Komitmen Menjaga Keutuhan Bangsa

Muhammad Kholid Asyadulloh

Sumber: Suara Karya, 2 Juni 2008

Tanggal 1 Juni selalu dikenang bangsa Indonesia sebagai hari lahirnya dasar negara Indonesia, Pancasila. Peringatan ini berawal dari saat Soekarno menyampaikan 5 asas bagi Indonesia baru yang merdeka di depan sidang sidang pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 29 Mei - 1 Juni 1945. Soekarno mengajukan 5 asas bagi Indonesia yg merdeka, yaitu kebangsaan Indonesia, internasionalisme, mufakat/demokrasi, kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan, atau seringkali disebut sebagai Pancasila.

Secara historis, kemunculan Pancasila adalah jalan kompromi dari perdebatan ideologis dalam BPUPKI yang hampir tidak kunjung selesai. Semangat zaman 1940-an di Indonesia saat itu sangat dipengaruhi oleh pertempuran antara fasisme dan demokrasi, menyebarnya komunisme, dan bangkitnya nasionalisme, sehingga menyulitkan terjadinya titik temu posisi ideologis anggota-anggota BPUPKI (Adnan Buyung Nasution: 1992). Untuk menjembatani kesenjangan itulah, pada 1 Juni 1945 Soekarno menyampaikan pidato yang intinya mengajukan dasar filosofis bagi negara Indonesia.
Meski pidato Soekarno diterima oleh para anggota BPUPKI sebagai kompromi yang adil, beberapa pemimpin Islam mendesak agar Islam diberi pengakuan tegas dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD. Pada 22 Juni 1945 dicapailah kompromi baru yang terkenal dengan Jakarta Charter, Piagam Jakarta. Karya agung ini adalah buah tangan dari Panitia Sembilan yang terdiri dari Soekarno, Moh Hatta, Achmad Soebardjo, dan Muh Yamin, Abikusno Tjokrosuyoso, Abdulkahar Muzakir, Agus Salim, dan Wahid Hasyim, serta AA Maramis.
Pancasila diterima, tetapi sila Ketuhanan menempati urutan pertama, dengan penambahan dengan kewajiban menjalankan syariat-syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Isi Pancasila versi Piagam Jakarta: 1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan/perwakilan; 5. Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rumusan Piagam Jakarta diterima bulat oleh BPUPKI dalam Sidang II, 10-16 Juli 1945, yang tentunya melalui perdebatan sengit.
Satu hari pasca-Proklamasi, tepatnya 57 hari umur Piagam Jakarta, sila pertama Pancasila mengalami perubahan yang cukup signifikan. "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" dirubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Pencoretan tujuh kata ini terjadi di PPKI, lembaga pengganti BPUPKI yang didirikan pada 7 Agustus 1945. Menurut Hatta dalam Sekitar Proklamasi, pencoretan tujuh kata itu berkaitan dengan protes pihak Kristen dari Indonesia bagian Timur yang keberatan terhadap bagian-bagian tertentu dari Piagam Jakarta.
Namun, hilangnya tujuh kata itu tetap membuat sebagian umat Islam merasa dikecewakan dan dikhianati oleh kaum nasionalis kebangsaan. Upaya memperjuangkan Islam sebagai dasar negara kembali mencuat dalam rapat-rapat di Dewan Konstituante antara 1956-1959. Anggota badan ini dipilih melalui Pemilihan Umum (Pemilu) 15 Desember 1955, dan ditugaskan UUD Sementara 1950 untuk menyusun UUD tetap Indonesia.
Terkait dengan masalah dasar negara, anggota Konstituante terbelah menjadi dua blok besar dan satu blok kecil. "Blok Pancasila" yang memiliki 274 anggota, termasuk PNI, PKI, PSI, dua partai Kristen, dan IPKI. "Blok Islam" yang mempunyai 230 anggota, di dalamnya Masjumi, PNU, PSII, dan Perti. Sedangkan "Blok Sosial Ekonomi", dengan 10 anggota, termasuk Partai Buruh dan Murba.
Berlarut-larutnya perseteruan Blok Pancasila-Blok Islam tentang dasar negara, maka Soekarno pada 25 April 1959 mengajukan usul kepada Konstituante untuk kembali kepada UUD 1945, yang tentunya memantik perdebatan. Karena musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, maka dilakukanlah voting untuk "setuju" atau "tidak". Hasil pemungutan suara sebanyak tiga kali selama 1959: 269 setuju vs 199 tidak (30 Mei); 264 vs 204 (1 Juni); dan 263 vs 203 (2 Juni), dari suara minimal yang dibutuhkan untuk memenangkan 316, 313, 312.
Pada 5 Juli 1959, Soekarno Presiden dan Penguasa Perang Tertinggi dengan kekuasaan darurat memberlakukan UUD 1945. Ada dua pokok penting dari Dekrit itu, yaitu pembubaran Dewan Konstituante dan pemberlakukan kembali UUD 1945. Untuk membesarkan hati kelompok nasionalis Islam, Soekarno juga menyebut-nyebut Piagam Jakarta. Dalam pidatonya, Soekarno menyatakan bahwa Piagam Jakarta adalah dokumen sejarah yang mengilhami keseluruhan UUD 1945.
Setelah perdebatan dalam Konstituante tersebut, tuntutan menjadikan Islam sebagai dasar negara agak mereda, meski hal ini kembali dipolitisir dalam Sidang Tahunan MPR 1999-2003. Fraksi PPP, PBB, dan Fraksi PDU, mengusulkan penambahan "tujuh kata" Piagam Jakarta sebagai alternatif bagi perubahan Pasal 29 UUD 1945. Bahkan, dengan semakin terbukanya keran demokrasi dan politik pascalahirnya reformasi, kini banyak elemen yang memperjuangkan (fiqh) Islam sebagai dasar negara.
Padahal kalau melihat ksejarahan lahirnya Pancasila, mungkin dasar inilah yang mengakomodir semua kepentingan anak bangsa tanpa melihat agama, ideologi, dan keragaman sosial lainnya. Dalam pandangan Syafii Maarif (2004), demi kesatuan, persatuan, dan integrasi nasional, Islam melalui para pemimpinnya telah menunjukkan komitmen dan toleransi yang sangat tinggi untuk menjaga Indonesia agar tetap utuh. Meski umat ini mayoritas, dan sangat mungkin bisa memaksakan Islam sebagai dasar negara, tetapi mereka sadar bahwa ada agama, golongan, dan penganut ideologi lain yang sama-sama berjuang mengusir penjajah dari bumi pertiwi.
Dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dalam berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, maka lenyaplah kekhawatiran orang bahwa Indonesia mendasarkan dirinya pada salah satu kepentingan golongan. Sehingga sudah saatnya berbagai kelompok kekuatan politik Islam menyadari bahwa upaya menggeser Pancasila bukanlah isu yang laku dijual sebagaimana tahun-tahun awal kemerdekaan. Justru yang dibutuhkan adalah bagaimana masyarakat dan negara perlu menegakkan dan menghayati ajaran Islam secara substansial, bukan hanya formalitas. Allah A’lam bi al-Shawab.