Spirit Pencerahan Pendidikan Muhammadiyah

Oleh: Muhammad Kholid Asyadulloh
Alumnus Fakultas Keguruan IAIN Sunan Ampel Surabaya
Sumber: Media Indonesia, 19 November 2012


Pada tanggal 18 November 2012 ini, organisasi Muhammadiyah tepat berusia 100 tahun versi kalender miladiyah. Kelahiran dan kehadiran Muhammadiyah telah memberikan banyak sumbangan berharga dalam upaya pencerdasan bangsa. Kiprah ini setidaknya bisa dilihat dari kuantitas amal usaha Muhammadiyah (AUM) di bidang pendidikan yang mencapai 10.327 buah yang terdiri atas 4623 TK, 2604 SD sederajat, 1718 SMP sederajat, 1143 SMA sederajat, 67 pondok pesantren, serta 172 Perguruan Tinggi.
Jalan panjang pencerdasan anak bangsa yang dilakukan Muhammadiyah ini sudah tentu tidak dilewati dengan jalan mulus, bahkan banyak yang tertatih-tatih, termasuk ada pula yang harus gulung tikar. Kiprah heroik dalam mempersiapkan generasi mendatang yang lebih baik ini secara mudah bisa dilihat dari cerita Laskar Pelangi. Film yang diangkat dari novel berjudul sama karya Andrea Hirata, itu bisa dimaknai bahwa pendidikan Muhammadiyah mampu menumbuhkan dedikasi dan integritas. Pendidikan yang hebat  tidak hanya berhubungan dengan fasilitas, tetapi bahkan mampu menyulap kekurangan dan keterbatasan menjadi spirit untuk bersuka ria dan cita, bermimpi, dan berangan menuju kebahagiaan.

Sudah tentu cerita itu bukan monopoli AUM pendidikan Belitung, karena banyak cerita serupa di pelosok tanah air. Modal kelahiran AUM di berbagai tempat lebih dilandasi oleh semangat keikhlasan dan ketulusan, bukan imbalan materiil. Pendirian AUM dihitung berdasarkan besaran ‘hati’, bukan ‘angka’. Sistem AUM yang berkembang dan hidup di Muhammadiyah mayoritas berdasarkan bottom up, hampir seluruhnya didirikan oleh umat di bawah. Hanya sedikit cerita tentang AUM yang keberadaannya dibangun atas dasar Surat Keputusan atau instruksi Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.
Pendidikan Muhammadiyah lahir dari bawah dan berkembang secara evolutif, tahap demi tahap, dari kecil menjadi besar (Tobroni: 2012). Biasanya diawali dari keberadaan masjid, yang kemudian dilengkapi dengan lembaga pendidikan TK, SD dan seterusnya. Keberadaan pendidikan Muhammadiyah tergantung pada keberadaan orang-orang Muhammadiyah di tempat itu, bukan karena penetrasi pimpinan Muhammadiyah dari level yang lebih tinggi. Tak heran jika bisa disimpulkan jika di suatu daerah tertentu terdapat pendidikan Muhammadiyah yang besar, maka di situ pula pasti terdapat orang-orang Muhammadiyah “besar” pula.
Semangat ‘memberi’ ini secara faktual membuat sayap Muhammadiyah semakin terkepak di berbagai wilayah. Meski harus juga diakui bahwa besarnya data kuantitatif mengenai jumlah AUM pendidikan itu belum diikuti oleh peningkatan mutu sekolah. Bahkan tidak tertutup kemungkinan jika sebagian besar dari jumlah sekolah Muhammadiyah yang ada berada dalam posisi menengah ke bawah. Yang jelas, dari 10.327 AUM Pendidikan itu, Muhammadiyah sebagai induk organisasi selalu berusaha melakukan pembaruan.
Selain untuk menghadapi dan menyongsong makna zaman, pembaruan adalah paradigma pendidikan yang dipakai sejak Muhammadiyah pertama kali didirikan pada 1912. Spiritnya masih sama saat KH Ahmad Dahlan merintis sekolah untuk “menandingi” sekolah Belanda yang mengarahkan siswanya untuk menjadi mandor atau tukang. Sekolah yang dirintis Dahlan bukan sekedar memberi tambahan mata pelajaran agama Islam, tetapi lebih jauh dari itu, menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan kejuangan, serta mengangkat martabat manusia Indonesia (Marpuji Ali: 2010).
Apa yang dilakukan lembaga pendidikan Muhammadiyah sebagaimana yang tergambar dari Laskar Pelangi, ternyata mampu mendobrak kebebalan keterbelakangan anak bangsa. Dalam keterbatasan dan kesederhanaan, tidak sedikit peserta didik yang bisa menemukan berbagai pencapaian dan petualangan seru di masa kanak-kanak hingga remaja. Mereka tetap berjuang hingga batas terakhir kemampuan, dengan panduan dan arahan para aktivis yang membimbingnya untuk terus percaya diri, berani berkompetisi, serta menempatkan pendidikan sebagai hal terpenting dalam kehidupan.
Sementara pendidik bukan sekedar sosok pengajar yang melakukan transformasi ilmu pengetahuan, tetapi juga tersimpan kemauan, kemampuan, keteladanan, kerja keras, kesabaran, pantang menyerah, dan keikhlasan. Pendidikan bisa menjadi elan vital bagi pembebasan anak didik dari keterbelakangan yang seringkali tidak disadari. Tidak sedikit yang masih menganggap bahwa kondisi yang menimpanya itu merupakan gejala nasib atau takdir Tuhan, yang tentunya berakibat pada “kondisi membiasanya penderitaan”. Ciri pokok kondisi ini adalah, apa yang tampak dari luar lingkungan mereka sebagai kondisi yang mengerikan, tetapi oleh orang-orang yang berada di dalamnya dilihat sebagai realitas kehidupan.
Dalam sejarah pendidikan Muhammadiyah, telah banyak yang dilakukan organisasi ini dalam membuka mata bahwa setiap anak didiknya berhak mempunyai “harapan baru”, dengan memandang dunia sebagai medan perjuangan yang menjanjikan. Bahwa dunia diliputi dengan keadaan dan potensi yang menjanjikan, meski dunia ditandai dengan ketidaknyamanan akibat dari “membiasanya” kemiskinan dan ketidakadilan. Dengan harapan yang berbasiskan keimanan inilah mereka punya keyakinan untuk merubah kondisinya yang kurang beruntung menuju arah yang lebih baik.

