Keuangan yang Maha Kuasa

Oleh: Muhammad Kholid Asyadulloh
Peneliti Institute for Religion and Society Studies (IRSoS)
Koran Detik, 22 Juni 2012


Ibarat kentut, bau uang dalam setiap hajatan politik sebenarnya sangat menyengat. Hanya saja untuk membuktikan secara positivistik, apalagi membawanya ke ranah pidana, bukanlah perkara yang mudah. Sebab, permainan ini memang punya “role of the game” yang kebal dari sanksi peraturan perhelatan politik dimaksud. Tak heran jika banyak pihak yang sejak jauh-jauh hari mengingatkan kemungkinan praktik politik uang dalam upaya meraih kekuasaan, tak terkecuali dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012.
Sinyalemen itu tergambar dari hasil survei Pusat Kajian Politik FISIP Universitas Indonesia (Puskapol UI), yang menyebutkan sebagian besar responden meyakini penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta akan diwarnai praktik kecurangan dan politik uang, (11/6). Sekitar 55 persen dari total 594 responden cenderung pesimis Pilkada ini akan minim kecurangan dan korupsi. Bahkan, hasil survei juga menyatakan sekitar 40,7 persen responden meyakini akan terjadi praktik politik uang untuk memilih para kandidat menjelang hari pemilihan.
Ramalan akademis ini seperti mendapat pembenaran ketika salah ratusan warga menerima Rp 250 ribu dari satu pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur. Ratusan warga antre sejak pagi untuk menerima uang, yang menurut tim suksesnya, merupakan “gaji” relawan. Meski, pernyataan ini berbeda dengan keterangan warga yang berkumpul, yang bahkan sebagian mengaku tidak tahu soal adanya training dan pelatihan. Yang mereka tahu, seorang koordinator mengajak datang ke lokasi, dengan membawa KTP dan nomor registrasi tim, (detiknews.com, 12/6).
Namun, seperti biasa, tudingan politik uang pun dibantah dengan dalih bahwa apa yang dilakukannya bukan politik uang. Melainkan uang transport, uang akomodasi, dan sejenisnya sebagai bagian dari service atas keikutsertaan para relawan dalam pelatihan sebagai tim sukses pemenangan. Lantas, apakah salah kalau sekarang jika tim sukses ring satu memberikan uang ke tim sukses sendiri, begitulah alasannya.
Persaingan yang menekankan kedekatan kandidat dengan konstituen membuat semua pihak yang berkepentingan melakukan segala cara untuk meraih kemenangan. Tidak terkecuali dengan melakukan politik uang, yang sepertinya memang sengaja di-setting agar diterima publik sebagai praktik yang lazim, --tentunya dengan ragam rasionalisasi. Uang semakin menampakkan wujudnya yang buruk ketika dimainkan oleh segelintir orang yang tidak bertanggung jawab untuk meraih kekuasaan.
Kenyataan menunjukkan bahwa bagi mereka yang mempunyai finansial besar, uang seringkali menjadi alat untuk mencapai kekuasaan. Dampak ikutan yang mengenaskan dari supremasi politik uang ini adalah kesuksesan para elit menularkan kebiasaan buruk tersebut kepada masyarakat. Dalam derajat tertentu, masyarakat sangat tergantung kepada makhluk yang bernama uang itu dalam menentukan pilihan politik. Dalam masa kampanye maupun saat menyalurkan hak politiknya, tidak sedikit masyarakat yang mendasarkan pada kalkulasi ekonomi (sementara) daripada akal-pikiran yang jernih.
Lebih tragis lagi, tidak sedikit masyarakat yang sampai tidak mau memberikan suara jika mereka tidak diberi uang atau bantuan-bantuan yang lain. Kondisi ini semakin diperparah sebagian masyarakat yang cenderung semakin pragmatis, mengikuti apa yang diteledankan elit negeri ini. Money politics yang dilakukan oleh salah satu calon tertentu justru seringkali dianggap sebagai “shadaqah dan berkah”.
