Muhammad
Kholid Asyadulloh
Pemred
Majalah MATAN, Surabaya
Penyandingan kosakata khusyuk, korupsi, dan
berjamaah dalam satu kalimat sebenarnya kurang elok. Sebab, khusyuk dan berjamaah
biasa digunakan untuk ritus keagamaan yang calestial, sementara korupsi
adalah salah satu bentuk kemaksiatan. Sebagai ritus agama yang berkait erat
dengan misi moral dan ketuhanan, tentu agak janggal jika menggabungkannya
dengan tindakan yang menistakan nilai-nilai moral dan ketuhanan. Karena
sifatnya yang saling bertolak belakang, maka ketiga diksi itu seharusnya seharusnya
tidak mendapatkan pembenaran dalam realitas.
Sayangnya, fakta ke-Indonesia-an menunjukkan
bahwa kekhusyukan korupsi secara berjamaah itu memang terjadi. Realitas
kontramakna yang saling bersinergi ini secara mudah bisa dilihat dari kasus korupsi
dalam pembangunan Wisma Atlet Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenegpora), Proyek
Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), yang berpuncak
pada pengadaan al-Qur’an di Kementerian Agama. Kasus korupsi yang terjadi di
lingkungan tiga kementerian berbeda itu, ternyata selalu menyebut (oknum)
anggota Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai salah
satu bagian dari jejaring.
Melihat perjalanan penyidikan maupun keterangan
di Pengadilan, Banggar seakan-akan menjadi tempat nyaman yang mendukung kekhusyukan
para koruptor dalam menjalankan aksi. Terbukti beberapa anggota DPR yang
disebut terlibat korupsi adalah (mantan) anggota Banggar: M. Nazaruddin, Anggelina
Sondakh, Wa Ode Nurhayati, hingga yang terbaru Zulkarnaen Djabar. Sudah tentu
jumlah yang terseret semakin banyak jika dihitung dari nama-nama yang masih
berstatus “terserempet”, tapi belum bisa dibuktikan secara legal-positivistik.
Banggar ibarat tempat mesum terjadinya “cinta
segitiga” antara pengusaha, pejabat pemerintah, dan (oknum) anggota Banggar.
Pengusaha memesan proyek kepada pejabat, yang lantas didisposisikan dengan cara
melobi anggota Banggar agar memenangkan pihak yang direkomnya. Namun, ibarat
pepatah “tidak ada makan siang gratis”, pengusaha yang ingin menang tender harus
melengkapi diri dengan dengan suap setiap berhadapan dengan “dua
selingkuhannya” tersebut. Maka terciptalah ragam kata sandi untuk biaya
perselingkuhan itu: “Apel Washington”, “Apel Malang”, “durian”, dan lain
sebagainya.
Uniknya, meski tidak semuanya, salah satu celah
malpraktik penganggaran itu justru diberi fasilitas luar biasa. Selain
kewenangan “super” yang membuatnya berpotensi sebagai sumber korupsi, lembaga
ini juga diberi fasilitas ruangan yang lumayan agar lebih khusyuk bekerja. Ibarat
seorang pelaku sufi, (ruang) Banggar menjadi sebagai salah satu jalan terpendek
dan termudah untuk melakukan ‘uzlah. Yaitu, perilaku menyendiri dari
hikuk-pikuk publik agar bisa lebih fokus dan konsentrasi dalam menjalankan
aktivitas. Hanya bedanya, jika seorang sufi benar-benar memusatkan kegiatannya
dengan ibadah berzikir dan tafakur kepada Tuhan, maka “kaum sufi” di Banggar
memusatkannya untuk melakukan budgeting anggaran negara.
Fasilitas dan kewenangan yang besar tentu tidak dimaksudkan agar anggota
Banggar bisa lebih khusyuk melakukan korupsi berjamaah. Harapan ini tentu tidak
berlebihan mengingat Banggar telah mencatat sebagai alat kelengkapan DPR yang
banyak diterpa isu dan kasus korupsi. Pertama kali diungkapkan (mantan) anggotanya,
Wa Ode Nurhayati, Banggar menjadi arena permainan mafia anggaran yang bekerja
secara sistematis. Bahkan oleh anggota DPR lainnya, Lili Wahid, ditegaskan bahwa Banggar adalah wadah korupsi berjamaah antara
eksekutif dan legislatif, yang tidak mungkin dijalankan secara munfarid
(sendirian).
Gosip tentang malpraktik dalam mengurus negara
sebenarnya sudah menjadi rahasia umum, termasuk di Banggar. Kasak kusuk ini
juga tidak lepas dari banyaknya orang yang duduk di Banggar merupakan
perpanjangan tangan dari “mesin Automated Teller Machine/ATM” partai politik.
Beberapa oknum Banggar yang tergolong bagian dari mafia anggaran merupakan
orang kepercayaan atau setidaknya (pernah) punya hubungan khusus dengan
bendahara partai.
Kasus korupsi Wisma Atlet, PPID, serta pengadaan Al-Qur’an menunjukkan
bahwa korupsi yang bersinggungan dengan Banggar amatlah
kompleks dan meriah. Kewenangan yang besar, ditambah dengan fasilitas yang
nyaman, membuat korupsi bisa dilakukan dengan mudah secara berjamaah oleh
beberapa oknumnya. Dengan mendistorsi fungsi suci Banggar sebagai bungker dari
pengawasan publik, mereka menjalankan praktik korupsi lebih khusyuk tanpa
terusik dunia luar.
Menurut temuan Forum Masyarakat Peduli Parlemen
Indonesia (Formappi), terdapat modus “permainan” anggaran oleh DPR dengan menyetujui
nilai anggaran yang lebih besar daripada nilai yang diajukan pemerintah. Dalam
RAPBN 2011 lalu misalnya, pemerintah mengajukan dana Rp 1,202 triliun, tapi DPR
justru menyetujui Rp 1,229 triliun, atau membengkak Rp 27,5 triliun.
Penggelembungan ini menjadi semacam kreativitas ruang gelap yang potensial
dirupakan dalam bentuk “apel” atau “durian” untuk disantap bersama-sama.
Sudah tentu kekhusyukan korupsi berjamaah para oknum Banggar yang tak
bertanggung jawab ini tidak boleh dilanjutkan. Sebab, yang diharapkan rakyat
dari DPR adalah kehadirannya sebagai lembaga imun dari korupsi, bukan malah
sebagai hulu korupsi. Sehingga lembaga ini memang sudah sepantasnya terbuka
bagi koreksi dan masukan publik, dengan tidak melakukan ‘uzlah dan
menyembunyikan diri dari pantauan publik. Seluruh dokumen perencanaan berkait
dengan APBN harus terbuka pada masyarakat agar terpantau, baik saat perencanaan,
alokasi, hingga rapat-rapat antara DPR dan pemerintah.
DPR dan semua alat kelengkapannya bukanlah media
untuk berkorupsi jamaah secara khusyuk, tapi alat untuk memperjuangkan nasib
rakyat menuju kehidupan yang lebih bermartabat. Kekhusyukan dan berjamaah
memang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia, yang tentu saja untuk kebaikan,
kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat. Bukan untuk menggarong uang rakyat. Allah
a’lam bi al-shawab.