Multikulturalisme
Yang tidak kalah serunya, pendidikan Muhammadiyah juga harus mampu menjadi pelopor pendidikan berbasis multikulturalisme sejalan dengan pluralitas masyarakat. Pendidikan harus disadari sebagai bagian dari ruang publik, siapa pun dapat bergabung dengan sekolah Muhammadiyah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kisah Laskar Pelangi juga menghadirkan pelajaran penting untuk membangun nilai-nilai multikulturalisme. SD Muhammadiyah Belitong, yang menjadi setting sosial pasukan Laskar Pelangi berinteraksi telah membuka kesempatan seluas-luasnya pada warga masyarakat lintas agama dan etnis untuk memperoleh layanan pendidikan.
Karya Abdul Mu’thi dan Fajar Riza Ul Haq juga menjadi pembuka mata betapa pendidikan berbasis multikulturalisme telah dilakukan Muhammadiyah secara “ekstrem”. Pengalaman di daerah yang minoritas Muslim, menunjukkan banyak sekolah Muhammadiyah yang dijadikan tempat belajar keluarga non-Muslim. Salah satu contoh adalah di Nusa Tenggara Timur (NTT). Di NTT ini tersedia Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK). Yang menarik, teryata mayoritas mahasiswa UMK adalah non-Muslim, sehingga banyak alumnusnya yang berkiprah sebagai pastor, romo, biarawati, dan fungsional gereja. Realitas ini menyebabkan UMK seringkali diplesetkan menjadi ”Universitas Muhammadiyah Kristen”.
Pelajaran mengenai multikulturalisme yang harus disemai sejak anak-anak tumbuh dan berkembang di dunia pendidikan mutlak diperlukan. Sebab, realitas masyarakat menunjukkan adanya pluralitas etnis, kultur, dan agama. Harus diakui bahwa persoalan pluralitas (kemajemukan) hingga kini masih menjadi problem yang cukup pelik. Maka penanaman nilai-nilai multikulturalisme di kalangan peserta didik jelas merupakan investasi jangka panjang dengan harapan agar mereka kelak dapat memiliki kultur untuk dapat hidup secara harmonis dalam komunitas yang majemuk.
Menurut Haryatmoko (2007), setidaknya terdapat tiga alasan kenapa kesadaran multikulturalisme harus ditumbuhkan. Pertama, adanya fenomena penindasan atau penafian atas dasar agama, etnis, dan budaya. Dikotomi antara “kita” (kelompok dominan) dan “mereka” (di luar kelompok dominan) seringkali dilembagakan dalam rangka menjauhkan kelompok minoritas dari kekuasaan. Pelembagaan diskriminasi ini banyak terjadi di wilayah publik seperti pekerjaan, pendidikan, jabatan publik, dan hubungan sosial lainnya.
Kedua, istilah minoritas secara sistematis telah digunakan untuk memarginalkan kelompok tertentu dengan memberi label “tidak terlalu penting” dalam berhubungan dengan kelompok dominan. Ketiga, kaum urban dan migran seringkali menjadi pihak yang dipinggirkan oleh kelompok dominan. Situasi ini semakin terasa sejak undang-undang otonomi daerah dilaksanakan. Apalagi dalam banyak kasus, otonomi daerah seringkali disalahartikan dengan pemihakan terhadap kepentingan warga asli atau pribumi. Akibatnya, terjadi diskriminasi terhadap warga pendatang.
Multukulturalisme berarti pengakuan terhadap pluralitas budaya yang menumbuhkan kepedulian untuk mengupayakan agar kelompok minoritas terintegrasi dalam masyarakat dan kelompok mayoritas mau mengakomodasi perbedaan kelompok minoritas agar kekhasan identitas mereka tetap diakui (Kymlika, 1989). Arah multikulturalisme adalah untuk menciptakan, menjamin, dan mendorong ruang publik sehingga memungkinkan beragam komunitas dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan kekhasan masing-masing.
Mampukah pendidikan Muhammadiyah dalam memasuki abad kedua ini menjadi pemecah problem (problem solver) pendidikan di Indonesia, bukan sebagai bagian dari problem (part of the problem) atau sumber problem (source of the problem)? Semua tergantung pada person yang diamanati untuk mengurus organisasi warisan KH. Ahmad Dahlan tersebut. Sejarah yang akan mencatatnya. Allah a’lam bi al-shawab.