Manifesto Pemikiran Muda Muhammadiyah

Muhammad Kholid Asyadulloh

Sumber: Jawa Pos, 13 Januari 2008

Judul : Muhammadiyah Progressif: Manifesto Pemikiran Kaum Muda
Penulis : Abd Rohim Ghazali, dkk
Pengantar : Moeslim Abdurrahman
Penerbit : JIMM-LESFI, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : xxviii + 675 halaman

Sejak dideklarasikan pada 18 November 1912, Muhammadiyah adalah organisasi keagamaan yang selalu identik dengan visi pembaruan. Organisasi yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan ini banyak mendapatkan pujian dari berbagai pihak atas kiprahnya dalam mewarnai kehidupan keagamaan, sosial, ekonomi, dan politik. Beragam pemikiran dan aksi yang terdokumentasikan dalam hamparan historisitas Indonesia adalah bukti riil dari komitmennya untuk memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Seiring dengan perjalanan sejarah, Muhammadiyah pun mulai mendapatkan kritik tajam, baik yang dilontarkan dari kalangan luar maupun dalam. Muktamar ke-41 di Surakarta 1985 adalah awal dari gencarnya kritik terhadap organisasi ini, bahkan berlangsung hingga sekarang. Muara kritik ini adalah “mandulnya” pembaruan Muhammadiyah sebagai pembebas manusia dari kebodohan dan mistisisme. Bahkan, progresivitas generasi awal justru membelenggu aktivisnya kekinian dalam logosentrisme keagamaan yang rigid.
Puncak kritik terhadap status quo Muhammadiyah adalah sesaat setelah muktamar ke-44 di Malang 2005. Banyak kalangan yang menilai hasil muktamar ini sebagai tonggak paling penting atas menguatnya konservatisme dalam Muhammadiyah. Dominasi ini dengan sendirinya meminggirkan kalangan progressif yang dianggap sebagai penyebar “virus” liberalisme yang mengancam “kemurnian” aqidah. Persepsi ini mendapatkan pembenaran seiring dengan terpentalnya tokoh-tokoh “liberal” dari komposisi 13 pimpinan harian Muhammadiyah.
Realitas menguatnya konservatisme inilah yang menjadi faktor utama terjadinya pemberontakan dalam diri Muhammadiyah, khususnya dari kalangan muda. Buku Muhammadiyah Progressif: Manifesto Pemikiran Kaum Muda adalah “suara” lain pembacaan generasi Muhammadiyah terhadap pemikiran Islam ketika berhadapan dengan konteks zaman dan perkembangan mondial. Buku ini adalah pengembangan kreativitas tafsir atas puritanisme Muhammadiyah, dengan cara mengontekstualisasikan paham keagamaan versi Muhammadiyah terhadap isu-isu kontemporer semacam pluralisme, multikulturalisme, demokrasi, persamaan gender, dialog antarperadaban, dan hermeneutika.
Buku ini adalah salah satu cara “pemberontakan” intelektual kader muda Muhammadiyah terhadap induknya yang sekian lama hanyut dalam tradisi membaca kitab suci secara literer. Ketika orang membicarakan pemikiran Muhammadiyah, hampir dapat dipastikan yang terlintas adalah bagaimana melakukan ritual yang lebih murni, pengembangan amal usaha, dan upaya karikatif lainnya yang jauh dari substansi perubahan sejarah kemanusiaan.
Muhammadiyah Progressif adalah ijtihad keagamaan agar Islam lebih sesuai dengan panggilan zaman dan menghadirkan makna baru yang bermanfaat bagi penciptaan peradaban dan advokasi kemanusiaan. Lebih khusus lagi, buku ini adalah kritik penting terhadap Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharu agar tidak stagnan dan lambat dalam merespon dinamika zaman dan ilmu pengetahuan. Sebab, modernitas yang menempel Muhammadiyah kontemporer sepintas hanya terjadi dalam ranah organisasi dan manajemen amal usaha, tetapi terbelakang dalam bidang pemikiran.
Kritik yang tertuang dalam buku ini sudah tentu tidak bermaksud menafikan produk pemikiran yang lama, tetapi lebih berusaha lagi untuk mencari signifikansi Islam dalam dinamika kehidupan. Buku ini hanyalah sebagian kecil upaya dari kaum muda Muhammadiyah untuk melepaskan pemenjaraan antara hal yang terpikirkan dengan hal yang tidak (belum) terpikirkan dalam ruang terbuka bagi terjadinya tafsir-menafsir. Pembahasan yang dilakukan tetap meletakkan Alqur’an dan al-Hadits sebagai aksioma dasar, dan nalar yang berbasiskan kritissieme dan berdimensi praksis sebagai aksioma operasionalnya.
Buku yang ditulis oleh 39 kader muda Muhammadiyah ini terdiri atas 7 bagian, dengan beragam bahasan yang cukup berani dan menantang. Bagian pertama berisi tentang urgensi hermeneutika sebagai metode pembacaan tafsir Alqur’an, disusul dengan sengkurat Islam dan kebudayaan pada bagian kedua. Berturut-turut diikuti dengan pembahasan tentang demokrasi dan isu formalisasi syari’at Islam, Islam sebagai peradaban terbuka, Islam di tengah pluralisme agama, persamaan gender perspektif Islam, dan ditutup dengan posisi Muhammadiyah sebagai bagian dari civil Islam.
Meski beragam isu diangkat dalam buku ini, tetapi terdapat 3 hal penting yang menjadi benang merahnya. Benang inilah yang kemudian hari dikenal dengan silabus pembelajaran Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), yaitu hermeneutika dan pemikiran islam kontemporer, ilmu sosial kritis dan globalisasi, serta teori the social movement. Tujuan silabus ini adalah agar Muhammadiyah tetap menjadi organisasi sosial yang modern dalam organisasi dan gerakan, reformis dalam pemikiran keagamaan dan sosial, serta kritis dan berpihak pada perjuangan kemanusiaan.
Buku ini layak menjadi referensi bagi siapa saja yang ingin menelaah secara mendalam tentang dinamika pemikiran dalam Muhammadiyah, lebih-lebih di kalangan mudanya. Sebuah buku yang memberikan warna baru bagi dinamika pembaruan Muhammadiyah dalam menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.