Asketisme Parayaan Imlek

Muhammad Kholid Asyadulloh

Sumber: Kompas Jatim, 6 Februari 2008

Berbagai kesibukan telah dipersiapkan oleh masyarakat Jawa Timur menjelang kedatangan Tahun Baru Imlek 2559, yang jatuh pada Kamis, 07 Februari 2008. Nuansa kemeriahan Imlek terasa di hampir semua pusat keramaian, dengan dominannya warna merah dan kuning sebagai corak hiasan. Sama halnya dengan kedatangan tahun-tahun baru lainnya, perayaan Tahun Baru Tiongkok ini juga dimaknai sebagai momen berdoa agar 12 bulan ke depan dipenuhi dengan keberkahan, kesejahteraan, rezeki dan keberuntungan selama 12 bulan ke depan.

Dalam kondisi Jatim kontemporer, adalah penting menggali makna Imlek sebagai momentum untuk berbagi terhadap sesama. Sebab, di daerah ini masih banyak warga yang ter(di)paksa hidup susah sebagai akibat dari melonjaknya berbagai bahan pokok. Menurut laporan tahunan Badan Pusat Statistik (BPS), disebutkan jumlah penduduk miskin di Jatim adalah 7,13 juta orang atau 18,93 % dari sekitar 37,65 juta total penduduk. Kondisi elegis ini terjadi sejak krisis moneter menghantam Indonesia pada 1997, dengan banyaknya warga terperangkap dalam lingkaran kemiskinan secara turun-temurun.
Ditambah lagi dengan datangnya bencana yang bertubi-tubi, baik yang disebabkan alam maupun keteledoran manusia, mendorong massivitas warga tenggelam ke dalam lembah kemiskinan. Bencana banjir yang melanda Jatim di awal 2008 mengakibatkan kerugian materiil luar biasa bagi masyarakat, selain tentunya korban jiwa. Menurut data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), kerugian yang diakibatkan banjir di Jatim mencapai Rp 1,238 triliuan. Nominal ini didapat dari kerusakan infrastruktur dan bangunan sejumlah Rp 774,7, serta potensi kerugian (potential loss) senilai Rp 463,5 miliar.
Imlek sepantasnya dijadikan sebagai momentum untuk menegakkan solidaritas terhadap kalangan yang lemah dan tidak beruntung. Sebab, tidak bisa dipungkiri bahwa kemiskinan sangatlah rentan menjadi penyebab bagi munculnya beragam masalah sosial lainnya semacam pencurian, perampokan, dan sebagainya, termasuk tragedi kemanusiaan semacam busung lapar, gizi buruk, putus sekolah, bunuh diri, serta lain sebagainya. Masalah kemiskinan berimplikasi pada kseluruhan aspek kehidupan, meski manusia itu sendiri yang terkadang tidak menyadarinya.
Sikap aktif-partisipatif ini layak dikemukakan, mengingat masih banyak masyarakat yang selama ini menganggap kemiskinan sebagai gejala takdir semata. Banyak yang meyakini bahwa penyebab kemiskinan adalah warisan dan mentalitas manusia yang malas, tidak mau bekerja, serta stereotype negatif lainnya. Padahal kemiskinan adalah masalah yang multidimensional dan terkait erat dengan masalah ekonomi, politik, keamanan, maupun kebudayaan. Tumbuh suburnya kemiskinan bisa dikarenakan faktor ketidakadilan penguasa, keputusan politik yang tidak populis, menjamurnya korupsi, krisis kapitalisme, kekeringan, bencana alam yang tidak kunjung henti, serta lain sebagainya.
Mengingat kondisi kehidupan mayoritas penduduk Jatim yang masih memprihatinkan itu, seyogyanya Imlek 2559 dijadikan momentum berbagi terhadap kalangan lemah. Pemaknaan Imlek lebih kontekstual-fungsional jika difokuskan pada berbagai kegiatan yang menggambarkan besarnya solidaritas sosial etnis Tionghoa terhadap mayoritas warga miskin. Imlek justru akan mempunyai nilai lebih bagi bangsa ini, jika perayaannya diiringi dengan berbagai aktivitas bhakti sosial, pemberian sumbangan, maupun pemberdayaan masyarakat miskin.
Tahun Baru Imlek cukup dirayakan secara sederhana, bersahaja, tidak berlebihan, dan jauh dari glamour, mewah, dan berfoya-foya. Menurut Hajrianto Y. Tohari (2006), jika sikap ini banyak dilakukan para kalangan mampu (the have) secara numerikal dan proporsional, dipastikan akan berdampak pada pengurangan deskripansi sosial dan segregasi ekonomi yang terjadi. Sebab, sikap ini akan meningkatkan rasa kebersamaan (sense of toghetherness) sebagai bangsa yang masih harus senantiasa prihatin karena krisis yang belum menampakkan tanda-tanda untuk berakhir.
Di sisi lain, asketisme parayaan Imlek semacam ini juga menjadi petunjuk ttg kebesaran hati kalangan Tionghoa dalam menjalani hidup berbangsa dan bernegara. Sebab, meskipun kalangan ini mendapatkan banyak perlakuan diskriminatif dari penguasa selama hampir umur negara Indonesia, tetapi hal ini bukan berarti menjadi halangan untuk berkontribusi pada kehidupan berbangsa. Justru ketidakadilan ini harus dijadikan pendorong untuk semakin peduli terhadap kondisi masyarakat lain, lebih-lebih kalangan yang termarjinalkan oleh kebijakan negara.
Imlek adalah pembuktian riil bahwa Tionghoa adalah bagian integral dari ”kekitaan” Indonesia, bukan “mereka” yang sewaktu-waktu menjadi sasaran amukan massa. Imlek adalah salah satu medium penting dalam upaya meningkatkan rasa kebersamaan (sense of toghetherness). Sikap eksklusif, apatis, dan isolatif yang direpresentasikan segelintir warga Tionghoa, harus diimbangi dengan counter yang lebih besar dalam menunjukkan komitmen membangun kebersamaan menuju Indonesia baru.
Nilai altruisme semacam itulah yang telah diwariskan oleh para pendahulu Tionghoa semacam negarawan Tan Po Gwan, Siauw Giok Tjhan, Ong Eng Die, ataupun Kwik Kwan Gie. Sebelumnya, di zaman kemerdekaan ada negosiator ulung semacam Tjoa Siek In yang menjadi delegasi perundingan USS-Renville, serta Sim Kie Ay yang ditunjuk Moh. Hatta sebagai delegasi-penasehat dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Sedangkan di gelanggang politik praktis terdapat Siauw Giok Tjhan, Yap Tjwan Bing, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan, Teddy Jusuf, dan lain-lainnya.
Akhirnya, sebagai bangsa yang masih terus dilanda krisis berkepanjangan yang tampaknya tidak mungkin berakhir dalam waktu singkat, seluruh elemen bangsa memang masih dituntut untuk tetap hidup serba prihatin. Kesediaan berbagi terhadap sesama adalah relevan dengan makna Imlek itu sendiri, yaitu pernyataan syukur atas kemakmuran yang telah diberikan oleh Tuhan. Bukankah pernyataan syukur atas karunia Tuhan tidak semestinya dirayakan secara “bringas” terhadap lingkungan sosialnya? Gong Xi Fa Chai!