Politik Asketis “Bung Hatta”

Muhammad Kholid Asyadulloh
Pemred Majalah MATAN PW Muhammadiyah Jatim, Peneliti di Institute for Religion and Society Studies (IRSoS)
Koran SINDO, 14 Maret 2012



Tuhan, terlalu cepat semua, Kau panggil satu-satunya yang tersisa, Proklamator tercinta. Jujur, lugu, dan bijaksana, mengerti apa yang terlintas dalam jiwa Indonesia. Hujan air mata dari pelosok negeri saat melepas engkau pergi, berjuta kepala tertunduk haru, terlintas nama seorang sahabat yang tak lepas dari namamu. Terbayang baktimu, terbayang jasamu, jelas, jiwa sederhanamu.
Lirik lagu Iwan Fals itu khusus dipersembahkan untuk Mohammad Hatta, yang akrab dipanggil Bung Hatta, yang meninggal dunia pada 14 Maret 1980. Kendati lagu ini telah beredar secara resmi sejak tahun 1981, ia tetap kontekstual untuk didendangkan pada era sekarang. Terlebih ketika kondisi kebangsaan kekinian dipenuhi dengan kemiskinan teladan tentang sosok pemimpin asketis yang mampu memadukan posisinya sebagai cermin masyarakat. Kehancuran moral, hukum, dan etika politik dewasa ini membuat kehadiran “titisan” Bung Hatta sangat dirindukan.
Di antara sekian keistimewaan yang dimilikinya dibandingkan founding fathers lainnya adalah sosoknya yang hampir tanpa cacat selama 78 tahun menjalani hidup. Ketika para pemimpin lain jatuh bangun, --tidak terkecuali Soekarno--, Bung Hatta menunjukkan integritasnya sebagai sosok tidak (ter)korupsi(kan), meski kesempatan baginya terbuka lebar dan dapat diciptakan. Sejarah mencatat bahwa pria berkacamata kelahiran 12 Agustus 1902 ini adalah seorang yang memasuki ranah politik dalam kesederhanaan, dan tetap sederhana saat meninggalkannya.
Jika boleh disederhanakan lagi, dalam diri Bung Hatta terkumpul sifat kejujuran, kesederhanaan, keteguhan hati, serta kekuatan karakter yang sulit dicarikan tandingan. Keteladanan ini secara mudah bisa dilihat dari keteguhan Bung Hatta untuk selalu mengedepankan kepentingan negara, bahkan mengabaikan keluarganya sendirinya. Pada tahun 1950-an misalnya, istrinya, Rahmi Hatta, berkeinginan membeli mesin jahit dengan cara menyisihkan uang belanja. Ketika tabungannya hampir mencapai harga mesin jahit, tiba-tiba terjadi sanering (pemotongan nilai uang) dari Rp.100 menjadi Rp 1. Nilai tabungan istrinya otomatis juga turun dan tidak bisa menjangkau harga mesin jahit.
Ketika Bung Hatta pulang, Rahmi mengeluh karena Bung Hatta tidak pernah memberitahu jika akan ada sanering. Padahal sebagai Wakil Presiden, Hatta pasti tahu tentang rencana kebijakan tersebut. Kalau saja diberitahu lebih awal, mungkin Rahmi bisa melakukan sesuatu dengan tabungannya. Namun, jawaban Hatta sungguh bernas, “Saya percaya kepadamu. Tetapi rahasia negara tetap rahasia, tidak boleh bocor kepada siapapun. Biarlah kita rugi sedikit demi kepentingan negara,” (Nur Cholis Huda: 2012).
Asketisme politik Hatta ini tentu sangat relevan untuk diaktualisasikan oleh para politisi kontemporer, yang dalam faktanya hampir-hampir nihil keteladanan. Yang mencuat dari belantara perpolitikan nasional mutakhir justru fenomena kesenjangan logika antara rakyat dengan elitnya. Berbagai problem sosial yang dihadapi rakyat seperti tidak terdeteksi oleh kalangan “the have” ini, sehingga ragam perilaku dan kebijakan yang anti-rakyat begitu mudah bergulir.
Fakta kehidupan politik yang kental dengan nuansa keglamoran dan sikap hedonisme, dengan ketidaksungkanan tampil parlente dan serba "luks" layaknya kaum selebritas. Mereka seolah hanya memikirkan kenyamanan dan kenikmatan hidup sendiri dan keluarganya saja, tanpa memikirkan hidupan orang lain, apalagi rakyatnya. Sementara di ujung lain, jutaan rakyat terhimpit dalam kemiskinan, masuk deretan angka putus sekolah yang fantastik, jeritan buruh menuntut kesejahteraan, dan ragam problem sosial lainnya.
Singkatnya, para politikus sudah melupakan “wasiat” Bung Hatta, bahwa demokrasi membutuhkan sikap tanggung jawab dan toleransi. Model demokrasi yang mengedepankan unjuk kekuatan massa pendukung otot maupun uang, justru mendominasi perilaku politik di Republik ini. Bagaimana masih bisa dikatakan bermoral jika mereka melakukan jual-beli pasal dalam menyusun Undang-undang (UU)? Para politisi sebagai pemegang kartu permainan seperti rombongan aji mumpung yang menjadikan politik sebagai industri cari makan dan kekuasaan.
Tak heran jika Haryatmoko (2003) sejak jauh hari memberikan analisis bahwa kepemimpinan dan para pengambil keputusan telah dihinggapi pendangkalan dan pemiskinan politik. Hal ini ditandai tiga kecenderungan. Pertama, mengabaikan pendekatan ideologi, tata nilai dan kehilangan prioritas. Kedua, melihat ruang publik layaknya sebuah pasar sehingga yang diperhitungkan adalah cara mendapatkan keuntungan ekonomis. Ketiga, pendangkalan dan pemiskinan politik telah mendegradasi etika kekuasaan, etika politik kekuasaan.
Realitas ini tentu sangat paradoks dengan cita-cita Hatta, bahwa penguasa adalah mereka yang menempatkan diri sebagai pelayan rakyat yang dialogis dan terbuka. Segala kebijakan yang dilahirkan negara sepantasnya bersandar pada keadilan dan kebenaran hati rakyat, dengan satu tujuan untuk menyejahterakan rakyat. Maka bukanlah tempatnya jika elit menyejahterakan dirinya sendiri, manasbihkan sebagai “raja” yang harus dilayani, maupun ningrat baru (In Nugroho Budisantoso: 2002).
Ongkos untuk memenuhi syahwat kemewahan hidup politikus, birokrat, dan pejabat di negeri ini kelewat mahal, yang ironisnya rakyat yang harus menanggung beban anggarannya. Sebaliknya, mereka tidak cukup bukti menunjukkan kinerja dan pengabdian yang hebat selain gemar mengiklankan diri di media massa agar mandatnya sebagai penguasa diperpanjang lagi oleh rakyat.
Kondisi ini membuat kehadiran politikus asketis sebagaimana yang dipraktikkan Bung Hatta sangat dinantikan oleh rakyat. Dia meninggalkan teladan asketisme politik yang berlandaskan pada prinsip kesederhanaan dan etika, dibarengi dengan tindakan yang memihak kemaslahatan rakyat banyak. Mampukan partai politik melahirkan satu saja “Bung Hatta” baru, ataukah 1001 titisan “M. Nazaruddin” baru? Allah a’lam bi al-shawab.