Isra Mi'raj dan Pemberantasan Korupsi

Muhammad Kholid Asyadulloh
Solo Pos, 27 Juli 2008

Pada tanggal 30 Juli 2008 ini, umat Muslim Indonesia memperingatinya sebagai hari Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Yaitu peristiwa perjalanan monumental Nabi dari Mekkah ke Masjid al-Aqsa di Palestina (isra) yang dilanjutkan dengan kenaikannya ke langit Sidrah al-Muntaha (mi’raj) untuk menerima risalah shalat lima waktu yang dilaksanakan umat Islam saat ini. Ibadah mahdlah inilah yang dicatat sebagai amalan preventif bagi umat Islam dari perbuatan keji dan mungkar” sebagaimana yang diisyaratkan dalam al-Quran Surat Al Ankabut (29) ayat 45.
Dalam rentangan panjang sejarah Muslim, khususnya di Indonesia, shakat ternyata belum sepenuhnya mampu menanggulangi kemungkaran sosial. Hal ini setidaknya bias dilihat dari maraknya tindakan korupsi yang justru dilakukan oleh segelintir elit berbaju “agamis” yang terlibat dalam kasus korupsi. Yang terbaru tentu saja adalah penetapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Yusuf Emir Faishal sebagai tersangka. Mantan Ketua Komisi IV DPR ini diduga kuat menerima suap dalam kasus alih fungsi 600 hektar hutan bakau di Tanjung Api Api, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan menjadi kawasan pelabuhan (Solo Pos, 15/7).
Penetapan status baru Yusuf Emir Faishal itu tentu saja menambah daftar politisi dari partai agamis yang terjerat dalam korupsi. Sebelumnya, Al-Amin Nur Nasution diduga menerima uang suap dan “bonus wanita” atas jasanya dalam mengalihkan hutan lindung menjadi "hutan beton" di Bintan. Kelakukan yang kurang lebih juga ditampilkan Bulyan Royan yang juga terkait dengan kasus dugaan penyuapan 66.000 US$ dan 5.500 Euro. Berbeda dengan kedua koleganya yang terjerat dalam kasus alih fungsi kawasan, Bulyan Royan terlibat dalam proses lelang pengadaan kapal patroli Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan (Solo Pos, 1/7).
Maraknya korupsi yang dilakukan oleh kalangan yang cukup mengetahui agama ini tentu cukup ironis. Tampaknya tidak terlalu salah jika Abdul Munir Mulkhan (2003) mensinyalisir jika pemahaman keagamaan yang tumbuh cenderung bersifat “matematis”. Praktik keshalehan bukan lagi dijadikan sebagai pengabdian yang tulus kepada Tuhan (ibtigha’ mardlah Allah), tetapi perburuan pahala untuk kepentingan dunia pasca-kematian (akhirat). Keshalehan tidak ada ubahnya sebagai perdagangan kapitalistik, dengan cara berbuat sedikit dosa (modal), tetapi menghasilkan pahala (keuntungan) yang melimpah.
Dengan kata lain, sebagai entitas yang bisa diperebutkan dari berbagai perspektif dan kepentingan, agama bisa berfungsi dua pendorong dalam berkorupsi. Pada satu sisi, agama menjadi elan vital dalam mengenyahkannya, tetapi juga sebaliknya. Agama bisa menjadi kekuatan yang dahsyat memerangi korupsi pada satu sisi, tetapi ia juga bisa menjadi pemicunya. Agama bisa memandang korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa, tetapi agama juga bisa memandangnya sebagai tindakan yang termaafkan, bahkan terpuji.
