Muhammad Kholid Asyadulloh
*)Anggota Majelis Tarjih & Tajdid PW Muhammadiyah
Jawa Timur
Penyalahgunaan narkoba
benar-benar merebak tak mengenal pemilahan profesi. Pelakunya ada yang
berprofesi sebagai artis, birokrat, pelajar, mahasiswa, profesional, akademisi,
legislatif, eksekutif, atlet, bahkan sampai aparat penegak hukum. Fakta
menunjukkan narkoba menjadi payung besar dari segala kejahatan, karena
ia bisa mendorong pelakunya untuk melakukan kejahatan lain untuk memenuhi
hasrat mengonsumsi narkoba. Keluarbiasaan kebejatan narkoba seyogyanya mendorong
semua pihak menabuh perang padanya, tak terkecuali kalangan agama.
Merujuk pada doktrin agama, narkoba merupakan barang
terlaknat yang menyebabkan penderitaan material maupun moral. Pemakaian narkoba
menyebabkan hilangnya harta, meningkatnya gangguan kesehatan dari gangguan
fungsi organ sampai penularan virus HIV/AIDS, meningkatnya kekerasan, maraknya
kriminilitas, matinya prestasi, pudarnya kekerabatan, hancurnya sebuah
masyarakat, dan hilangnya generasi (lost generation).
Tak heran jika banyak pihak yang menyatakan kematian dan kehancuran yang
disebabkan narkoba lebih dahsyat dibandingkan terorisme. Kemusnahan teroris
akan berhenti ketika para penyebarnya tewas atau ditangkap polisi, sementara
kemusnahan yang diakibatkan narkoba tidak otomatis berhenti pada satu pihak. Tak heran jika kejahatan narkoba adalah kejahatan kemanusiaan, karena
imbasnya yang berantai menggoyahkan sendi-sendi peradaban.
Bahaya narkoba tak lagi
ditanggung oleh pemakainya, tapi sudah mengancam, bahkan membunuh orang lain.
Selain banyak menjerumuskan pemakainya pada ragam kejahatan, efek narkoba juga
berujung pada perbuatan yang merugikan orang lain, mencederai, melukai, hingga
menewaskan. Masyarakat tentu belum lupa bagaimana sopir “sabu-sabu” Xenia yang
menewaskan 9 pejalan kaki di Tugu Tani, Jakarta (22/1). Juga kecerobohan pilot
yang mengonsumsi sabu (4/2).
Narkoba secara faktual menjadi
tantangan dakwah bagi agama, entitas yang diyakini hadir untuk memelihara
kelangsungan, keselamatan serta kebahagiaan hidup (maqashid al-syari’ah).
Meski kepolisian sudah berusaha maksimal membasminya,
tetapi masalah ini tetaplah membutuhkan program yang besar, terpadu, serta
melibatkan sinergitas komponen masyarakat. Sepak terjang kepolisian yang tidak
bosan-bosan mengamankan gembong narkoba bisa dikatakan belum efektif, selama
masyarakat belum (tidak) menyadari bahaya narkoba dan melakukan upaya
menanggulanginya.
Apalagi kuantitas maupun kualitas kasus narkoba setiap
tahunnya selalu menunjukkan perkembangan yang signifikan. Data yang dikeluarkan
kepolisian menjelaskan, penyalahgunaan narkoba pada tahun 2011 meningkat 12
persen dibanding tahun 2010. Jenis penyalahgunaan narkoba yang berhasil
diungkap pada 2010 sebanyak 23.531 kasus, sementara setahun berikutnya menjadi
26.500 kasus. Jenis psikotropika juga melonjak 55 persen, dari hanya 949 kasus pada
tahun 2010 menjadi 1.478 kasus di tahun 2011.
Sementara dilihat dari sudut pelakunya, mayoritas
mutlak adalah mereka yang berada dalam usia produktif. Menurut survei Badan
Narkotika Nasional (BNN), prevalensi penyalahgunaan narkoba pada 2009 adalah
1,99 persen dari penduduk Indonesia berumur 10-59 tahun atau 3,6 juta orang.
Pada 2010, prevalensi ini meningkat menjadi 2,21 persen atau sekitar 4,02 juta
orang. Pada 2011, penyalahgunaan meningkat 2,8 persen atau sekitar 5 juta
orang. Data ini menunjukkan bahwa narkoba adalah ancaman faktual terhadap
eksistensi generasi muda, yang bisa berdampak pada “musnahnya” satu generasi
anak bangsa.
Begitu dekatnya bahaya narkoba, maka pemberantasan
narkoba memang bukan tanggung jawab aparat kepolisian saja. Tetapi semua
masyarakat yang mempunyai nurani untuk menyelamatkan generasi bangsa juga harus
sama-sama memikulnya. Lebih-lebih agamawan sebagai lambang pembinaan moral dan
akhlak, karena penyalahgunaan narkoba, apalagi mengedarkan dan memproduksinya,
terkategori sebagai perbuatan mungkar.
Kampanye antinarkoba memang sudah sering
dikumandangkan oleh kepolisian dan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Namun, sudah tentu kepolisian dan LSM mempunyai keterbatasan yang membuatnya
tidak mampu mengadvokasi antinarkoba secara meluas dan merata. Padahal
penyalahgunaan narkoba kini bukan lagi monopoli sekelompok profesi tertentu,
tetapi menjarah hampir semua kalangan.
Dalam keterbatasan inilah, lembaga keagamaan bisa
mengisi ruang-ruang kosong yang ditinggalkan kepolisian dan LSM tersebut.
Sebab, dibandingkan dengan LSM maupun aparat kepolisian, ormas keagamaan
memiliki kelebihan dalam bentuk jaringan dan umat yang luas. Jika kelebihan ini
didayagunakan secara optimal dalam menyemaikan gagasan antinarkoba, pesan ini
tentunya akan bersifat lebih merata dan menyentuh hampir seluruh lapisan
masyarakat.
Perlawanan terhadap narkoba ini bisa diimplementasikan
melalui pesan-pesan dakwah di berbagai masjid, mushala, maupun forum pengajian.
Dalam berbagai ceramah atau khutbah, para mubaligh dan mubalighat perlu
menyisipkan pesan antinarkoba. Jika selama ini ceramah biasa diisi dengan
janji-janji surga, saatnya dirubah dengan semangat dan upaya melawan narkoba.
Sebab, kejahatan narkoba adalah masalah legal, ethical, dan moral
responsibility, bahkan biang kejahatan dan kemaksiatan, the root of all
evils.