia, gerakan jama’ah dan dakwah jama’ah.
Konsep ini secara tidak langsung mengharuskan Muhammadiyah mulai merambah (kembali) ruang-ruang publik yang selama ini tidak menjadi prioritas dakwahnya. Berbagai isu semacam krisis pembangunan, kemiskinan, ketenagakerjaan, penggusuran, kesejahteraan petani dan buruh, lingkungan hidup, kolusi, koupsi, nepotisme, civil society, good governance, dan lain-lain, merupakan artikulasi dakwah ala Muhammadiyah tersebut.
Untuk menggeser paradigma Muhammadiyah dalam mengusung dakwah ini, maka yang harus dilakukan adalah meletakkan Islam dan sumber-sumber referensinya sebagai sesuatu yang berasal dan terbentuk dalam komitmen untuk mentransformasikan masyarakat dari realitas ketidakadilan, baik yang disebabkan oleh negara, lembaga-lembaga sosial ekonomi, serta relasi-relasi lainnya yang tidak berjalan dalam equalitas.
Interpretasi ini memberikan pemahaman bahwa setiap manusia yang hidup, baik kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, muslim atau non-muslim, keseluruhannya mempunyai hak keadilan yang sama. Sebab esensi kemanusiaan merupakan anugerah dari Tuhan, yang tidak berhubungan sama sekali dengan budaya, geografi, gender, serta sekat-sekat sosial lainnya. Esensi dakwah adalah memperjuangkan keadilan bagi kelompok-kelompok marginal yang “disistematiskan” oleh kekuatan hegemoni negara, pasar, atau bahkan agama itu sendiri.
Bersamaan dengan umurnya yang memasuki 95 tahun ini, sudah saatnya visi dakwah Muhammadiyah kembali diletakkan sebagai gerakan transformasi yang mampu melampaui sekat-sekat kelas dan ideologi. Selain bertujuan untuk menghadang kemungkaran sosial, dakwah ini juga berfungsi untuk merobohkan ketidakadilan politik bagi masyarakat yang selalu dijadikan sebagai obyek sejarah yang terus dieksploitasi. Mampukah generasi Muhammadiyah kekinian mengemban amanat untuk me(re)aktualisasikan dakwah emansipatoris tersebut? Allahu A’lam bi al-Shawab