Sinergitas Dua Kutub Pemikiran

Muhammad Kholid Asyadulloh
Pemred Majalah MATAN Surabaya
SINDO, 19 November 2012



Pada tanggal 18 November 2012 ini, organisasi Muhammadiyah tepat berusia 100 tahun versi kalender miladiyah. Selama satu abad itu, organisasi keagamaan yang didirikan KH. Ahmad Dahlan ini mendapatan tidak sedikit pujian atas kiprahnya. Ribuan institusi pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, serta berbagai amal usaha lainnya, merupakan sedikit di antara prestasi monumental yang dicatatnya. Bagi kalangan Muhammadiyah sendiri, berbagai produk tersebut tentu saja menjadi kebanggaan tersendiri.
Di luar ragam pujian yang telah diterima, sesungguhnya Muhammadiyah juga mendapat banyak sorotan. Salah satu yang sering dikemukakan banyak pihak, internal maupun eksternal, adalah mandegnya management of ideas sebagai upaya mencari kebenaran kepada proses yang kreatif, inovatif, akomodatif, dan moderatif. Dialektika dua mainstream literal versus liberal dengan segala derivasinya dalam Muhammadiyah secara berlahan berubah menjadi “tidak bersahabat”, pertarungan, bahkan hegemoni.

Superioritas kubu pemikiran tertentu dalam Muhammadiyah sebenarnya bukanlah 'masalah' yang perlu dirisaukan selama masih dalam bingkai fastabiq al-khairat. Merujuk pada historisitas kelahiran Muhammadiyah, polarisasi pemikiran semacam ini adalah konsekuensi dari kedirian organisasi yang berdoktrin al-ruju' ila al-Qur'an wa al-Sunnah (kembali kepada Alquran dan Sunnah). Keterbukaan dua rujukan umat Islam ini membuat pemikiran dalam Muhammadiyah sangat terbuka terhadap segala pewarnaan, pengalokasian, serta pengambilan tempat masing-masing 'madzhab'.
Perbedaan pemikiran adalah konsekuensi dari tuntutan memelihara orisinalitas Islam pada satu sisi, serta mengkontekstualisasikannya pada sisi lain untuk menjalin shalih li kull al-zaman wa al-makan (sesuai bagi segala masa dan lokasi mana pun). Terdapat beberapa aspek dalam Islam yang harus diaplikasikan dengan tetap memelihara keberlanjutannya, sehingga tetap mempunyai identitas di tengah perubahan zaman. Namun, ajaran ini juga memiliki dimensi perubahan sepanjang ditemukan dan dipahami 'illatnya, sebagai upaya menjaga kemashlahatan.
Namun, seiring dengan kuatnya tarikan ideologi politik Islam kontemporer, kebangkitan intelektualisme Islam harus berhadapan dengan aktivisme Islam yang berorientasi pada cita-cita politik Islam. Di tengah kuatnya kecenderungan pada puritanisme yang penuh gairah, lahirlah beragam kecemasan terhadap laju intelektual Islam. Kecemasan ini tumbuh akibat bias sekulerisme dan liberalisme Barat yang menyebarkan krisis kemanusiaan dalam kehidupan umat manusia di abad modern (Haedar Nashir: 2008).
Kecemasan itu membuat tidak sedikit warga Muhammadiyah bergerak ke pendulum lain yang sama ekstrimnya, yakni gerakan Islamisme monolitik yang anti-intelektual dan begitu juga sebaliknya. Meminjam istilah Muhadjir Effendy, pemikiran di Muhammadiyah seperti dipaksa menjadi dua kesebelasan yang saling berhadapan, dan aktivisnya dipaksa memilih salah satu. Pertandingan inilah yang menghasilkan perang labelisasi dan stigma dalam mempersepsi diri maupun menilai pihak lain, tanpa ada tabayyun (klarifikasi) yang memadai.
