Pesantrenku dalam Sorotan

Oleh: Muhammad Kholid Asyadulloh
Jurnalis, alumnus Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Sukoharjo
Sumber: Jawa Pos, 07 September 2012

Setelah sekian lama tak terdengar, pondok pesantren Al-Mukmin Ngruki kembali “Tersangkut” dengan kekerasan di tanah air. Dua terduga teroris Solo yang tewas tertembak, Farhan Mujahid dan Muchsin Tsani, serta beberapa jejaringnya merupakan orang-orang yang pernah mengenyam pendidikan di Ngruki. Fakta ini membuat tidak sedikit masyarakat yang melabeli Ngruki sebagai sarang teroris, sebuah julukan tak nyaman bagi siapa pun yang (pernah) hidup di pesantren ini.
Adalah benar terdapat alumnus maupun jebolan Ngruki yang terlibat dalam tindak terorisme. Namun, bukanlah sikap yang adil jika kegiatan terorisme yang dilakukan seorang individu harus harus dikaitkan dengan institusinya. Apalagi keterlibatan mereka dalam dunia teror terjadi setelah beberapa tahun keluar dari pesantren, baik berstatus alumnus maupun jebolan. Artinya, proses radikalisasi mereka terjadi saat berinteraksi di luar pesantren, yang tentu saja dengan ragam faktor.

Berdasarkan hasil investigasi Balitbang Kementerian Agama (2003), sebenarnya tidak satupun kurikulum yang mendorong Ngruki berbuat makar atau kekerasan. Yang mungkin agak “membedakan” adalah pembelajaran Aqidah kelas 1 MTs/sederajat yang membahas kewajiban jihad (fisik) secara normatif serta konsekuensi “syahadat” versus thaghut. Secara kebetulan, buku ini merupakan karya Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir, yang jika dibaca secara serampangan akan memunculkan penafsiran yang distorsif.
Pembeda lain yang khas Ngruki adalah pembelajaran bandongan setiap ba’da Maghrib dan Subuh. Kebanyakan buku kajian yang dibahas adalah karya tokoh “keras” Islam yang lahir di era “keterjajahan” dunia Islam leh Barat, seperti Tarbiyah Jihadiyah, Tafsir fi Dzilal al-Quran, Ma’alim fi al-Thariq, Al-Wala’ wa al-Bara’, dan lain-lain. Tidak heran jika Ngruki akrab dengan pemikiran semacam Fathi Yakan, Sayyid Qutb, Hassan al-Banna, Said Salim al-Qahthani, Ibn Taimiyyah, Abdullah Azzam, dan sejenisnya.
Militansi santri Ngruki semakin mengeras ketika pemahaman agama ini dibumbui dengan nostalgia sejarah konfrontatif melawan rezim Orde Baru. Persenyawaan ini menjadikan santri (ter)biasa bergesekan dengan pemerintah, termasuk sikap resisten pada aparat pemerintah. Sikap resistensi yang diwariskan sebagian “faksi” Ngruki ini merupakan reaksi atas Orde Baru yang memaksakan Pancasila sebagai asas tunggal, yang terkadang dicerna para santri tanpa kajian yang mendalam.

