Pendidikan Toleransi dalam Haji

Muhammad Kholid Asyadulloh
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, alumnus Pesantren Al-Mukmin Ngruki Surakarta
MEDIA INDONESIA, 14 September 2015



Melalui media massa cetak dan elektronik, publik Indonesia pada hari-hari ini diperlihatkan sebuah pertunjukan akbar yang bernama haji. Meski berlokasi jauh di negeri Arab Saudi, tapi kecanggihan teknologi telah membantu umat Islam di tanah air bisa melihat secara “dekat” sekaligus mengambil ‘ibrah dari ritual tahunan itu. Pelajaran penting yang patut dipetik adalah bagaimana ibadah personal dalam komunal universal ini menjadi media pendidikan untuk meningkatkan toleransi.
Haji secara faktual menampakan wajah Islam yang kosmopolit. Ia menampilkan wajah umat Islam dengan berbagai karakter khas yang dibawa oleh masing-masing jamaah dari negerinya. Haji menjadi ruang sosioreligi yang memungkinkan terjadinya interaksi antar bangsa, meski masih sebatas satu agama, yang seharusnya menumbuhkan sikap apresiatif terhadap perbedaan. Langsung maupun tidak, setiap jemaah “dipaksa” untuk mengaktualisasikan sikap toleransi dengan jemaah lain yang berbeda adat dan budaya, bahasa, warna kulit, bahkan tata cara ibadah.

Ritual keagamaan yang melibatkan jutaan umat Muslim dari berbagai penjuru dunia ini menyediakan ruang proporsional bagi tiap ragam manusia yang berbeda latar belakang. Umat Islam yang berfaham Sunni maupun Syiah yang dalam beberapa tahun terakhir terlibat “pertengkaran” di Timur Tengah misalnya, mereka bisa bertoleransi secara elegan saat berada di tanah suci. Belum lagi perbedaan tata cara beribadatan, terutama shalat, semakin menambah indah orkestra harmoni dalam keragaman. Dalam haji tidak ada perilaku saling tuduh aliran sesat karena masing-masing semua berfokus pada tujuan yang sama: Tuhan.
Bahkan kalau dicermati lebih seksama, bagi jemaah asal Indonesia, praktik bertoleransi ini telah dimulai sejak di tanah air. Dimulai ketika berangkat dari kabupaten berdomisili, singgah di asrama haji, terbang ke Arab Saudi, hingga saat berada pemondokan di tanah suci. Dalam berbagai fase ini setiap jemaah harus bisa “menoleransi” perilaku anggota rombongan yang sudah tentu punya adat-istiadat, kebiasaan, hingga faham keagamaan yang tidak sama.
Ketika ada anggota rombongan berusia lanjut yang bergerak lamban, semua anggota harus tetap menenggang dan menunggunya. Begitu juga ketika ada anggota yang kepayahan dalam melakukan sesuatu, anggota lainnya juga harus saling menolong agar tetap bisa bersama. Belum lagi jika dalam satu rombongan terdapat anggota berbeda “madzhab” keagamaan, sudah tentu dibutuhkan sikap yang mampu menenggang khilafiyyah itu. Toleransi menjadi salah satu kunci bagi terciptanya kelancaran perjalanan ke tanah suci.
Tidak heran jika Clingingsmith, sebagaimana yang dikutip Esty D. Imaniar (2015), pengalaman berhaji dapat meningkatkan kecintaan pada toleransi dan perdamaian. Haji yang melibatkan jutaan umat Islam yang berlatar belakang aliran, madzhab, kebiasaan, dan aksesoris lainnya mampu menumbuhkan penerimaan dan kemauan bekerja sama. Jika sebelumnya seorang jemaah hanya mengenal Islam di negaranya, bahkan dari sumber pengajar dan tempat yang homogen, praktik berhaji membuatnya hidup berdampingan dengan berbagai pemahaman dan praktik Islam di dunia.

