Relativitas Tafsir Kebenaran Agama

Muhammad Kholid Asyadulloh
*)Peneliti Institute for Religion and Society Studies (IRSoS), Alumnus Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo
Koran Junal Nasional, 04 Mei 2012

Fenomena saling mengkafirkan sesama umat beragama menjadi noda hitam bangsa yang tidak sulit dijumpai sepanjang masa. Terbaru, sekelompok orang menyerang dan merusak sebuah masjid milik Ahmadiyah di Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat (20/4). Sehari berikutnya, sekelompok orang merusak Pesantren Terbuka Robbaniy di Jember, Jawa Timur (21/4). Padahal konflik serupa di Sampang, Jawa Timur (29/12/11) dengan aliran Syiah menjadi sasaran penyesatan juga masih jauh dari selesai.
Berdalih menjaga “kemurnian” agama, tidak sedikit agamawan tidak segan-segan menjustifikasi benar dan salahnya pemahaman tertentu. Di negeri ini seakan berlaku hukum yang mengandaikan bahwa pemikiran yang berbeda dari “mainstream” mayoritas harus diluruskan sesuai dengan parameter-parameter yang diusungnya. Terdapat kekakuan identitas komunal yang mempercayai keimanannya sebagai tersuper, dan memandang lainnya sebagai rendah dan tidak autentik.

Setiap kebenaran selalu didefinisikan dari derivasi tekstualitas yang monistik, dengan wujud monopoli ekspresi dan pengalaman beragama (Al-Jabiri: 1994). Hal inilah yang mengakibatkan maraknya perilaku yang bercirikan standar ganda (double standard), dengan menganggap diri dan kelompoknya paling benar (truth claim), dan pihak lain sebagai sumber kesesatan (dlalalah). Meminjam teoritisasi Khaled Abou El Fadl (2001), terdapat agamawan yang  merasa dirinya paling otoritatif dalam menafsirkan ajaran keagamaan.
Perasaan ini sudah tentu mempermudahnya untuk terjebak pada tindakan yang otoriter, mengingat batas otoritatif dan otoriter memang sangatlah tipis. Jika otoritatif mengandaikan adanya pengkajian mendalam sebelum bertindak, maka otoriter akan menunjukkan dirinya sebagai pihak yang paling otoritatif dan wajib diikuti. Sebagai konsekuensinya, kesadaran Ilahiah sebagai akar keberagamaan telah mengalami materialisasi, yang tergambar dari keangkuhan manusia yang merasa paling tahu tentang kehendak Tuhan. Kecenderungan materialisasi kesadaran Ilahiah inilah yang membuat “tafsir” tentang Tuhan dan kebenaran-Nya menjadi sempit dan terbatas.