Kondisi ini membuat dialektika antarpemikiran dalam Muhammadiyah semakin menjauh sebagai efek samping dari kesenjangan pemahaman. Pengetahuan terhadap kubu lain seringkali sebatas stereotip, yang tentunya menyuburkan pemahaman demonologis dengan mencitrakan pihak lain sebagai kelompok 'kurang' beradab. Kalangan ‘liberal’ mempersepsi diri sebagai pihak terbenar, dan menganggap ‘fundamentalis’ sebagai pihak yang salah. Perilaku yang tidak berbeda juga dilakukan kalangan fundamentalis dalam menilai diri dan pihak yang berbeda.
Menurut Alo Liliweri (2005), sebab lahirnya stereotip adalah sikap antipati yang dilandasi generalisasi yang tidak fleksibel sehingga melahirkan pandangan emosional dan negatif. Dalam kondisi inilah dibutuhkan 'jembatan' interaksi untuk saling memahami dan menghormati yang berupa dialog. Dialog tidak bertujuan untuk menentukan ‘paham’ yang paling benar, tetapi menciptakan ruang bagi eksisnya berbagai pandangan dan perspektif dalam kedamaian, rekonsiliasi, pengampunan, nirkekerasan, dan berkeadaban.
Mendialogkan perbedaan, dan bukannya mempertentangkan, adalah spirit yang telah diwariskan oleh pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan. Menurutnya, dialog adalah teknologi dahsyat dalam membangun keberagamaan yang kreatif, karena tetap dilandasi pandangan rasional-otentik berbasis wahyu, pengalaman keagamaan, dan kultural. Tidak heran jika Kiai Dahlan tidak hanya bertukar pikiran dengan aktivis Muhammadiyah, tetapi juga intens berdialog dengan aktivis Jam’iah al-Khairat, Boedi Oetomo, bahkan para pendeta (Achmad Jainuri: 2003).
Historisitas ini menjelaskan, dialog konstruktif adalah tugas kemanusiaan yang parennial yang harus kembali digelorakan Muhammadiyah. Dialog harus menumbuhkan pengenalan terhadap kekhasan yang dimiliki masing-masing pihak, yang diharapkan mampu menumbuhkan saling pengertian dan pemahaman tentang ‘perbedaan’ tersebut. Setelah memahami keunikan masing-masing pihak, barulah dialog dilakukan dalam konteks kesamaan misi universal kemanusiaan (kalimah sawa’) secara kreatif. Hubungan dialektis-konstruktif antara self dan others ini akan membentuk satu entitas yang hakiki, dalam satu hidup dan satu nafas.
Seyogyanya berbagai masalah yang ‘kontroversial’ di Muhammadiyah mulai diwacanakan secara cerdas dalam suasana jernih dan konstruktif. Bukan malah sebaliknya, terjebak pada konstruksi monolitik dan memicu perseteruan dan stigma yang memvonis, bahkan melahirkan klaim merasa paling Islami. Pluralisme, sekulerisme, liberalisme, Islam kaffah, Islam murni, kategori qath'i dan dzanni dalam ajaran Islam, dan ragam masalah kontroversial lainnya harus diwacanakan dalam kerangka keilmuan yang melintasi.
Yang perlu dikembangkan adalah keaktifan dan keberanian dalam berdialog, berdiskusi, dan menulis, sebagai jalan menghindarkan dari klaim-klaim yang tak bertanggung jawab. Perbedaan harus dilihat dan disikapi dalam bingkai terbuka, semangat mau belajar satu atas yang lain, perasaan rendah hati, dan seterusnya. Melanggengkan dialog yang beradab dan bernurani akan melapangkan munculnya kesadaran saling menghargai pemikiran yang berbeda sekalipun.

Memasuki abad kedua, agenda strategis yang harus dilakukan Muhammadiyah di tingkatan apapun adalah silaturrahmi pemikiran antar “kelompok” maupun “generasi”. Jika “liberal” sering berinteraksi dengan yang tidak liberal, dengan silaturahmi pemikiran sangat dimungkinkan akan menghasilkan Islam yang wasath (tengahan). Sebaliknya, jika tidak mendekat dan bersilaturrahmi, sangat mungkin akan membentuk ekstremitas untuk masing-masing pihak. Allah a’lam bi al-shawab.