Takfiri & aksiomatis perbedaan
Menempatkan haji sebagai pertunjukan akbar yang mengajarkan pendidikan toleransi ini tentu sangat relevan bagi bangsa Indonesia. Sebab, masyarakat Indonesia yang sebelumnya begitu identik dengan toleransi kini secara berlahan mulai terkikis dalam kehidupan praksis. Di kalangan umat Islam terdapat kelompok yang suka menghakimi, menanamkan kebencian, dan melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok lain dengan tuduhan sesat, kafir, liberal dan tuduhan stereotip lainnya (takfiri). Bahkan sebagaimana yang disinggung oleh Muktamar ke-47 Muhammadiyah dalam isu-isu strategis, akhir-akhir ini energi umat juga tersedot dalam persoalan pertentangan antara pengikut kelompok Sunni dengan Syiah.
Sikap mudah mengkafirkan pihak lain disebabkan oleh banyak faktor antara lain cara pandang keagamaan yang sempit, fanatisme dan keangkuhan dalam beragama, miskin wawasan. Sikap yang secara azali bertentangan dengan watak moderatisme Islam ini juga bisa dipicu oleh kurangnya interaksi keagamaan, pendidikan agama yang eksklusif, politisasi agama, serta pengaruh konflik politik dan keagamaan dari luar negeri, terutama yang terjadi di Timur Tengah. Kondisi ini membuat berbagai nilai keadaban berbagai agama yang sebelumnya sudah menjadi bagian integral dengan lokalitas keindonesiaan mulai mengalami krisis, dengan semakin hilangnya komitmen kebersamaan dalam keragaman.
Implikasi lanjut dari fenomena takfiri ini membuat “yang berbeda” menjadi terancam. Kalangan ini biasanya tidak segan-segan menganggap diri dan kelompoknya sebagai sumber kebenaran dan keselamatan, dengan menganggap kelompok yang tidak sepaham sebagai sesat. Berdalih menjaga “kemurnian” agama, kalangan ini memposisikan dirinya sebagai tuhan-tuhan kecil yang lebih berkuasa dari Tuhan yang sebenarnya.
Realitas ini menjadikan penting bagi umat Islam untuk menangkap pesan ibadah haji sebagai ritual yang menumbuhkan kesadaran bertoleransi. Sama halnya dengan peristiwa keagamaan lain, haji mengandung makna simbol-metaforis yang merepresentasikan nilai fundamental tentang pencerahan Islam. Bagi jemaah haji maupun yang tidak hadir di Mekkah, dengan kemajuan pesat teknologi, tentu punya kesempatan yang sama untuk menangkapnya sebagai media pembelajaran toleransi.
Toleransi merupakan sikap menenggang berupa menghargai serta membolehkan suatu pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan maupun yang lainnya yang berbeda dengan pendirian sendiri. Pelaksanaan sikap toleransi ini harus didasari sikap kelapangan dada terhadap orang lain dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang dipegang sendiri. Sehingga sikap ini tidak mengharuskan seseorang untuk mengorbankan prinsip-prinsip yang diyakininya hanya agar bisa diterima oleh kelompok lain yang berbeda.
Membangun sikap toleran harus ditumbuhkan karena fakta kehidupan menunjukkan bahwa perbedaan pendapat manusia merupakan sunnatullah. Tuhan telah menciptakan alam semesta ini dengan penuh keanekaragaman dan perbedaan. Manusia sebagai bagian dari alam pun diciptakan-Nya dengan wujud yang beragam pula suku, bangsa, golongan, warna kulit, dan bahasa. Kemampuan berpikir setiap manusia pun berbeda, yang tentu saja berimplikasi aksiomatis bahwa penalaran masing-masing individu tidak selalu sama.
Agama dalam tataran normatif memang entitas sakral dan celestial, yang tentu tidak perlu dipertanyakan lagi tentang kebenarannya. Namun, pemahaman terhadapnya oleh manusia merupakan persoalan yang profan seirama dengan horizon yang mengelilingi sang penafsir. Islam pada hakikatnya memang entitas yang sakral dan calestial, yang sudah tentu tidak perlu dipertanyakan lagi tentang kebenarannya. Kebenaran fakta Islam memanglah sesuatu yang serta-merta siap saji (ready made), melainkan “nilai langit” yang didaratkan di bumi yang membutuhkan peran aktif manusia untuk membaca dan menafsirnya.
Belum lagi karakter teks suci yang didasarkan pada realitas-realitas kemanusiaan yang profan, dan bersifat sosiologis, kultural, dan kebahasaan, semakin menambah ragam perbedaan dalam memahami agama. Bahasa dan teks merupakan medium untuk menyampaikan pesan wahyu, yang meski mempunyai keistimewaan, tetaplah merupakan produk budaya yang mempunyai sifat terbatas. Menyamakan ide Tuhan, hanya sebatas yang terungkap dalam simbol bahasa dan teks sama artinya mengecilkan Tuhan itu sendiri, karena dengan itu berarti telah “membatasi” Tuhan. Padahal Dia adalah Tidak Terbatas.
Untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dalam konteks kehidupan yang majemuk, maka membangun sikap hidup yang toleran merupakan agenda yang harus digalakkan. Toleransi bukan dimaksudkan untuk menyembunyikan ragam perbedaan, tapi bagaimana menjadikannya sebagai tantangan untuk berlomba-lomba dalam memberikan kontribusi bagi kemanusiaan. Apalagi ajaran etik Islam telah mengajarkan bahwa sepanjang iman masih dalam dada maka seberapa besar perbedaan di antara paham dalam Islam, maka ia masih berstatus saudara (QS. al-Hujurat {49}: 10).
Toleransi bukanlah sikap ragu-ragu, karena setiap orang dituntut memiliki pendirian dan yakin atas kebenaran pilihannya. Tetapi dia harus tetap menjunjung tinggi hak orang lain untuk berbeda pendapat, sekalipun dalam keyakinannya itu adalah salah. Pendidikan untuk selalu menumbuhhidupkan sikap toleransi inilah yang seharusnya bisa ditangkap umat Islam ketika melihat perhelatan haji setiap tahun. Allah a’lam bi al-shawab.