Muhammad
Kholid Asyadulloh
Satu tahun menjelang pemilihan umum (Pemilu) legislatif dan
presiden 2009, masyarakat disuguhi beragam atribut partai politik (parpol)
baru. Masa ini seakan menjadi babak baru bagi mereka untuk meraih simpati dari
rakyat dalam upayanya mencoba meraih keberuntungan 2009. Sekadar menyebut, di
antara parpol itu adalah Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Matahari Bangsa,
Partai Demokrasi Pembaruan, Partai Kebangkitan Nasional Ulama, dan masih banyak
lagi.
Mencerna pengurus parpol baru yang mendaftar itu, secara
mudah bisa dilihat bahwa eksistensi mereka berasal dari "sempalan"
parpol lama atau ganti "baju". Perbedaan pendapat dalam parpol yang
diselesaikan dengan segregasi melahirkan parpol "sempalan" baru, dan
parpol yang tidak "laku" berganti nama. Tidak heran jika pemainnya
pun bisa dikatakan itu-itu juga, dan tentunya perilaku organisasinya pun juga
tidak jauh beda.
Pertanyaan yang muncul, sebegitu pentingkah parpol baru bagi
masyarakat? Apakah partai yang kerepotan mengurus organisasi sendiri itu pantas
mendapatkan mandat mengurus rakyat? Sebab,
persatuan antara parpol dan grass root sebagai syarat pembangunan
demokrasi semakin hari semakin sulit terwujudkan dalam dinamika parpol.
Sebaliknya, parpol malah menunjukkan impotensinya sebagai lembaga penting yang
menawal proses demokratisasi Indonesia menuju arah perbaikan.
Realitas
menunjukkan bahwa mayoritas parpol belumlah menjadi kristalisasi dari kekuatan
yang memiliki kesadaran ideologis untuk memperjuangkan visi dan misi
organisasi, kecuali bagi kelompok kepentingan untuk meraih kekuasaan. Alih-alih
parpol mampu mempresentasikan dirinya sebagai wadah artikulasi publik, justru
yang diperlihatkannya adalah ketidakmampuan untuk mengendalikan hasrat berkuasa.
Apa yang diperjuangkan oleh parpol tidak pernah jauh dari persoalan perebutan
kekuasaan, bukan memperjuangkan ekspektasi rakyat dalam mencapai kemakmuran
hidup.
Singkatnya, parpol telah gagal
berperan sebagai pembangun dan pengembang demokrasi yang partisipatif (participatory
democracy), dengan kecenderungannya yang mengabaikan kepentingan rayat.
Berbagai kebijakan parpol yang parokhialis inilah yang menjadi faktor
determinan tetap buruknya kepercayaan publik kepada parpol. Kewenangan yang
dimandatkan kepadanya jarang dimaknai sebagai “tanggung jawab”, dan justru
dijadikan media manipulasi dalam memenangkan kepentingan diri, kelompok, serta
golongannya.
Kabar
Buruk
Di tengah euforia menjamurnya parpol baru tersebut, kabar
buruk datang dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku pembuat Undang-Undang
(UU). UU Pemilu Nomor 10 Tahun 2008 ini secara nyata menjadi senjata pembunuh
bagi parpol baru dan parpol gurem dengan pemberlakuan parliamentary
threshold (PT) sebesar 2,5 persen (Pasal 202), dan menarik sisa suara
kurang 50 persen Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) di sebuah Daerah Pemilihan
(Dapil) untuk dibawa ke provinsi dan diadu ulang (Pasal 205-207).
Penghitungan sisa suara semacam itu secara matematis sangat
potensial "menyingkirkan" parpol kecil, termasuk parpol yang saat ini
masih punyai wakil di legislatif kurang dari 3 persen. Sebab, keberadaan mereka
di DPR 2004-2009 itu kebanyakan "tertolong" oleh penghitungan sisa
suara yang langsung dihabiskan di Dapil, tanpa mempertimbangkan prosentasenya.
Akan menjadi cerita lain tentunya di 2009 nanti, karena sisa suara semacam itu
akan diadu ulang dengan sisa suara semua parpol di wilayah provinsi.
Jika sistem ini disimulasikan pada hasil Pemilu 2004 silam,
maka parpol-parpol kecil, termasuk yang punya kursi di DPR saat ini, harus
tereliminasi dari Senayan. Sebagai contoh kasus simulasi, Partai Bintang
Reformasi (PBR) yang saat ini mempunyai kursi 14 di DPR harus kehilangan semua
kursinya. Sebab, tidak satu pun dari kursi itu yang berasal dari sisa suara
lebih dari 50 persen BPP, apalagi sesuai dan melebihi BPP.
Sebagai konsekuensinya, suara sah yang berhasil
dikumpulkannya harus ditarik ke tingkat Provinsi dan diadu ulang dengan sisa
suara dari parpol lain peserta Pemilu. Di babak inilah parpol sempalan PPP ini
harus mengakui keunggulan parpol lain yang lebih "mapan", dan
menyerahkan singgasana kekuasaannya. Parpol besar semakin leluasa untuk
melebarkan sayap kekuasaannya di berbagai lini, sedangkan parpol kecil
sebagaimana halnya nasib "wong cilik", harus tereliminasi dan mundur
teratur dari blantika perpolitikan nasional.
Dengan sistem itu, maka simulasi Pemilu 2004 hanya
menghasilkan 7 parpol yang berhak mengirimkan wakil ke DPR. Golkar keluar
sebagai pemenangnya dengan 141 kursi, PDIP berada di urutan kedua dengan 120
kursi, disusul kemudian oleh PKB (65 kursi), PPP (61 kursi), Partai Demokrat
(61 kursi), PKS (52 kursi), dan PAN (50 kursi). Dari tujuh parpol ini praktis tidak ada yang dirugikan dari sistem
penghitungan sisa suara dan PT versi UU Pemilu 2008, kecuali PAN yang harus
kehilangan 3 kursi.
Tidak pelak, pengesahan UU Pemilu yang memakan waktu sekian
lama ini adalah kesuksesan DPR untuk menyederhanakan parpol di Indonesia.
Dilihat dari sisi ketidakefektivan parpol, banyaknya rakyat yang belum well-informed,
dan kecenderungan pendirian parpol untuk mencari kekuasaan, maka UU kreasi DPR
tersebut memang sangat dibutuhkan. Sebab, UU ini setidaknya membuat orang
berpikir ulang ketika mendirikan parpol baru, yang para pemainnya juga itu-itu
saja.
Apakah kaburnya makna keterwakilan ini menjadi harga yang
pantas dibayar untuk menyederhanakan parpol di Indonesia yang memang kurang
kredibel? Lalu untuk (apa) parpol baru hadir?! Rakyatlah yang akan menjawab untuk menentukan putaran sejarah
Indonesia. Sebab, merekalah yang menjadi pemegang kedaulatan yang sesungguhnya,
bukan parpol lama maupun baru!