Instrospeksi
Bagi Ngruki, ragam peristiwa terorisme patut dijadikan momentum untuk berintrospeksi dalam membekali santri agar tidak mudah (dijebak) dalam ideologi kekerasan setelah (lulus) keluar dari pesantren. Memang boleh saja berspekulasi bahwa ragam kasus tersebut merupakan ulangan konspirasi Komando Jihad jilid baru sebagaimana disinyalir Z.A. Maulani dan Suripto, --dua tokoh berlatar belakang intelijen--. Sebab, fakta menunjukkan adanya pelibatan idiom-idiom dan simbol-simbol keagamaan dalam aksi kekerasan, dan melibatkan orang-orang yang pernah mengenyam pendidikan Ngruki.
Tindakan terorisme yang sering mencatut agama sudah seharusnya membuat Ngruki menelaah kembali ragam mata pelajaran yang diberikan pada para santri. Dalam masalah kajian bandongan misalnya, ragam karya abad ke-19 yang dijadikan bahan pembelajaran tampaknya perlu disandingkan dengan pemikiran Islam yang lahir di era kemerdekaan. Sebagai sama-sama hasil ijtihad ulama, karya yang muncul dalam dua era berbeda tersebut memiliki corak yang berbeda dalam menghadirkan (tafsir) Islam menghadapi tantangan zaman.
Begitu juga materi pembelajaran Aqidah yang cenderung ringkas, juga patut dilakukan tahqiq agar tidak mudah disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Dalam masalah jihad misalnya, penting ditegaskan bahwa ia bukanlah amaliyah ala teroris yang membabi buta dengan membunuh orang-orang yang tak berdosa. Jangankan dalam suasana damai, bahkan dalam suasana perang pun, Islam punya etika untuk mencapai tujuan.
Tentu bukan sesuatu yang salah jika Ngruki cenderung menutup diri secara fisik dari luar, seperti televisi, radio, dan surat kabar, kecuali beberapa yang telah "disensor". Tapi khusus silaturrahmi pemikiran Islam, Ngruki dengan batas-batas tertentu rasanya harus mulai terbuka bagi kehadiran buku bacaan alternatif. Keterbukaan “terbatas” ini setidaknya akan membuat santri lebih dini mengenal problem perbedaan di masyarakat, sehingga tidak “kaget” dengan tawaran ideologi kekerasan setelah keluar pesantren.
Keterbukaan “terbatas” ini juga berkonsekuensi adanya perubahan metode ceramah dalam penanaman karakter pada anak didik. Jika biasanya cenderung dogmatis dan menggambarkan berbagai permasalahan secara hitam dan putih, maka harus dirubah pada ceramah yang dialogis. Bahwa teks suci tidak boleh hanya didekati atau dibaca secara literalistik, rigid, dan statis,  tetapi juga dibaca dari keilmuan multiindisipliner serta selaras dengan konteks sejarah maupun moral.
Stigma negatif yang muncul di masyarakat merupakan tantangan bagi keluarga besar Ngruki untuk menghadirkan keberagamaan yang bernuansa ketenangan, ketenteraman, dan keselamatan dalam kehidupan sosial. Bahwa seseorang yang beragama harus berimplikasi pada ranah sosial dengan sikap yang mencintai kedamaian, ketenteraman dan keselamatan dalam wilayah yang seimbang (tawassut) dan tengah-tengah (i’tidal).
Yang tidak kalah pentingnya, upaya menepis stigma negatif Ngruki juga membutuhkan peran para alumnusnya yang mayoritas mutlak menentang terorisme. Dengan jumlah alumnus yang mencapai 20 ribuan, tentu perbuatan segelintir alumnus yang terlibat terorisme tidak boleh mencoreng keseluruhan almamater. Sudah saatnya para alumnus yang tersebar di berbagai bidang mulai menunjukkan kualitas terbaik (syuhada’ ‘ala al-naas) dalam memberi sumbangsih kemajuan bagi agama, bangsa, dan negara. Sehingga cerita yang menonjol tentang Ngruki bukan hanya yang negatif, tetapi cerita positifnya juga tidak kalah banyaknya.
Keberadaan Ngruki tetap dipandang sebagai sebuah perkebunan yang telah melakukan beberapa panen. Dari ribuan buah yang berhasil dipetik, tentu tidak semuanya akan berkualitas sama baiknya, melainkan terdapat satu dua yang busuk. Buah yang busuk inilah yang dimakan oleh ulat yang berasal dari luar perkebunan. Dibutuhkan ragam perawatan dari pengelola untuk terus memperbaiki kualitas “buah” agar tidak mudah dimakan ulat, selain tentu saja kerja sama dan dialog dengan pihak lain agar perkebunan itu bisa imun dari ragam hama. Allah a’lam bi al- shawab.