Urgensi Dakwah Anggaran
Muhammad Kholid Asyadulloh
Sumber: Suara Muhammadiyah, 1-15 Januari 2008
Perjuangan
agamawan dalam mengentaskan massivitas kemiskinan di negeri ini benar-benar
menemui rintangan yang tidak ringan. Sebab, kebijakan negara yang berbentuk
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/D) 2008, yang sebagian
besar telah diratifikasi bersama oleh eksekutif dan legislatif di daerah, belum
sepenuhnya berpihak pada kaum miskin.
Contoh
mudah dari ketidakpekaan ini bisa dilihat dari alokasi anggaran pendidikan yang
hanya Rp 48 triliun (12 persen) dari kekuatan APBN yang berjumlah Rp 781,354
triliun. Sangat mungkin kebijakan tidak populis ini juga semarak di berbagai
daerah lainnya, baik di tingkat provinsi maupun kota/kabupaten.
Realitas
APBN/D semacam ini sudah tentu tidak bisa dibiarkan mentradisi setiap akhir
tahun, karena penganggaran adalah kebijakan publik yang mengikat semua warga.
Kemampuan masyarakat dalam mendapatkan layanan yang layak dalam bidang
pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, maupun hak-hak dasar lainnya, sebagian
besar ditentukan oleh segelintir orang yang saat ini bersidang “siang-malam” di
gedung wakil rakyat.
Sudah
saatnya kaum agamawan, lebih-lebih yang berafiliasi Islam, untuk turut serta
“campur tangan” mempengaruhi anggaran di masa-masa selanjutnya agar pro-rakyat
miskin. Keterlibatan ini semakin urgen, mengingat mayoritas warga yang
berkubang dalam kemiskinan tersebut adalah umat Islam. Meski APBN/D bukan
satu-satunya instrumen yang mempengaruhi kehidupan masyarakat, tetapi dapat
dipastikan jika sebagian besar perubahan sosial sangat dipengaruhi anggaran
ini.
Merujuk
pada berbagai ayat al-Qur’an maupun Hadits Nabi, setidaknya terdapat 3 langkah
penting yang harus dilakukan oleh ormas Islam dalam memerangi kemiskinan.
Pertama, mendorong masyarakat untuk bekerja keras dengan sepenuh hati. Menurut
almarhum Buya AR Sutan Mansyur, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah 1952-1957,
upaya membangun, menegakkan, dan menyusun kehidupan dengan sepenuh hati adalah
jihad yang dibutuhkan dalam suasana damai.
Kedua,
fungsionalisasi ibadah sosial semacam zakat fitrah, zakat maal, infak, kurban,
shadaqah, hibah, dan lain-lain. Berbagai ibadah sosial ini tentu akan lebih
bermanfaat kalau distribusinya terformat dalam materi primer yang dibutuhkan
oleh kalangan miskin (mustadl’afien), khususnya kegiatan ekonomi yang
produktif. Menurut penelitian UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation
(2005), potensi dana yang bisa dikumpulkan dari ibadah filantropis ini mencapai
Rp 19,3 triliun.
Ketiga,
mengawal anggaran pemerintah agar pembelanjaannya berpihak rakyat miskin. Meski
Islam tidak pernah menawarkan bentuk ideal sebuah negara, tetapi Islam
memberikan rambu-rambu bagaimana sebuah negara dikatakan berperilaku “islami”.
Bahwa negara adalah pemerintahan yang melindungi warga negaranya, bersikap
adil, serta memenuhi hak-hak kalangan miskin dan teraniaya.
Jika
tawaran pertama dan kedua sudah banyak dilakukan oleh kalangan agama, meski
diakui belum maksimal, justru langkah ketiga belum terlihat sama sekali.
Terdapat pemahaman seakan-akan anggaran negara adalah urusan legislatif dan
eksekutif saja, sehingga masalah ini seringkali cukup dipercayakan kepada kedua
lembaga tersebut. Padahal fakta menunjukkan kalau salah satu faktor utama
kemiskinan adalah kebijakan pemerintah yang tidak berpihak rakyat miskin.
Selain
itu, dibandingkan dengan langkah pertama dan kedua, langkah ketiga sifatnya
lebih taktis dalam mempercepat pemberantasan kemiskinan. Jika tawaran pertama
bersifat abstrak, dan kedua masih sebatas “potensi”, maka anggaran negara
adalah riil sifatnya dan setiap tahun pasti dibelanjakan. Dana dari kebijakan
ini setidaknya berjumlah Rp 1200 triliun setiap tahun, baik yang dianggarkan
oleh pusat, 33 provinsi, serta 440 kota/kabupaten di seluruh Indonesia.
Berdasarkan
minimnya keterpihakan APBN/D 2008 terhadap rakyat miskin, maka sudah selayaknya
jika agamawan mulai merambah dakwah dalam bentuk mengawal anggaran negara agar
berpihak masyarakat miskin. Agamawan harus melibatkan diri secara aktif dalam
penyusunan APBN/D, mulai dari perencanaan, pembahasan, penetapan, hingga
implementasinya di lapangan. Meski mereka bukan pengambil kebijakan secara
langsung, tetapi daya dorongnya mempunyai pengaruh besar dalam pola
penganggaran pemerintah.
Meminjam
istilah Amien Rais (1999), politik yang harus dimainkan ormas Islam adalah
aktualisasi dari high politics, dengan menghadirkan diri sebagai problem solver
berbasiskan landasan moral dan etik. Bidang garapnya adalah integral dengan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tanpa dibatasi oleh
kategori-kategori primordialitas. Kalangan agama adalah salah satu kekuatan
kultural ekstra-perlemen yang mengalokasikan nilai-nilai di masyarakat untuk
dikontribusikan ke dalam proses politik yang sedang berlangsung.
Adalah
langkah yang strategis jika kalangan agama bisa mempengaruhi pembelanjaan
negara untuk menjawab masalah kemiskinan. Dengan kelebihan struktur organisasi
yang menjangkau hingga tingkat kelurahan/desa, ditambah dengan tidak sedikit
anggotanya yang duduk sebagai stakeholders kebijakan, mereka bisa memerankan
diri sebagai penekan negara agar pro-rakyat, baik dalam penyusunan program
kegiatan, menganggarkan dalam APBN/D, dan mengontrol kegiatannya.
Langkah
ini mutlak dilakukan agamawan, karena APBN/D adalah kebijakan negara yang
sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Jika penganggaran negara berpihak
kepada kaum miskin, maka harapan tentang hilangnya kemiskinan akan semakin
cepat berhasil. Sebaliknya, jika anggaran negara tidak memihak masyarakat
miskin, sudah tentu penyakit sosial ini akan sulit dibasmi. Alih-alih negara
berhasil mengurangi dan menghentikan, justru negara akan menjadi agen yang
mengembangkan kemiskinan.
Tinggal
yang menjadi pertanyaan, mau dan mampukah amanah ini dilaksanakan? Allah A’lam
bi al-Shawab.