Oleh: Muhammad Kholid Asyadulloh
Anggota Majelis Tarjih Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah Jawa Timur
Pada tanggal 18
November 2012 ini, organisasi Muhammadiyah tepat berusia 100 tahun versi
kalender miladiyah. Setelah melewati satu abad perjalanan, kontribusi aktif Muhammadiyah pada
perbaikan kondisi kebangsaan tetap menjadi prioritas utama. Di antara tantangan
kebangsaan kontemporer yang harus dijawab adalah perlawanan massif terhadap
korupsi. Terlebih ketika
integritas lembaga penegak hukum banyak dipertanyakan seiring dengan
keterlibatan oknumnya dalam kasus yang seharusnya diberantas.
Salah satu upaya pencegahan (preventif) strategis yang bisa dilakukan
Muhammadiyah adalah menggalakkan dan mewujudkan keluarga yang berkarakter
antikorupsi. Individu yang punya teladan kebaikan dalam berkeluarga adalah modal
terbentuknya keluarga sakinah, yang berlanjut ke qaryah thayyibah, serta
baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Peran yang terlihat kecil, tapi
sangat fundamental, inilah yang harus dimainkan keluarga warga Muhammadiyah
sebagai benteng antikorupsi.
Sebagaimana yang disinggung dalam Pedoman Hidup Islami Muhammadiyah,
keluarga merupakan tiang utama kehidupan umat dan
bangsa. Ia menjadi tempat sosialisasi nilai-nilai yang paling intensif dan
menentukan, bahkan lembaga pendidikan pertama yang dialami dan diterima
oleh setiap manusia. Terlebih Islam juga mengingatkan agar setiap Muslim selalu
mendidik keluarganya agar terhindarkan mereka dari perilaku yang negatif, yang
salah satunya adalah korupsi (QS. at-Tahrim: 6).
Urgensi membangun keluarga antikorupsi
merupakan jawaban atas semarak korupsi, yang salah satu faktor pemicunya adalah
keluarga. Menurut budayawan Achudiat (2008), salah satunya adalah ikatan
kekeluargaan yang terkadang melewati batas. Berbeda dengan term “keluarga” di
Barat yang terbatas bapak, ibu, dan anak, maka di Indonesia menganut keluarga
besar: kakek, nenek, kakek buyut, nenek buyut, kakak, adik, kakak ipar, adik
ipar, mertua, keponakan, paman tua, paman muda, tante, cucu, dan seterusnya.
Jika ada salah satu anggota keluarga yang
mendapatkan kemakmuran, kehormatan, dan kesuksesan, ia tidak pernah mempunyai
makna signifikan selama anggota keluarga besarnya tidak ikut menikmati.
Lingkaran keluarga semacam inilah yang melahirkan nepotisme begitu kental di
Indonesia bersanding kuat dengan korupsi. ketika seseorang menjadi pejabat,
maka seseorang punya perasaan malu yang luar biasa jika tidak mampu mengangkat
martabat anggota keluarga besarnya. Perasaan ini berbuah pada keberadaan
anggota keluarga besar selalu hadir di sekeliling pejabat di negeri ini.
Keluarga Muhammadiyah mestinya bisa berdiri di garda depan untuk menjadi
pencegah korupsi. Bukan karena alasan teologis yang mengajarkan korupsi sebagai
tindakan mungkar, tetapi juga didukung oleh tradisi dan budaya antikorupsi yang
telah mendarah daging dalam Muhammadiyah. Muhammadiyah memiliki mentalitas
memberi, bukan meminta, yang oleh mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) Busyro Muqoddas (2011) disebut sebagai tradisi antikorupsi yang sangat kuat.
Tradisi antikorupsi ini secara mudah bisa dibuktikan dengan setiap kegiatan
Muhammadiyah, para peserta sering membayar sumbangan wajib perorangan maupun
organisasi. Tak hanya itu, dalam menjalankan kegiatan organisasi pun, banyak
para pimpinan yang harus merogoh koceknya sendiri. Bukannya organisasi memberi
pada warganya, tapi umat Muhammadiyah yang justru memberi pada organisasi.
Semangat ‘memberi’
dan bukan menerima ini juga bisa terlihat dari model kelahiran amal usaha
Muhammadiyah (AUM) yang tumbuh dibawah. Sistem yang berkembang dan hidup di
Muhammadiyah adalah bottom up, semuanya didirikan oleh umat di bawah. Pendirian
lembaga pendidikan, sosial, kesehatan, ekonomi, masjid, mushalla, dan AUM
lainnya --yang kemudian diserahkan pada organisasi Muhammadiyah--, seringkali
berawal dari semangat “memberi” dari warga dan simpatisannya. Hanya segelintir cerita
pendirian AUM yang dibangun atas dasar Surat Keputusan atau instruksi Pimpinan
Pusat (PP) Muhammadiyah.
Tradisi besar organisasi yang antikorupsi ini seharusnya bisa
ditansformasikan dalam kehidupan berkeluarga warga Muhammadiyah. Adalah penting
setiap pasangan suami-istri untuk saling mengingatkan dan menguatkan agar pasangannya
tidak terlibat korupsi. Sebab, anggota keluarga bisa menjadi salah satu pihak yang
mendorong seseorang untuk melakukan korupsi, baik secara langsung maupun tidak.
Seorang istri misalnya, dia sering memengaruhi keputusan suami, --begitu juga
sebaliknya-- yang jika tidak dibarengi kemawasan diri akan mendorong pada
tindakan korupsi. Ibarat dua sisi mata uang, istri atau suami bisa memengaruhi pasangannya
untuk melakukan korupsi atau tidak.
Sudah tentu kemawasan ini juga dibarengi dengan pembangunan karakter yang
sederhana, jujur, dan bertanggung jawab. Ketiga sikap ini akan membantu
seseorang dalam memerankan diri sebagai anggota keluarga yang dapat anggota
lainnya dari perilaku korupsi. Keluarga antikorupsi adalah keluarga yang tidak
mengukur segala sesuatu dengan materi.
Dalam keluarga Muhammadiyah, orangtua mesti mengajarkan kepada anaknya
bahwa yang materi bukanlah tujuan (goal), tetapi sebagai sarana untuk
mencapai tujuan. Begitu pula dalam memaknai kesuksesan, keluarga Muhammadiyah
juga harus mampu melihatnya bukan sekedar banyaknya materi yang dipunyai.
Ketika membimbing anak untuk bercita-cita misalnya, keluarga mengarahkan
anaknya pada profesi yang banyak memberi manfaat bagi orang lain. Bukan karena
profesi tersebut prosfektif, dan menjanjikan materi yang tak sedikit.
Untuk
menyelamatkan negara tercinta ini dibutuhkan keluarga-keluarga yang mampu
memberi pengaruh bagi terciptanya budaya antikorupsi. Sebab, korupsi adalah tindak
pidana kejahatan kemanusiaan karena berakibat pada rusaknya sendi kehidupan
manusia dan kemanusiaan. Mampukah keluarga-keluarga Muhammadiyah yang ditopang
tradisi organisasi yang antikorupsi mampu melaksanakan tugas besar itu?