Kondisi ini secara mudah bisa dilihat dari hasil survei Universitas Paramadina bersama Pride Indonesia tentang banyaknya warga yang berharap diberi imbalan uang saat memilih. Mengambil sampel Pilkada di Kabupaten Mojokerto pada Agustus 2010, ternyata 14,9 persen warga berharap peserta pilkada itu memberikan uang jika ingin dipilih. Sementara warga yang menginginkan calon memberikan sembako mencapai 10,6 persen, serta memberikan modal usaha sebanyak 5,3 persen.
Sebulan sebelumnya, survei Yayasan Komunitas untuk Penataan Kebijakan Publik dan Lingkungan Hidup (Komunal) Jakarta, juga menemukan hasil serupa di Indramayu, Jawa Barat. Sebanyak 74 persen publik menganggap pemberian uang atau imbalan untuk memengaruhi pemilih dalam pilkada adalah wajar, 24 persen menilai tidak wajar, dan 2 persen tidak menjawab. Dari 74 persen yang menyatakannya wajar, 25 persen di antaranya menyatakan akan menerima dan menjadikannya sebagai dasar memilih calon, 17 persen akan menerima dan memilih siapa saja yang memberi uang lebih besar, serta 45 persen akan menerima dengan pilihan sesuai hati nurani.
Dua survei ini secara telak menunjukkan permisivisme publik terhadap politik uang sebagai tindakan yang tidak tercela. Penerima uang tidak lagi memaknai pemberian itu sebagai penyuapan politik, tetapi sebagai keberkahan dalam berpolitik. Dia akan menganggap sang pemberi sebagai politisi dermawan, dan memberikan label sebaliknya pada politisi yang tidak melakukan tebar uang. Lebih tragis lagi, tidak sedikit masyarakat yang tidak mau memberikan suara kalau mereka tidak diberi uang atau bantuan-bantuan yang lain.
Permainan uang yang secara normatif menjadi penoda bagi terciptanya pemilihan yang berdasarkan nurani, ternyata sudah dianggap sebagai ongkos yang lumrah. Berbagai undang-undang yang terkait dengan penyelenggaraan pemilihan tidak sepenuhnya menutupinya secara rapat terkait dengan aturan politik uang. Beberapa aturan justru masih memberi ruang pemain-pemain politik melakukan kecurangan, tentunya dengan kecanggihan “mengakali” peraturan yang dibuat oleh koleganya di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Merujuk pada kesejarahan elektoral Indonesia, kecurangan adalah variabel yang tidak bisa dipisahkan ketika perhelatan politik itu digelar. Untuk itulah, langkah yang mutlak dilakukan adalah bagaimana menyadarkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan agar tidak salah memilih. Penyadaran ini harus dilakukan secara serentak oleh berbagai pihak yang mendambakan perbaikan bangsa, terutama oleh para tokoh masyarakat, aktivis kampus, LSM, dan tokoh-tokoh agama. Harus ada kontrol yang tepat dari publik untuk memilih calon pemimpin yang bersih, dan bebas dari money politic.
Masyarakat sebagai pemilik kedaulatan harus benar-benar dicerdaskan agar pilihan mereka bisa berpartisipasi dalam memperbaiki kondisi bangsa. Pemilihan politik tingkat apapun harus disemaikan dalam diri masyarakat sebagai medium untuk mengeluarkan masalah kebangsaan dari krisis multi dimensi, yang tentunya harus diawali dengan pilihan berdasarkan akuntabilitas, kebijakan, pertanggungjawaban, aspirasi, perlindungan, hingga pergantian pimpinan.
Masyarakat bukan hanya dididik bagaimana cara mencoblos pilihannya secara benar saja. Namun lebih jauh lagi, rakyat harus ditumbuhkan kesadaran kritisnya tentang substansi Pemilu beserta resikonya berdasarkan analisa yang rasional. Harapannya rakyat tidak memilih pemimpin atas dasar “Keuangan yang Maha Kuasa”, melainkan benar-benar berdasarkan nurani berbasiskan rasionalitas kritis.