Muhammad
Kholid Asyadulloh
Di antara kalangan yang paling “gerah” di awal-awal masa
kampanye Cagub-Cawagub Jatim 2008-2013 tampaknya adalah pecinta lingkungan.
Selain dipicu oleh “peremehan” lingkungan sebagai isu kesekian, ternyata
lingkungan pula yang menjadi korban keganasan dari kampanye para kandidat
tersebut. Hampir di semua sudut jalan terpasang berbagai alat peraga kampanye
yang tidak mengindahkan etika, estetika, kebersihan, serta keindahan kota.
Kampanye tidak simpatik itu secara mudah bisa dilihat di
sepanjang jalan protokol Surabaya, seperti Jl. A. Yani, Adityawarman,
Diponegoro, dr Soetomo, dan Indragiri. Puluhan poster bergambar cagub-cawagub
tampak menempel di pepohonan kota yang ironisnya dilakukan dengan menggunakan
paku. Yang lebih mengerikan lagi, ada beberapa pohon yang dipasang dua spanduk
di sisi kanan dan kiri dengan cara dipaku pula. Dengan alasan apa pun, yang
jelas, pemakuan itu dapat merusak dan mengganggu pertumbuhan pohon, meski tidak
bisa dilihat dalam waktu dekat.
Fakta pemakuan pohon ini menunjukkan bahwa para
cagub-cawagub belum sepenuhnya menghormati lingkungan, menjaga, merawat, serta
membangunnya. Calon pemimpin Jatim itu justru menunjukkan arogansinya untuk
memenuhi hasrat politiknya, termasuk dengan memperlakukan lingkungan secara
serampangan. Minimnya kesadaran dan tanggung jawab dalam menegakkan etika
lingkungan secara vulgar dipertontonkan di hadapan masyarakat dengan cara-cara
yang zalim, wadl’ al-syai’ lais fi makanih, memperlakukan sesuatu bukan pada
tempatnya.
Kezaliman cagub di provinsi yang kental dengan nuansa
religiusitas ini tentu terkategorikan sebagai perbuatan yang mungkar. Sebab,
kalau merujuk pada doktrin Islam, masalah menjaga lingkungan hidup sebenarnya
adalah ajaran yang sangat purba dan fundamental. Dalam surat Al-Baqarah (2)
ayat 35-39, diceritakan bahwa terlemparnya Nabi Adam AS dari surga karena tidak
mengindahkan kearifan ekologis. Bersama istrinya Hawa, dia tersingkir dari
surga yang penuh estetika, kedamaian, kerindangan, dan subur ke muka bumi yang
gersang, karena memakan dan merusak buah kekekalan (khuld).
Kearifan ekoteologis juga diperlihatkan oleh Nabi
Muhammad SAW saat menaklukkan Makkah (Fath Makkah). Dalam peristiwa ini Nabi
melarang 3 hal kepada pengikutnya, yaitu menyakiti wanita dan anak-anak,
melukai dan membunuh lawan yang sudah menyerah atau tidak berdaya, serta
menebang pohon dan membunuh binatang. Perintah ketiga ini menunjukkan bahwa
sejak jauh hari pun agama (Islam) telah memberikan landasan tentang pentingnya
konservasi dan kelestarian lingkungan hidup.
Dalam tradisi Jatim sendiri, ajaran tentang kearifan alam
ini sebenarnya jauh hari telah dicontohkan secara elok oleh Sunan Bonang dan
Sunan Kalijaga di areal Sungai Sekardadi, Jenu, Tuban beberapa abad silam.
Sebelum diangkat sebagai Sunan, Kalijaga dikenal sebagai Brandal Loka Jaya
karena suka mencuri hasil kekayaan Kadipaten Tuban untuk didistribusikan kepada
kalangan fakir miskin. Meski awalnya berjalan mulus, lama-kelamaan ayahnya yang
tidak lain Bupati Tuban VIII Raden Tumenggung Haryo Wilotikto mengetahuinya,
serta mengusirnya dari Kadipaten Tuban.
Dalam pengasingannya itulah dia bertemu dengan Sunan
Bonang yang membawa sebuah tongkat yang memikat hati Kalijaga untuk merebut dan
memilikinya. Terjadilah pergumulan di antara keduanya, dengan hasil akhir
tongkat berpindah tangan dan Bonang tersungkur sambil menangis tersedu-sedu.
