Kampanye Pilgub Tak Ramah Lingkungan

Muhammad Kholid Asyadulloh
Jawa Pos, 14 Juli 2008


Di antara kalangan yang paling “gerah” di awal-awal masa kampanye Cagub-Cawagub Jatim 2008-2013 tampaknya adalah pecinta lingkungan. Selain dipicu oleh “peremehan” lingkungan sebagai isu kesekian, ternyata lingkungan pula yang menjadi korban keganasan dari kampanye para kandidat tersebut. Hampir di semua sudut jalan terpasang berbagai alat peraga kampanye yang tidak mengindahkan etika, estetika, kebersihan, serta keindahan kota.
Kampanye tidak simpatik itu secara mudah bisa dilihat di sepanjang jalan protokol Surabaya, seperti Jl. A. Yani, Adityawarman, Diponegoro, dr Soetomo, dan Indragiri. Puluhan poster bergambar cagub-cawagub tampak menempel di pepohonan kota yang ironisnya dilakukan dengan menggunakan paku. Yang lebih mengerikan lagi, ada beberapa pohon yang dipasang dua spanduk di sisi kanan dan kiri dengan cara dipaku pula. Dengan alasan apa pun, yang jelas, pemakuan itu dapat merusak dan mengganggu pertumbuhan pohon, meski tidak bisa dilihat dalam waktu dekat.
Fakta pemakuan pohon ini menunjukkan bahwa para cagub-cawagub belum sepenuhnya menghormati lingkungan, menjaga, merawat, serta membangunnya. Calon pemimpin Jatim itu justru menunjukkan arogansinya untuk memenuhi hasrat politiknya, termasuk dengan memperlakukan lingkungan secara serampangan. Minimnya kesadaran dan tanggung jawab dalam menegakkan etika lingkungan secara vulgar dipertontonkan di hadapan masyarakat dengan cara-cara yang zalim, wadl’ al-syai’ lais fi makanih, memperlakukan sesuatu bukan pada tempatnya.
Kezaliman cagub di provinsi yang kental dengan nuansa religiusitas ini tentu terkategorikan sebagai perbuatan yang mungkar. Sebab, kalau merujuk pada doktrin Islam, masalah menjaga lingkungan hidup sebenarnya adalah ajaran yang sangat purba dan fundamental. Dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 35-39, diceritakan bahwa terlemparnya Nabi Adam AS dari surga karena tidak mengindahkan kearifan ekologis. Bersama istrinya Hawa, dia tersingkir dari surga yang penuh estetika, kedamaian, kerindangan, dan subur ke muka bumi yang gersang, karena memakan dan merusak buah kekekalan (khuld).
Kearifan ekoteologis juga diperlihatkan oleh Nabi Muhammad SAW saat menaklukkan Makkah (Fath Makkah). Dalam peristiwa ini Nabi melarang 3 hal kepada pengikutnya, yaitu menyakiti wanita dan anak-anak, melukai dan membunuh lawan yang sudah menyerah atau tidak berdaya, serta menebang pohon dan membunuh binatang. Perintah ketiga ini menunjukkan bahwa sejak jauh hari pun agama (Islam) telah memberikan landasan tentang pentingnya konservasi dan kelestarian lingkungan hidup.
Dalam tradisi Jatim sendiri, ajaran tentang kearifan alam ini sebenarnya jauh hari telah dicontohkan secara elok oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga di areal Sungai Sekardadi, Jenu, Tuban beberapa abad silam. Sebelum diangkat sebagai Sunan, Kalijaga dikenal sebagai Brandal Loka Jaya karena suka mencuri hasil kekayaan Kadipaten Tuban untuk didistribusikan kepada kalangan fakir miskin. Meski awalnya berjalan mulus, lama-kelamaan ayahnya yang tidak lain Bupati Tuban VIII Raden Tumenggung Haryo Wilotikto mengetahuinya, serta mengusirnya dari Kadipaten Tuban.
