Mustahik Jadi-jadian Pemburu Zakat

Muhammad Kholid Asyadulloh
Jurnalis alumnus Ponpes Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo
Jawa Pos, 27 Juli 2012


Tradisi muslim Indonesia yang membayar zakat mal pada Ramadhan atak selamanya berbuah positif, terutama yang dilakukan perorangan. Salah satu fenomena yang cukup ironis adalah kemunculan para pemburu zakat dalam setiap momentum pelaksanaan rukun Islam ketiga ini.  Ibadah ini terkesan tidak lagi menjadi kewajiban pembayar zakat (muzaki) untuk mencari siapa yang secara syar’i berhak menerimanya (mustahik). Yang terjadi justru sebaliknya, mustahik yang harus mencari dan memburu keberadaan muzaki.
Fenomena “pencari” zakat ini secara mudah bisa dilihat pada acara pembagian zakat yang selalu dipenuhi dengan antrean, bahkan berdesak-desakan. Para penerima zakat “dipaksa” hadir secara fisik hanya untuk “menerima” hak mereka pada muslim berkecukupan lebih. Zakat tidak lagi bisa diterima oleh mustahik dengan tetap menjaga harga diri dan kehormatannya, melainkan harus diperjuangkan secara psikis maupun fisik.

Agama mengajarkan bahwa Tuhan adalah pemilik harta benda yang sesungguhnya, sementara manusia hanya memanfaatkannya. Islam juga mengajarkan bahwa dalam setiap harta seseorang selalu terselip hak mustad’afin (QS.: Al-Ma’arij[70]: 24-25), yang salah satunya berbentuk zakat. Definisi ini secara tidak langsung menyatakan bahwa setiap orang kaya punya utang kepada mustahik. Ketentuan jelas terkait waktu pembayaran, besar “utang” yang harus dibayar, harta apa yang menanggung utang.
Berbeda dengan akad utang-piutang konvensional yang mengharuskan pengutang mendatangi pemberi utang, fenomena terbalik kontemporer justru terjadi dalam akad “utang-piutang” zakat. Seperti tanpa beban sebagai orang yang punya tanggungan utang (para muzaki) justru mengantrekan “orang yang berpiutang”. Para pengantre pingsan, bahkan meninggal karena berdesakan, kerap terjadi. Tragedi ini harus disudahi.
Fenomena lain yang menyedihkan tentang pembagian zakat adalah peningkatan para mustahik palsu atau jadi-jadian di berbagai kota besar. tidak sedikit masyarakat yang secara ekonomi sebenarnya tergolong berkecukupan, ikut menyusup dengan “memiskinkan” diri agar mendapat jatah zakat. Dari satu tempat ke tempat lain, ternyata tidak sedikit pengantrenya adalah orang yang sama. Bahkan, mereka di-drop oleh sindikat yang tertata. Meminjam istilah politisi kontemporer, terdapat semacam “kecurangan masif dan sistemik” oleh sebagai pemburu zakat.
Alih-alih zakat mampu memanifestasikan diri sebagai salah satu media pengentasan kemiskinan, justru berbagai tindakan asosial yang jauh dari rasa malu mulai berkembang di masyarakat. Tidak sedikit di antara mereka berlomba melenyapkan rasa malu dengan memproklamasikan diri sebagai penerima zakat. Zakat, yang seharusnya menjadi sarana kemuliaan, malah melahirkan orang yang merendahkan martabat sendiri.
Merujuk pada idealitas Islam, zakat sebenarnya ajaran yang punya pesan keadilan sosial. Agama pun telah menetapkan penerima zakat, yaitu fakir, miskin, amil, mualaf, budak, banyak utang di jalan Tuhan, fii sabilillah, dan musafir yang kehabisan bekal. Ketentuan syariat tentang mustahik zakat ini secara tidak langsung menandakan bahwa berzakat tidak dilakukan serampangan.
Ketentuan penerima zakat mengharuskan muzaki berhati-hati dan memastikan bahwa penerima zakatnya adalah benar-benar mustahik. Sebab, jika penerima zakat bukan salah satu di antara delapan golongan tersebut, amalannya bisa dikatakan bukan lagi zakat. Lebih tepatnya sebagai hadiah, infak, atau sedekah, tapi membuatnya tergolong sebagai orang yang belum membayar “utang” zakat.
Kebakuan penerima zakat secara tidak langsung mengajarkan bahwa muzaki memang tidak sembarangan mengeluarkan zakat. Jika pembagian zakat dilakukan perseorangan, dia masih terkena kewajiban untuk mencari siapa yang secara syar’i tergolong penerima zakat. Yang berkewajijban menjemput bola dalam penyaluran zakat perseorangan adalah muzaki, bukan para mustahik yang mengetuk pintunya. Sebab, Islam tidak mengenal para pencari zakat, apalagi pemburu, tetapi muzaki yang justru harus mencari siapa yang benar-benar berhak menerima zakatnya.