Kalijaga merasa iba kepada Bonang dan mengembalikan tongkatnya, serta
menanyakan bagian mana yang membuatnya kesakitan. Namun, jawaban Bonang sungguh
mencengangkan. Dia menangis bukan karena kesakitan, tetapi karena mencabut
rumput dengan tidak sengaja sehingga rumput itu terbuang sia-sia.
Dua kisah itu secara tegas menunjukkan bahwa merusak
lingkungan sekecil apa pun merupakan perbuatan dosa. Sayangnya, seiring dengan
perkembangan zaman dan manusia itu sendiri, ajaran kearifan ekologis ini
semakin terlupakan dan tersingkirkan dari pola kehidupan beragama. Manusia
telah kehilangan rasa hormatnya terhadap alam, serta mengabakan dimensi
sakralitas yang dimiliki oleh alam tersebut. Padahal dalam pandangan Islam,
alam adalah manifestasi dari kekuasaan Tuhan. Dalam berbagai ayat Al-Qur’an
disebutkan bahwa bumi merupakan salah satu bagian dari tanda-tanda kekuasaan
Allah (QS. 41: 39, 42: 29, 2: 164, dan 29: 14).
Kalam-kalam Tuhan itu menunjukkan bahwa lingkungan
bukanlah sekedar urusan ilmu pengetahuan dan teknologi saja, melainkan erat
kaitannya dengan urusan aqidah (QS. 2: 22). Karena itu, tugas manusia sebagai
khalifah (wakil Tuhan) di atas bumi tidak berarti bebas untuk mengeksploitasi
kekayaan alam. Sebab konsep khalifah ini memang tidak otonom, dengan penyertaan
tugasnya sebagai hamba Tuhan (abdullah) untuk mengimplementasikan ajaran dan
sifat-sifat Tuhan di muka bumi. Manusia memang diperintahkan untuk memanfaatkan
alam, tetapi pada saat yang sama juga diperintahkan untuk mempertahankan dan
melindungi kelestarian alam.
Tugas kekhalifahan ini mempunyai tiga unsur yang saling
terkait, yaitu manusia sebagai khalifah, alam raya yang harus dimakmurkan, dan
hubungan keduanya secara harmonis. Tugas kekhalifahan ini menuntut adanya
interaksi antara manusia dengan alam secara harmonis, dengan memperhatikan
perkembangan dan situasi lingkungannya. Justru Tuhan sangat mengecam orang-orang
yang hidupnya menimbulkan kerusakan bumi dan merusak tumbuh-tumbuhan. (QS. 2:
205, 7: 56, dan 25: 49).
Dalam konteks daerah yang sering dilanda bencana alam,
para (calon) pemimpin seharusnya menghadirkan diri sebagai manusia agamis yang
menghargai lingkungan. Mereka harus mentransformasikan persaudaraan (ukhuwah)
kepada alam semesta dengan berlandaskan spirit agama, dengan penuh kepedulian
dan keakraban. Penegasan Al-Qur’an yang seringkali menyebut “iman” dan “amal
shaleh” secara bersamaan, mengisyaratkan bahwa kesempurnaan iman barus dicapai
saat keyakinan digabungkan dengan pembelaan atas kepentingan kemanusiaan.
Oportunitas politik seharusnya tidak boleh melanggar
kesatuan lingkungan, karena niat baik apa pun harus tetap dilakukan dengan cara
baik pula. Makhluk apa pun, termasuk pohon, juga mempunyai
"keterbatasan", baik memberi, menerima, bersahabat, menyapa maupun
kehilangan kesabaran. Pohon jangan dilihat hanya sesosok kayu yang mati, tetapi
lihatlah sebagai sebuah ekosistem kehidupan yang di pada dirinya banyak spesies
yang menggantungkan hidup kepadanya, termasuk manusia. Sebab, dengan pohon
inilah manusia bisa terlindungi dari racun karbon-dioksida dari polusi suara,
serta menyediakan oksigen yang sangat dibutuhkan manusia. Allah A’lam bi al-Shawab.