Dakwah Antinarkoba

Muhammad Kholid Asyadulloh
*)Anggota Majelis Tarjih & Tajdid PW Muhammadiyah Jawa Timur
Republika, 22 Maret 2012



Penyalahgunaan narkoba benar-benar merebak tak mengenal pemilahan profesi. Pelakunya ada yang berprofesi sebagai artis, birokrat, pelajar, mahasiswa, profesional, akademisi, legislatif, eksekutif, atlet, bahkan sampai aparat penegak hukum. Fakta menunjukkan narkoba menjadi payung besar dari segala kejahatan, karena ia bisa mendorong pelakunya untuk melakukan kejahatan lain untuk memenuhi hasrat mengonsumsi narkoba. Keluarbiasaan kebejatan narkoba seyogyanya mendorong semua pihak menabuh perang padanya, tak terkecuali kalangan agama.
Merujuk pada doktrin agama, narkoba merupakan barang terlaknat yang menyebabkan penderitaan material maupun moral. Pemakaian narkoba menyebabkan hilangnya harta, meningkatnya gangguan kesehatan dari gangguan fungsi organ sampai penularan virus HIV/AIDS, meningkatnya kekerasan, maraknya kriminilitas, matinya prestasi, pudarnya kekerabatan, hancurnya sebuah masyarakat, dan hilangnya generasi (lost generation).
Tak heran jika banyak pihak yang menyatakan kematian dan kehancuran yang disebabkan narkoba lebih dahsyat dibandingkan terorisme. Kemusnahan teroris akan berhenti ketika para penyebarnya tewas atau ditangkap polisi, sementara kemusnahan yang diakibatkan narkoba tidak otomatis berhenti pada satu pihak. Tak heran jika kejahatan narkoba adalah kejahatan kemanusiaan, karena imbasnya yang berantai menggoyahkan sendi-sendi peradaban.
Bahaya narkoba tak lagi ditanggung oleh pemakainya, tapi sudah mengancam, bahkan membunuh orang lain. Selain banyak menjerumuskan pemakainya pada ragam kejahatan, efek narkoba juga berujung pada perbuatan yang merugikan orang lain, mencederai, melukai, hingga menewaskan. Masyarakat tentu belum lupa bagaimana sopir “sabu-sabu” Xenia yang menewaskan 9 pejalan kaki di Tugu Tani, Jakarta (22/1). Juga kecerobohan pilot yang mengonsumsi sabu (4/2).
Narkoba secara faktual menjadi tantangan dakwah bagi agama, entitas yang diyakini hadir untuk memelihara kelangsungan, keselamatan serta kebahagiaan hidup (maqashid al-syari’ah). Meski kepolisian sudah berusaha maksimal membasminya, tetapi masalah ini tetaplah membutuhkan program yang besar, terpadu, serta melibatkan sinergitas komponen masyarakat. Sepak terjang kepolisian yang tidak bosan-bosan mengamankan gembong narkoba bisa dikatakan belum efektif, selama masyarakat belum (tidak) menyadari bahaya narkoba dan melakukan upaya menanggulanginya.
Apalagi kuantitas maupun kualitas kasus narkoba setiap tahunnya selalu menunjukkan perkembangan yang signifikan. Data yang dikeluarkan kepolisian menjelaskan, penyalahgunaan narkoba pada tahun 2011 meningkat 12 persen dibanding tahun 2010. Jenis penyalahgunaan narkoba yang berhasil diungkap pada 2010 sebanyak 23.531 kasus, sementara setahun berikutnya menjadi 26.500 kasus. Jenis psikotropika juga melonjak 55 persen, dari hanya 949 kasus pada tahun 2010 menjadi 1.478 kasus di tahun 2011.
Sementara dilihat dari sudut pelakunya, mayoritas mutlak adalah mereka yang berada dalam usia produktif. Menurut survei Badan Narkotika Nasional (BNN), prevalensi penyalahgunaan narkoba pada 2009 adalah 1,99 persen dari penduduk Indonesia berumur 10-59 tahun atau 3,6 juta orang. Pada 2010, prevalensi ini meningkat menjadi 2,21 persen atau sekitar 4,02 juta orang. Pada 2011, penyalahgunaan meningkat 2,8 persen atau sekitar 5 juta orang. Data ini menunjukkan bahwa narkoba adalah ancaman faktual terhadap eksistensi generasi muda, yang bisa berdampak pada “musnahnya” satu generasi anak bangsa.
Begitu dekatnya bahaya narkoba, maka pemberantasan narkoba memang bukan tanggung jawab aparat kepolisian saja. Tetapi semua masyarakat yang mempunyai nurani untuk menyelamatkan generasi bangsa juga harus sama-sama memikulnya. Lebih-lebih agamawan sebagai lambang pembinaan moral dan akhlak, karena penyalahgunaan narkoba, apalagi mengedarkan dan memproduksinya, terkategori sebagai perbuatan mungkar.
Kampanye antinarkoba memang sudah sering dikumandangkan oleh kepolisian dan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM). Namun, sudah tentu kepolisian dan LSM mempunyai keterbatasan yang membuatnya tidak mampu mengadvokasi antinarkoba secara meluas dan merata. Padahal penyalahgunaan narkoba kini bukan lagi monopoli sekelompok profesi tertentu, tetapi menjarah hampir semua kalangan.
Dalam keterbatasan inilah, lembaga keagamaan bisa mengisi ruang-ruang kosong yang ditinggalkan kepolisian dan LSM tersebut. Sebab, dibandingkan dengan LSM maupun aparat kepolisian, ormas keagamaan memiliki kelebihan dalam bentuk jaringan dan umat yang luas. Jika kelebihan ini didayagunakan secara optimal dalam menyemaikan gagasan antinarkoba, pesan ini tentunya akan bersifat lebih merata dan menyentuh hampir seluruh lapisan masyarakat.
Perlawanan terhadap narkoba ini bisa diimplementasikan melalui pesan-pesan dakwah di berbagai masjid, mushala, maupun forum pengajian. Dalam berbagai ceramah atau khutbah, para mubaligh dan mubalighat perlu menyisipkan pesan antinarkoba. Jika selama ini ceramah biasa diisi dengan janji-janji surga, saatnya dirubah dengan semangat dan upaya melawan narkoba. Sebab, kejahatan narkoba adalah masalah legal, ethical, dan moral responsibility, bahkan biang kejahatan dan kemaksiatan, the root of all evils.