Dalam pengasingannya itulah dia bertemu dengan Sunan Bonang yang membawa sebuah tongkat yang memikat hati Kalijaga untuk merebut dan memilikinya. Terjadilah pergumulan di antara keduanya, dengan hasil akhir tongkat berpindah tangan dan Bonang tersungkur sambil menangis tersedu-sedu. Kalijaga merasa iba kepada Bonang dan mengembalikan tongkatnya, serta menanyakan bagian mana yang membuatnya kesakitan. Namun, jawaban Bonang sungguh mencengangkan. Dia menangis bukan karena kesakitan, tetapi karena mencabut rumput dengan tidak sengaja sehingga rumput itu terbuang sia-sia.
Dua kisah itu secara tegas menunjukkan bahwa merusak lingkungan sekecil apa pun merupakan perbuatan dosa. Sayangnya, seiring dengan perkembangan zaman dan manusia itu sendiri, ajaran kearifan ekologis ini semakin terlupakan dan tersingkirkan dari pola kehidupan beragama. Manusia telah kehilangan rasa hormatnya terhadap alam, serta mengabakan dimensi sakralitas yang dimiliki oleh alam tersebut. Padahal dalam pandangan Islam, alam adalah manifestasi dari kekuasaan Tuhan. Dalam berbagai ayat Al-Qur’an disebutkan bahwa bumi merupakan salah satu bagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah (QS. 41: 39, 42: 29, 2: 164, dan 29: 14).
Kalam-kalam Tuhan itu menunjukkan bahwa lingkungan bukanlah sekedar urusan ilmu pengetahuan dan teknologi saja, melainkan erat kaitannya dengan urusan aqidah (QS. 2: 22). Karena itu, tugas manusia sebagai khalifah (wakil Tuhan) di atas bumi tidak berarti bebas untuk mengeksploitasi kekayaan alam. Sebab konsep khalifah ini memang tidak otonom, dengan penyertaan tugasnya sebagai hamba Tuhan (abdullah) untuk mengimplementasikan ajaran dan sifat-sifat Tuhan di muka bumi. Manusia memang diperintahkan untuk memanfaatkan alam, tetapi pada saat yang sama juga diperintahkan untuk mempertahankan dan melindungi kelestarian alam.
Tugas kekhalifahan ini mempunyai tiga unsur yang saling terkait, yaitu manusia sebagai khalifah, alam raya yang harus dimakmurkan, dan hubungan keduanya secara harmonis. Tugas kekhalifahan ini menuntut adanya interaksi antara manusia dengan alam secara harmonis, dengan memperhatikan perkembangan dan situasi lingkungannya. Justru Tuhan sangat mengecam orang-orang yang hidupnya menimbulkan kerusakan bumi dan merusak tumbuh-tumbuhan. (QS. 2: 205, 7: 56, dan 25: 49).
Dalam konteks daerah yang sering dilanda bencana alam, para (calon) pemimpin seharusnya menghadirkan diri sebagai manusia agamis yang menghargai lingkungan. Mereka harus mentransformasikan persaudaraan (ukhuwah) kepada alam semesta dengan berlandaskan spirit agama, dengan penuh kepedulian dan keakraban. Penegasan Al-Qur’an yang seringkali menyebut “iman” dan “amal shaleh” secara bersamaan, mengisyaratkan bahwa kesempurnaan iman barus dicapai saat keyakinan digabungkan dengan pembelaan atas kepentingan kemanusiaan.
Oportunitas politik seharusnya tidak boleh melanggar kesatuan lingkungan, karena niat baik apa pun harus tetap dilakukan dengan cara baik pula. Makhluk apa pun, termasuk pohon, juga mempunyai "keterbatasan", baik memberi, menerima, bersahabat, menyapa maupun kehilangan kesabaran. Pohon jangan dilihat hanya sesosok kayu yang mati, tetapi lihatlah sebagai sebuah ekosistem kehidupan yang di pada dirinya banyak spesies yang menggantungkan hidup kepadanya, termasuk manusia. Sebab, dengan pohon inilah manusia bisa terlindungi dari racun karbon-dioksida dari polusi suara, serta menyediakan oksigen yang sangat dibutuhkan manusia. Allah A’lam bi al-Shawab.