Memperkuat Mediasi Sosial PITI

Muhammad Kholid Asyadulloh
Peserta Tiongkok Moslem Tour 2010
Jawa Pos, 09 Maret 2012



Pada tanggal 9-11 Maret 2012 ini, Pembina Iman Tauhid Islam d/h Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) menyelenggarakan Muktamar Nasional ke-4 di Pontianak, Kalimantan Barat. Sebagai wadah etnis Tionghoa yang beragama Islam, PITI cukup kompatibel sebagai katalis integrasi sosial antar suku yang selama ini dipisahkan oleh prasangka dan stereotip. Posisi strategis ini tak lepas dari keunikan PITI yang punya kedekatan budaya dengan etnis Tionghoa pada satu sisi, serta keeratan agama dengan mayoritas warga Indonesia pada sisi lain.
Bagi banyak kalangan, nama PITI memang baru terdengar di kalangan terbatas. Keasingan ini bisa dimaklumi karena gebyar PITI secara kuantitatif tidak semeriah organisasi keagamaan mapan lainnya, semisal Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Ditambah lagi dengan penamaan “Islam Tionghoa”, yang otomatis berkonsekuensi pada sasaran dakwahnya terkonsentrasi pada etnis Tionghoa saja. Sementara populasi Tionghoa di Indonesia hanya 10 jutaan jiwa, dan hanya 2-5 persennya yang beragama Islam. Kondisi ini membuat Muslim Tionghoa adalah minoritas yang memeluk agama mayoritas, yang sayangnya merupakan minoritas di kalangannya sendiri.
Faktor minoritas ini tampaknya bisa dipahami kenapa bibit kelahiran PITI mengambil setting sejarah di Sumatera, tepatnya Medan dan Bengkulu, dengan nama Persatuan Islam Tionghoa (PIT) pimpinan H. Abdusomad (Yap A Siong) dan Persatuan Tionghoa Muslim (PTM) pimpinan Kho Goan Tjin. Penggabungan dua organisasi yang telah eksis jauh sebelum kemerdekaan Indonesia itu baru terjadi pada 14 April 1961 di Jakarta, sekaligus peresmian nama baru sebagai PITI. Pemeran sentral dari koalisi ini adalah H. Abdul Karim Oei Tjeng Hien, Muslim Tionghoa yang pernah dipercaya sebagai konsul Muhammadiyah dan Ketua Masyumi Bengkulu.
Sebagai bagian dari Tionghoa, PITI juga mengalami masa suram seiring dengan meletusnya prahara Gerakan 30 Septerber 1965. Orde Baru yang membatasi ekspresi kebudayaan Tionghoa berimplikasi pada nama Tionghoa di kepanjangan PITI ikut terkena dampak. Kepanjangan PITI pun dirubah menjadi Pembina Iman Tauhid Islam pada 1972. Barulah pada 2000, PITI resmi menggunakan dua kepanjangan sekaligus: Pembina Iman Tauhid Islam d/h Persatuan Islam Tionghoa Indonesia.
Meski didirikan sejak 1961, perjalanan PITI sebagai organisasi bisa dibilang tertatih-tatih. Tak heran jika dalam periode tersebut, PITI baru mampu menyelenggarakan empat kali Muktamar, meski : 1987 (Jakarta), 2000 (Jakarta), 2005 (Surabaya), dan 2012 (Pontianak). Kelambanan juga terlihat dari jumlah struktur organisasi yang baru terbentuk di 16 Provinsi se-Indonesia, dan hanya 70-an di tingkat Kabupaten/Kota. Sementara sosok yang pernah duduk di puncak PITI juga baru lima orang: Abdul Karim Oei (1961-1987), Mayjen (Pur) Drs. H. Satibi Darwis (1987-2000), HM. Trisno Adi Tantiono (2000-2003), HM Jos Soetomo (2003-2005), serta H Tri Tantiono (2005-2011).