Tidak heran jika kelebihan pengetahuan agama bukanlah jaminan bahwa dia imun dari korupsi. Sebaliknya, kelebihan ini bisa saja malah membuat seseorang semakin berani berkorupsi, karena pengetahuannya tentang agama membuatnya tahu bagaimana cara Tuhan membalas tindakan manusia. Apalagi Tuhan sendiri pun dalam kalam-kalam-Nya seringkali menyatakan diri-Nya sebagai Maha Pengasih dan Pemaaf terhadap segala kesalahan yang diperbuat hamba-Nya, terkecuali membuat tandingan atas diri-Nya (syirik)
Dalam Islam sendiri, model keberagamaan yang “mengakali” Tuhan semacam ini memang bukanlah perkara yang sulit dicarikan justifikasinya. Sebagai contoh, dalam Surat al-Syuura/42 ayat 40, Tuhan akan membalas kesalahan manusia (maksiat) setara dengan kejahatan yang telah dilakukannya. Di sisi lain, Tuhan membalas kebaikan manusia dengan ganjaran yang jumlahnya 700 kali lipat (QS. al-Baqarah/2: 261), bahkan berlaku hingga 83,3 tahun lamanya (QS. al-Qadar/97:3)
Dengan demikian, ke-Maha Ampun-an Tuhan bisa menjadi pintu celah bagi seorang koruptor untuk “memutihkan” dosa korupsi. Apalagi kalau mengikuti sabda Nabi Muhammad SAW secara harfiah ikutilah kemaksiatan dengan kebaikan sebagai penghapusnya (atbi’ al-sayiah al-hasah tamhuhaa), maka seorang koruptor bisa menjadi “suci” jika melakukan kebaikan. Sedangkan kebaikan, khususnya sedekah, mendapatkan ganjaran dari Tuhan selama amalannya itu bermanfaat bagi orang lain, meski dirinya telah meninggal dunia (idza mata ibn adam inqatha’a ‘amalulu illa tsalast…wa shadaqah jariyah).
Dengan kalkulasi reward pahala dan punishment dosa ini, bisa jadi para koruptor tetap yakin bahwa pahalanya lebih banyak daripada dosanya. Sebagai sebuah gambaran, jika seseorang mengkorupsi Rp 1 miliar saja, dia sangat berpeluang mendapatkan ganjaran yang melimpah-ruah. Meski mendapatkan dosa Rp 1 miliar, tetapi dia justru akan beruntung kalau menyedekahkan 10 persen saja (Rp 100 juta) dari korupsinya. Sebab, dia akan mendapatkan pahala sekitar Rp 70 miliar, dan jumlah ini akan berlaku 83,3 tahun jika waktu bersedekah bertepatan dengan sekali malam Qadar, dan seterusnya.
Di sinilah pentingnya agamawan melakukan pembaruan teologis yang tidak cepat lekang di bawah sadar seorang pemeluk agama. Sudah saatnya membangun fatwa bahwa dosa korupsi tidak akan diampuni Tuhan, karena efek yang ditimbulkannya merusak nilai-nilai kemanusiaan sebagai basis keber-Tuhan-an (QS. al-Baqarah/2: 22). Korupsi adalah tindakan yang menzalimi sekian juta warga negara, bahkan membunuhnya secara berlahan-lahan. Pelaku korupsi tidak akan mendapatkan ampunan dari Tuhan kecuali sudah mendapatkan ampunan dari semua pihak yang dirugikannya.
Tuntutan pembaruan teologis ini semakin mendesak, mengingat raison d’etre agama adalah sebagai gugatan atas penindasan dan ketidakadilan. Idealnya, agama berperan membangunkan masyarakat untuk melakukan resistensi terhadap segala bentuk kezaliman yang ada. Berkaitan dengan kejahatan korupsi yang semakin menggila, maka sudah saatnya agama ditafsirkan dalam keberagamaan fungsional bagi penyelenggaraan negara yang bersih.
Tanpa pembaruan teologi antikorupsi, sangat mungkin seorang koruptor tetap berkeyakinan bahwa dosa korupsinya bisa “diputihkan” dengan berbagai ibadah semacam zakat, infaq, shadaqah, dan lain-lainnya. Dengan logika 700 lipat ganjaran kebaikan dan 1 dosa kejahatan, sangat mungkin seorang koruptor tetap yakin bahwa dirinya akan mulus melewati jembatan shirath al-mustaqim menuju surga di akhirat kelak. Bahkan, sangat mungkin korupsi justru diyakini sebagai jalan terbaik masuk surga dan terkategorikan sebagai jihad fi sabilillah. Allah A’lam bi al-Shawab.