Muhammad
Kholid Asyadulloh
Sumber: Majalah MATAN, Maret 2008
Judul Buku :
Laskar Pelangi
Penulis :
Andrea Hirata
Penerbit :
Bentang Pustaka, Yogyakarta
Tebal :
xi + 529 halaman
Laskar Pelangi adalah sebuah novel yang diinspirasi oleh
memoar masa kecil penulisnya, Andrea Hirata. Novel ini berisi kisah dunia
pendidikan di awal 1980-an, dengan tokoh-tokoh manusia sederhana, jujur, gigih,
dan penuh dedikasi. Laskar Pelangi ditokohkan oleh Ikal dengan 10 temannya, yang kemudian bertambah
satu orang, yang bersama-sama bersekolah di SD hingga SMP Muhammadiyah di
Belitung. Di awal tahun 1990-an, sekolah ini akhirnya benar-benar tutup karena
tidak mampu membiayai kegiatan sehari-harinya.
Mereka bersekolah dan belajar pada kelas yang sama selama
9 tahun, dan oleh gurunya dijuluki Laskar Pelangi karena hobinya melihat
pelangi. Di novel itu Andrea mengangkat cerita bagaimana semangat anak-anak
kampung miskin itu belajar dalam segala keterbatasan. Mereka bersekolah tanpa
alas kaki, baju tanpa kancing, atap sekolah yang bocor jika hujan, dan papan
tulis yang berlubang hingga terpaksa ditambal dengan poster Rhoma Irama.
Selain Ikal, tokoh Laskar Pelangi adalah Lintang, Sahara,
Mahar, A Kiong, Syahdan, Kucai, Borek, Trapani, Harun, dan di tengah cerita
mendapat tambahan seorang cewek bernama Flo. Di tengah mereka, muncul dua sosok
guru penuh pengabdian: Pak Harfan dan Ibu Muslimah, yang bukan sekedar
pengajar, tetapi juga sebagai sahabat, mitra, dan yang menemani para murid
berjalan dalam dunia mereka.
Novel ini memperlihatkan bahwa di tangan seorang guru,
kemiskinan dapat diubah menjadi kekuatan, dan keterbatasan bukan kendala untuk
maju. Laskar Pelangi menunjukkan bahwa pendidikan yang hebat tidak hanya berhubungan dengan fasilitas,
tetapi lebih erat dengan dedikasi dan integritas. Kekurangan dan keterbatasan
bukan sekedar ironi dan tragedi, tetapi dijadikan spirit untuk bersuka ria dan
cita, bermimpi, dan berangan menuju kebahagiaan.
Kemiskinan dan keterpencilan tidaklah menjadikan Ikal dan
kawan-kawan patah semangat dalam belajar. Motivasi para guru dan kecintaan pada
ilmu mampu menjadikan anak-anak ini sebagai pembelajar yang tangguh dan tahan
banting. Mereka menjadi luar biasa karena hidup dalam keterbatasan, dibesarkan
dalam idealisme pendidikan yang "naif", serta nasib yang menuntun
menjadi sosok-sosok yang tidak terduga.
Dalam keterbatasan dan kesederhanaan, Laskar Pelangi bisa
menemukan berbagai pencapaian dan petualangan seru di masa kanak-kanak hingga
remaja. Kesederhanaan memang membatasi dan terkadang membuat mereka sedih dan
minder, tetapi mereka tidak pernah tenggelam dalam keluhan dan tangisan. Mereka
tetap berjuang hingga batas terakhir kemampuan, dengan panduan dan arahan guru
yang membimbingnya.
Keajaiban terjadi di sekolah yang dari jauh tampak seperti
bangunan yang akan roboh. Semuanya terjadi karena sejak hari pertama kelas
satu, Pak Harfan dan Ibu Muslimah berhasil mengambil hati 10 anak-anak kecil
miskin itu. Keduanyalah yang membesarkan hati murid-muridnya agar percaya diri,
berani berkompetisi, serta menempatkan pendidikan sebagai hal terpenting di
hidup ini.
Akhir kisah, 12 tahun kemudian anggota Laskar Pelangi
menjadi sosok-sosok dewasa yang bertemu kembali dengan membawa cerita
masing-masing. Mereka memang terus berjuang untuk menggapai peruntungan dalam
hidup, tetapi suratan hiduplah yang menetapkannya. Ada di antaranya yang
berjalan sesuai dengan cita-cita, tidak terduga lompatannya, tetapi tidak
sedikit pula yang menyerah pada nasib.
Bagi warga Muhammadiyah, lebih-lebih yang aktif di AUM
pendidikan, novel ini memberikan semangat dan pencerahan, bagaimana guru
mendampingi murid. Novel ini juga layak dibaca oleh mereka yang mimpinya
(hampir) musnah karena kemiskinan, termasuk mereka yang bisa menikmati
pendidikan, tetapi tidak memaksimalkannya. Tidak ketinggalan, pejabat dan
pemimpin juga harus membaca "potret pendidikan" ini, dan saatnya
bertobat menganaktirikan bidang ini.