Setiap agama membuat batas keras terhadap tafsir firman dan perbuatan Tuhan yang satu dan tunggal, sehingga tidak jarang Tuhan dan agama-Nya pun menjadi perebutan ideologi, politik kekuasaan, dan ekonomi pasar (Abdul Munir Mulkhan: 2006). Proses materialisasi kesadaran Ilahiah inilah yang berakibat pada tipisnya batas antara keikhlasan dalam beragama dan nafsu keserakahan yang menumpang agama. Demarkasi antara kejujuran dan ketulusan dalam ber-Tuhan (iman) dan beragama (ritual/ibadah) di satu sisi, dengan keserakahan dan kekuasaan atas nama Tuhan di sisi lain sangatlah sulit dibedakan. Tumpang tidih ini sama tipisnya batas antara kehendak Tuhan autentik dengan kecenderungan memanipulasi kehendak Tuhan bagi kepentingan diri sendiri.
Padahal kebenaran agama dalam pemahaman manusia sesungguhnya tidak akan pernah mencapai “obyektif” sebagaimana yang diinginkan Tuhan. Memang agama, dan semua agama, telah tuntas dan sempurna dari Tuhan dan tidak perlu diperdebatkan. Namun dikarenakan posisinya adalah respon manusia atas “wahyu” dari yang Maha Gaib, maka pemahaman tentang agama yang ditangkap manusia sudah tentu terderivasikan dalam beragam spektrum sesuai dengan kondisi sang penerimanya.
Di sinilah pentingnya “agama” dan “paham agama” dipisahkan dalam demarkasi yang jelas, guna menghindari reduksionisme atas nilai-nilai agama untuk kepentingan primordial-sektarian. Agama (al-diin) memang bersifat sakral dan calestial, tetapi ketika sudah disusun oleh ulama, cendekiawan, intelektual, ataupun organisasi tertentu, ia telah berubah menjadi “pemahaman”. Jika sifatnya “pemahaman” atau “tafsir” tentang agama, maka ia absah untuk diperdebatkan, diubah, dan dinegoisasikan.
Keyakinan kepada Tuhan dan ajaran-Nya seharusnya dimaknai sebagai kesediaan bersikap kritis terhadap kebekuan dan pandangan yang memutlakkan kebenaran praktik keagamaan. Adanya jarak antara Tuhan yang “Mutlak” dengan manusia yang “relatif”, membuat pesan dari yang absolut tidak mungkin dipahami secara akurat oleh entitas yang terkondisikan dalam “ruang dan waktu”. Dikarenakan keterbatasan inilah, maka sesuatu yang “absolut” akan terdeviasi dalam beragam tafsir saat memasuki wilayah yang “nisbi”, apalagi ditangkap oleh sesuatu yang berstatus “nisbi” juga.
Jika pemeluk agama meyakini kemutlakan Tuhan dan agamanya, maka sudah seharusnya berbagai tafsir tentang Tuhan dan praktik keberagamaan tidak diharamkan. Sebab, ke-Esa-an dan ke-Mutlak-an Tuhan seharusnya membuka berbagai kemungkinan munculnya beragam simbolisasi Tuhan. Apalagi setiap manusia memiliki kesadaran Ilahiah yang autentik, tanpa dibatasi oleh rumus-rumus legal dan formal.
Keyakinan bukanlah masalah yang harus sesuai dengan “mainstream” atau tidak, tetapi terkaitan dengan kesadaran Ilahiah yang autentik tanpa dibatasi oleh rumus-rumus legal dan formal. Meski mendapatkan berbagai halangan dan rintangan yang bertubi-tubi, baik secara fisik maupun psikis, tidak semua manusia akan menanggalkan apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Atau jangan-jangan orang yang dianggap “salah” selama ini justru mampu menemukan Tuhan, kendati jalan yang ditempuhnya berbeda dengan kalangan mainstream.
Secara doktrin maupun fakta sosial, sikap yang terbaik untuk dikembangkan dalam menyikapi perbedaan adalah saling menghormati dengan mengusung spirit bersepakat dalam perbedaan (agree in disagreement). Sebab, seperti difirmankan Tuhan dalam berbagai ayatnya, bahwa keragaman sesungguhnya ujian bagi masing-masing kelompok beromba-lomba menjadi umat yang terbaik. Biarkanlah sejarah yang akan membuktikan golongan mana yang paling banyak memberikan manfaat dalam kehidupan umat.

Jika kalangan mainstream terancam dengan kemunculan aliran “sesat”, justru yang harus dilakukan adalah mendakwahkan ajarannya sesuai kebutuhan spiritual pengikut “aliran sesat” tersebut. Bukan malah memfatwa sesat dan atau meminggirkannya secara paksa, bahkan menyeret penganutnya ke penjara. Sebagaimana yang diingatkan Ernest Gellner, ketika agama mampu menafsir makna zaman dan bersentuhan dengan problem kemanusiaan, tentu eksistensinya tetap dibutuhkan manusia, dan begitu juga sebaliknya. Allah a’lam bi al-shawab.