Untuk (Apa) Parpol Baru

Muhammad Kholid Asyadulloh
Sumber: Surya, 11 Juli 2008


Satu tahun menjelang pemilihan umum (Pemilu) legislatif dan presiden 2009, masyarakat disuguhi beragam atribut partai politik (parpol) baru. Masa ini seakan menjadi babak baru bagi mereka untuk meraih simpati dari rakyat dalam upayanya mencoba meraih keberuntungan 2009. Sekadar menyebut, di antara parpol itu adalah Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Matahari Bangsa, Partai Demokrasi Pembaruan, Partai Kebangkitan Nasional Ulama, dan masih banyak lagi.
Mencerna pengurus parpol baru yang mendaftar itu, secara mudah bisa dilihat bahwa eksistensi mereka berasal dari "sempalan" parpol lama atau ganti "baju". Perbedaan pendapat dalam parpol yang diselesaikan dengan segregasi melahirkan parpol "sempalan" baru, dan parpol yang tidak "laku" berganti nama. Tidak heran jika pemainnya pun bisa dikatakan itu-itu juga, dan tentunya perilaku organisasinya pun juga tidak jauh beda.
Pertanyaan yang muncul, sebegitu pentingkah parpol baru bagi masyarakat? Apakah partai yang kerepotan mengurus organisasi sendiri itu pantas mendapatkan mandat mengurus rakyat? Sebab, persatuan antara parpol dan grass root sebagai syarat pembangunan demokrasi semakin hari semakin sulit terwujudkan dalam dinamika parpol. Sebaliknya, parpol malah menunjukkan impotensinya sebagai lembaga penting yang menawal proses demokratisasi Indonesia menuju arah perbaikan.
Realitas menunjukkan bahwa mayoritas parpol belumlah menjadi kristalisasi dari kekuatan yang memiliki kesadaran ideologis untuk memperjuangkan visi dan misi organisasi, kecuali bagi kelompok kepentingan untuk meraih kekuasaan. Alih-alih parpol mampu mempresentasikan dirinya sebagai wadah artikulasi publik, justru yang diperlihatkannya adalah ketidakmampuan untuk mengendalikan hasrat berkuasa. Apa yang diperjuangkan oleh parpol tidak pernah jauh dari persoalan perebutan kekuasaan, bukan memperjuangkan ekspektasi rakyat dalam mencapai kemakmuran hidup.
Singkatnya, parpol telah gagal berperan sebagai pembangun dan pengembang demokrasi yang partisipatif (participatory democracy), dengan kecenderungannya yang mengabaikan kepentingan rayat. Berbagai kebijakan parpol yang parokhialis inilah yang menjadi faktor determinan tetap buruknya kepercayaan publik kepada parpol. Kewenangan yang dimandatkan kepadanya jarang dimaknai sebagai “tanggung jawab”, dan justru dijadikan media manipulasi dalam memenangkan kepentingan diri, kelompok, serta golongannya.

Kabar Buruk
Di tengah euforia menjamurnya parpol baru tersebut, kabar buruk datang dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku pembuat Undang-Undang (UU). UU Pemilu Nomor 10 Tahun 2008 ini secara nyata menjadi senjata pembunuh bagi parpol baru dan parpol gurem dengan pemberlakuan parliamentary threshold (PT) sebesar 2,5 persen (Pasal 202), dan menarik sisa suara kurang 50 persen Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) di sebuah Daerah Pemilihan (Dapil) untuk dibawa ke provinsi dan diadu ulang (Pasal 205-207).
Penghitungan sisa suara semacam itu secara matematis sangat potensial "menyingkirkan" parpol kecil, termasuk parpol yang saat ini masih punyai wakil di legislatif kurang dari 3 persen. Sebab, keberadaan mereka di DPR 2004-2009 itu kebanyakan "tertolong" oleh penghitungan sisa suara yang langsung dihabiskan di Dapil, tanpa mempertimbangkan prosentasenya. Akan menjadi cerita lain tentunya di 2009 nanti, karena sisa suara semacam itu akan diadu ulang dengan sisa suara semua parpol di wilayah provinsi.
Jika sistem ini disimulasikan pada hasil Pemilu 2004 silam, maka parpol-parpol kecil, termasuk yang punya kursi di DPR saat ini, harus tereliminasi dari Senayan. Sebagai contoh kasus simulasi, Partai Bintang Reformasi (PBR) yang saat ini mempunyai kursi 14 di DPR harus kehilangan semua kursinya. Sebab, tidak satu pun dari kursi itu yang berasal dari sisa suara lebih dari 50 persen BPP, apalagi sesuai dan melebihi BPP.
Sebagai konsekuensinya, suara sah yang berhasil dikumpulkannya harus ditarik ke tingkat Provinsi dan diadu ulang dengan sisa suara dari parpol lain peserta Pemilu. Di babak inilah parpol sempalan PPP ini harus mengakui keunggulan parpol lain yang lebih "mapan", dan menyerahkan singgasana kekuasaannya. Parpol besar semakin leluasa untuk melebarkan sayap kekuasaannya di berbagai lini, sedangkan parpol kecil sebagaimana halnya nasib "wong cilik", harus tereliminasi dan mundur teratur dari blantika perpolitikan nasional.
Dengan sistem itu, maka simulasi Pemilu 2004 hanya menghasilkan 7 parpol yang berhak mengirimkan wakil ke DPR. Golkar keluar sebagai pemenangnya dengan 141 kursi, PDIP berada di urutan kedua dengan 120 kursi, disusul kemudian oleh PKB (65 kursi), PPP (61 kursi), Partai Demokrat (61 kursi), PKS (52 kursi), dan PAN (50 kursi). Dari tujuh parpol ini praktis tidak ada yang dirugikan dari sistem penghitungan sisa suara dan PT versi UU Pemilu 2008, kecuali PAN yang harus kehilangan 3 kursi.
Tidak pelak, pengesahan UU Pemilu yang memakan waktu sekian lama ini adalah kesuksesan DPR untuk menyederhanakan parpol di Indonesia. Dilihat dari sisi ketidakefektivan parpol, banyaknya rakyat yang belum well-informed, dan kecenderungan pendirian parpol untuk mencari kekuasaan, maka UU kreasi DPR tersebut memang sangat dibutuhkan. Sebab, UU ini setidaknya membuat orang berpikir ulang ketika mendirikan parpol baru, yang para pemainnya juga itu-itu saja.
Apakah kaburnya makna keterwakilan ini menjadi harga yang pantas dibayar untuk menyederhanakan parpol di Indonesia yang memang kurang kredibel? Lalu untuk (apa) parpol baru hadir?! Rakyatlah yang akan menjawab untuk menentukan putaran sejarah Indonesia. Sebab, merekalah yang menjadi pemegang kedaulatan yang sesungguhnya, bukan parpol lama maupun baru!