Salah satu yang menjadi program utama PITI sejak kelahirannya adalah menyampaikan dakwah Islam, khususnya pada masyarakat Tionghoa. Tak hanya dakwah, tapi juga ditindaklanjuti dengan pembinaan dalam bentuk bimbingan ke muallaf dan persiapan berbaur dengan umat Islam di lingkungan tempat tinggal dan pekerjaannya. PITI terbukti bisa memainkan peran ini dengan baik karena punya latar belakang etnis dan agama yang lebih akomodatif terhadap Tionghoa maupun mayoritas penduduk negeri.
Untuk menunjang mediasi sosial, di luar acara bhakti sosial yang beragam, yang kalah strategisnya dilakukan PITI adalah membangun masjid. Masjid tak hanya digunakan untuk memperkenalkan Islam, tetapi masjid yang biasanya juga berarsitektur Tiongkok itu juga memperkenalkan Tionghoa tanpa tendensi. Tak heran jika selain sebagai tempat wisata religi, ragam masjid itu juga menjadi tempat memperkenalkan dan mendiskusikan agama Islam sekaligus Tionghoa.
Meski terbilang sukses dalam menyiapkan dan mengantarkan muallaf Tionghoa ke pergaulan keluarga dan lingkungan, tugas kebangsan yang tak boleh dilupakan oleh PITI adalah mempercepat menyelesaikan problem kebangsaan antar etnis. Berbagai konstitusi di republik ini telah “menjanjikan” hilangnya diskriminasi, tetapi harus diakui bahwa praktik diskriminasi masih banyak bercokol dalam kehidupan sehari-hari. Ketiadaksatuan tulisan dan praktik ini tentu membutuhkan jembatan yang menghubungkan komunitas Tionghoa dengan non-Tionghoa.
Tanpa menafikan peran berbagai pihak, rasanya cukup beralasan jika menempatkan PITI sebagai salah satu mediator yang tepat. Harapan ini tak lepas dari keunikannya yang punya latar belakang etnis dan agama yang lebih akomodatif terhadap Tionghoa maupun mayoritas penduduk negeri. Posisi ini otomatis membuat PITI bisa masuk pada dua komunitas yang “berseteru” agar bisa saling mengenal dan memahami. Sebab, akar masalah kesulitan menghilangkan diskriminasi Tionghoa adalah kesenjangan pemahaman dan pengertian antara non-Tionghoa dan Tionghoa.
PITI harus bisa menjadi jembatan untuk mengurai benang kusut kesalahpersepsian yang secara historis buah dari kebijakan politik devide et impera Belanda tersebut. Sebab, dibandingkan rekan-rekannya sesama Tionghoa, mereka yang beragama Islam memang lebih bisa dan sudah diterima oleh kebanyakan masyarakat umumnya. Jika potensi ini dimaksimalkan, sangat mungkin akan  memberi efek ganda bagi masyarakat sekitar (multiplier effect) dalam menyelesaikan masalah kebangsaan antar etnis.
Peran kebangsaan ini bisa dilakukan PITI dengan menjadi etalase tentang gambaran dua karakter: Tionghoa dan Islam. Mereka menjadi semacam etalase bagaimana sesungguhnya etnis Tionghoa adalah bagian dari ”kita” yang ingin memberi kontribusi positif bagi bangsa. Mereka juga punya tugas untuk mensosialisasikan (pemeluk) Islam pada Tionghoa yang kebetulan tidak beragama Islam dalam mempersepsi muslim non-Tionghoa.
Fungsi mediasi tidak bertujuan untuk menyeragamkan semua pihak dalam satu entitas, sebagaimana zaman Orde Baru, tetapi menciptakan ruang bagi eksisnya berbagai pandangan dan perspektif dalam kedamaian, rekonsiliasi, pengampunan, nirkekerasan, dan berkeadaban. Sehingga selain sebagai wadah silaturahmi, PITI harus menjadi komponen bangsa yang dapat berperan strategis sebagai jembatan penghubung antar suku dan etnis. Allah a’lam bi al-shawab.