Muhammad Kholid Asyadulloh
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya,
Aktivis Muhammadiyah
Mulai pekan pertama
September ini ribuan jamaah secara bergelombang menuju Tanah Suci untuk menunaikan
ibadah haji. Berbeda dengan rukun Islam lain yang bisa dilakukan tanpa bekal
luar biasa, haji adalah kewajiban yang hanya diperuntukkan bagi seorang muslim
yang mampu (istithaistithaah) mengadakan perjalanan ke Baitullah (QS. Ali
Imron/3: 97).
Kriteria ini oleh para
ulama diterjemahkan sebagai kemampuan untuk mendapatkan perbekalan, sarana
transportasi, sehat jasmani-rohani, serta aman dalam perjalanan. Pada masa lalu
muslim Indonesia yang ingin melaksanakan ibadah haji memang menghadapi tantangan
yang berat. Konon, untuk bisa menginjakkan kaki di Mekkah dibutuhkan waktu dua
hingga enam bulan dengan kapal layar sehingga mengharuskan pelakunya untuk
punya bekal yang lebih dari cukup.
Tidak kalah pentingnya,
sekembali dari haji, mereka biasanya menjadi pelopor untuk memajukan aspek
keagamaan-sosial di kampung halamannya. Tata cara dan efek haji yang memadukan
banyak aspek itu membuat masyarakat memberikan penghormatan tersendiri bagi
mereka yang telah menunaikannya. Sebutan “haji” dan “hajah” dengan segala
variannya memang memiliki konotasi strata sosial lebih tinggi dibandingkan
sekadar menyebut “pak” atau nama saja.
Perlakuan berbeda terhadap
mereka juga berlaku dalam berbagai struktur kehidupan sosial: pergaulan
sehari-hari, undangan, transaksi jual beli, pengantar pengantin, dan lainlain.
Tak urung, ibadah haji menjadi peristiwa keagamaan yang memiliki dampak yang
bermuatan sosial yaitu ketinggian status sosial. Awalnya ibadah haji yang
dilakukan seseorang memang dapat meningkatkan status sosialnya secara alamiah
atau lebih tepatnya sebagai efek samping saja. Penghargaan masyarakat ini
terkait ketidakmudahan untuk mencapai Mekkah serta peran progresivitasnya
sebagai tokoh panutan setelah kembali ke Tanah Air.
Perlakuan terhadap jamaah
haji, dalam beberapa kasus, memang bisa mendorong pembiasan motivasi berhaji.
Dalam penelitian Musyarrofah (2010), dengan mengambil sampel di Bangkalan, Jawa
Timur, ternyata ada sebagian masyarakat yang menunaikan haji karena dilandasi
pengharapan untuk memperoleh efek-efek sosial dalam kehidupannya. Meski bukan
satu-satunya, tidak sedikit masyarakat yang sebelumnya hanya memiliki niat
tipis untuk berhaji lantas mengeras karena faktor migrasi status sosial ini.
Motivasi sosial memang bukan sesuatu yang baru dalam sejarah perjalanan umat
Islam Indonesia.
DalamcatatanMitsuo Nakamura
(1977), akhir abad ke-19, haji merupakan cara termudah bagi kalangan kelas
menengah urban pribumi untuk naik kelas. Gelar haji di depan nama setelah
kembali ke Tanah Air merupakan cara untuk memperoleh persamaan dengan
aristokrat Jawa dan priyayi. Dua kelas yang selain menikmati banyak
keistimewaan dari pemerintah kolonial Belanda juga mendapat penghormatan dan
perlakuan yang lebih anggun dari masyarakat pribumi.
Ditambah lagi dengan
berbagai mitologi di seputar ibadah ini, semakin kuatlah animo umat Islam
Indonesia untuk berlomba-lomba melaksanakannya. Meski tidak ada sumber teksnya
yang otentik dari Alquran maupun Hadits, berbagai tempat di Mekkah banyak
diyakini umat Islam Indonesia sebagai pintu untuk melihat dunia pascakehidupan
(akhirat), entah itu sakralitas Kakbah, Multazam, Hajar Aswad, Padang Arafah,
tugu tempat melempar Jumrah, Jabal Rahmat, serta tempattempat lain yang
dilintasi dalam haji.
Bias sosial niatan haji ini
juga bisa terjadi dengan kebanyakan tradisi prosesi “pemberangkatan” hingga
“kepulangan” yang luar biasa. Dalam beberapa kasus, tidak jarang biaya yang
dikeluarkan untuk menggelar acara sampingan ini melebihi ongkos naik haji. Jika
seseorang telah mendapat sedikit kepastian berangkat, biasanya langsung
mengadakan tasyakuran dengan mengundang tetangga dan seluruh kerabat famili.
Ketika berangkat, mereka juga diantar oleh tetangga dan kerabatnya secara
berbondong-bondong dengan mobil, sepeda motor, dan berbagai atribut kemeriahan
lain.
Upacara ini ternyata tidak
hanya berhenti sampai ketika jamaah sudah berangkat. Ketika ditinggal sang
empu, di rumahnya diadakan pembacaan ayat-ayat suci Alquran secara sukarela
tiap hari dengan jamuan yang ditanggung oleh tuan rumah. Setelah jamaah pulang
ke Tanah Air pun diadakan acara penjemputan jauh yang lebih meriah dibandingkan
pemberangkatan. Ketika sampai rumah, masyarakat berbondong-bondong mengunjungi
untuk meminta doa darinya sebelum akhirnya ditutup dengan tasyakuran lebih
besar dibandingkan saat pemberangkatan.
Ragam janji sosial
sepertinya turut menggoda sebagian umat Islam untuk sesegera mungkin berangkat
ke Mekkah. Kemudian lahirlah lingkaran setan: haji yang membawa peningkatan
status sosial dan berhaji untuk meningkatkan status sosial. Ironisnya, bagi
beberapa orang, berkunjung ke Mekkah ternyata juga dijadikan bungkus atas
ketidakberesan moralitas. Sudah tak terhitung lagi berapa elite yang terlibat
dalam skandal selalu berlindung di Kakbah yang lagi-lagi dibungkus dengan alasan
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Perlu ada perenungan
terhadap motivasi atau niat berhaji sehingga ia membedakannya dengan wisatawan
yang berlibur ke Tanah Suci di bulan haji. Meluruskan niat merupakan hal utama
yang harus dilakukan para jamaah haji untuk mencapai status mabrur. Lazimnya
sebuah ibadah kepada Tuhan, selain mengetahui dan menguasai tata caranya,
masalah niat juga memang harus menjadi perhatian utama. Haji itu harus diniati
semata-mata karena Allah, tidak boleh ada sedikit pun niat dan kepentingan
selain karena-Nya.
Sebagaimana yang pernah
diungkap Nabi Muhammad SAW, prasyarat diterima atau tidak suatu amal bergantung
pada niatnya. Jika sedari awal niatnya sudah salah, bukan tidak mungkin seluruh
aktivitas haji yang dikerjakannya tidak akan mendapatkan apa-apa selain
kelelahan. Haji harus diniatkan secara tulus dari lubuk hati yang paling dalam
(azam) untuk menyempurnakan keimanan, bukan gengsi atau alasan ini dan itu. Allahu
aAllahu alam bi al-Shawab.