Oleh:
Muhammad Kholid Asyadulloh
Peneliti
Institute for Religion and Society Studies (IRSoS)
Ibarat kentut,
bau uang dalam setiap hajatan politik sebenarnya sangat menyengat. Hanya saja
untuk membuktikan secara positivistik, apalagi membawanya ke ranah pidana,
bukanlah perkara yang mudah. Sebab, permainan ini memang punya “role of the
game” yang kebal dari sanksi peraturan perhelatan politik dimaksud. Tak heran
jika banyak pihak yang sejak jauh-jauh hari mengingatkan kemungkinan praktik politik
uang dalam upaya meraih kekuasaan, tak terkecuali dalam pemilihan Gubernur DKI
Jakarta 2012.
Sinyalemen itu
tergambar dari hasil survei Pusat Kajian Politik FISIP Universitas Indonesia
(Puskapol UI), yang menyebutkan sebagian besar responden meyakini
penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta akan diwarnai praktik kecurangan dan
politik uang, (11/6). Sekitar 55 persen dari total 594 responden cenderung
pesimis Pilkada ini akan minim kecurangan dan korupsi. Bahkan, hasil survei
juga menyatakan sekitar 40,7 persen responden meyakini akan terjadi praktik
politik uang untuk memilih para kandidat menjelang hari pemilihan.
Ramalan akademis
ini seperti mendapat pembenaran ketika salah ratusan warga menerima Rp 250 ribu
dari satu pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur. Ratusan warga antre sejak pagi untuk
menerima uang, yang menurut tim suksesnya, merupakan “gaji” relawan. Meski,
pernyataan ini berbeda dengan keterangan warga yang berkumpul, yang bahkan sebagian
mengaku tidak tahu soal adanya training dan pelatihan. Yang mereka tahu,
seorang koordinator mengajak datang ke lokasi, dengan membawa KTP dan nomor registrasi
tim, (detiknews.com, 12/6).
Namun, seperti
biasa, tudingan politik uang pun dibantah dengan dalih bahwa apa yang
dilakukannya bukan politik uang. Melainkan uang transport, uang
akomodasi, dan sejenisnya sebagai bagian dari service atas keikutsertaan
para relawan dalam pelatihan sebagai tim sukses pemenangan. Lantas, apakah
salah kalau sekarang jika tim sukses ring satu memberikan uang ke tim sukses
sendiri, begitulah alasannya.
Persaingan yang
menekankan kedekatan kandidat dengan konstituen membuat semua pihak yang
berkepentingan melakukan segala cara untuk meraih kemenangan. Tidak terkecuali
dengan melakukan politik uang, yang sepertinya memang sengaja di-setting agar
diterima publik sebagai praktik yang lazim, --tentunya dengan ragam
rasionalisasi. Uang semakin menampakkan wujudnya yang buruk ketika dimainkan
oleh segelintir orang yang tidak bertanggung jawab untuk meraih kekuasaan.
Kenyataan
menunjukkan bahwa bagi mereka yang mempunyai finansial besar, uang seringkali
menjadi alat untuk mencapai kekuasaan. Dampak ikutan yang mengenaskan dari
supremasi politik uang ini adalah kesuksesan para elit menularkan kebiasaan
buruk tersebut kepada masyarakat. Dalam derajat tertentu, masyarakat sangat
tergantung kepada makhluk yang bernama uang itu dalam menentukan pilihan
politik. Dalam masa kampanye maupun saat menyalurkan hak politiknya, tidak
sedikit masyarakat yang mendasarkan pada kalkulasi ekonomi (sementara) daripada
akal-pikiran yang jernih.
Lebih tragis
lagi, tidak sedikit masyarakat yang sampai tidak mau memberikan suara jika
mereka tidak diberi uang atau bantuan-bantuan yang lain. Kondisi ini semakin
diperparah sebagian masyarakat yang cenderung semakin pragmatis, mengikuti apa
yang diteledankan elit negeri ini. Money politics yang dilakukan oleh
salah satu calon tertentu justru seringkali dianggap sebagai “shadaqah dan berkah”.
Kondisi ini
secara mudah bisa dilihat dari hasil survei Universitas Paramadina bersama
Pride Indonesia tentang banyaknya warga yang berharap diberi imbalan uang saat
memilih. Mengambil sampel Pilkada di Kabupaten Mojokerto pada Agustus 2010,
ternyata 14,9 persen warga berharap peserta pilkada itu memberikan uang jika
ingin dipilih. Sementara warga yang menginginkan calon memberikan sembako
mencapai 10,6 persen, serta memberikan modal usaha sebanyak 5,3 persen.
Sebulan
sebelumnya, survei Yayasan Komunitas untuk Penataan Kebijakan Publik dan
Lingkungan Hidup (Komunal) Jakarta, juga menemukan hasil serupa di Indramayu,
Jawa Barat. Sebanyak 74 persen publik menganggap pemberian uang atau imbalan
untuk memengaruhi pemilih dalam pilkada adalah wajar, 24 persen menilai tidak
wajar, dan 2 persen tidak menjawab. Dari 74 persen yang menyatakannya wajar, 25
persen di antaranya menyatakan akan menerima dan menjadikannya sebagai dasar
memilih calon, 17 persen akan menerima dan memilih siapa saja yang memberi uang
lebih besar, serta 45 persen akan menerima dengan pilihan sesuai hati nurani.
Dua survei ini
secara telak menunjukkan permisivisme publik terhadap politik uang sebagai
tindakan yang tidak tercela. Penerima uang tidak lagi memaknai pemberian itu
sebagai penyuapan politik, tetapi sebagai keberkahan dalam berpolitik. Dia akan
menganggap sang pemberi sebagai politisi dermawan, dan memberikan label
sebaliknya pada politisi yang tidak melakukan tebar uang. Lebih tragis lagi,
tidak sedikit masyarakat yang tidak mau memberikan suara kalau mereka tidak
diberi uang atau bantuan-bantuan yang lain.
Permainan uang
yang secara normatif menjadi penoda bagi terciptanya pemilihan yang berdasarkan
nurani, ternyata sudah dianggap sebagai ongkos yang lumrah. Berbagai undang-undang
yang terkait dengan penyelenggaraan pemilihan tidak sepenuhnya menutupinya
secara rapat terkait dengan aturan politik uang. Beberapa aturan justru masih
memberi ruang pemain-pemain politik melakukan kecurangan, tentunya dengan
kecanggihan “mengakali” peraturan yang dibuat oleh koleganya di gedung Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).
Merujuk pada kesejarahan
elektoral Indonesia, kecurangan adalah variabel yang tidak bisa dipisahkan
ketika perhelatan politik itu digelar. Untuk itulah, langkah yang mutlak
dilakukan adalah bagaimana menyadarkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan agar tidak
salah memilih. Penyadaran ini harus dilakukan secara serentak oleh berbagai
pihak yang mendambakan perbaikan bangsa, terutama oleh para tokoh masyarakat,
aktivis kampus, LSM, dan tokoh-tokoh agama. Harus ada kontrol yang tepat dari
publik untuk memilih calon pemimpin yang bersih, dan bebas dari money
politic.
Masyarakat
sebagai pemilik kedaulatan harus benar-benar dicerdaskan agar pilihan mereka
bisa berpartisipasi dalam memperbaiki kondisi bangsa. Pemilihan politik tingkat
apapun harus disemaikan dalam diri masyarakat sebagai medium untuk mengeluarkan
masalah kebangsaan dari krisis multi dimensi, yang tentunya harus diawali
dengan pilihan berdasarkan akuntabilitas, kebijakan, pertanggungjawaban, aspirasi,
perlindungan, hingga pergantian pimpinan.
Masyarakat bukan
hanya dididik bagaimana cara mencoblos pilihannya secara benar saja. Namun
lebih jauh lagi, rakyat harus ditumbuhkan kesadaran kritisnya tentang substansi
Pemilu beserta resikonya berdasarkan analisa yang rasional. Harapannya rakyat
tidak memilih pemimpin atas dasar “Keuangan yang Maha Kuasa”, melainkan
benar-benar berdasarkan nurani berbasiskan rasionalitas kritis.