Muhammad Kholid Asyadulloh
Anggota Majelis Tarjih dan
Tajdid PW Muhammadiyah Jawa Timur
Republika, 24 November 2012
Pada tanggal 18
November 2012 ini, Muhammadiyah tepat berusia 100 tahun versi kalender
miladiyah. Selama satu abad itu, organisasi keagamaan yang didirikan KH. Ahmad
Dahlan ini telah banyak berkontribusi
positif untuk kedamaian dan perdamaian. Tak hanya dalam konteks nasional, tapi ia
juga diakui masyarakat internasional sebagai salah satu pilar perdamaian
mondial.
Tidak sedikit tokohnya
yang terlibat dalam berbagai forum internasional untuk menjembatani perbedaan
pemahaman antar masyarakat menuju perdamaian. Pengakuan masyarakat
internasional ini tentu membuka peluang bagi Muhammadiyah untuk melakukan
transformasi pemikiran dalam konteks internasional, mediator serta perekat
percaturan dunia.
Muhammadiyah bisa
mengubah persepsi dunia yang salah terhadap Islam, yang selama ini cenderung
merugikan Islam dan umatnya. Jika selama ini dunia internasional menempatkan
Timur Tengah sebagai ‘obyek’ Islam, maka Muhammadiyah harus mampu membuka mata
mereka ke Indonesia.
Sebagai tugas awal,
Muhammadiyah harus mampu memalingkan wajah dunia ketika melihat dan belajar
Islam. Langkah ini mutlak dilakukan mengingat pascatragedi World Trade Center
(WTC) September 2001, ketegangan Islam (Timur Tengah) versus Barat mencapai
titik klimaks. Tidak sedikit elemen internasional yang berpandangan
stereotipikal dan pejoratif terhadap Islam.
Dunia seringkali
melihat Islam yang hidup di Timur Tengah, wilayah yang hingga hari ini belum
sembuh total dari perangai “garang” dan penuh dengan kekerasan. Upaya
memalingkan dunia ke Islam Indonesia bukanlah sesuatu yang mustahil karena
banyak tokoh Muhammadiyah yang terlibat dalam berbagai forum internasional.
Lewat forum ini
Muhammadiyah bisa menjelaskan bahwa Islam adalah nilai lebih dalam kehidupan
pribadi dan masyarakat, baik ketika menjadi kelompok mayoritas maupun
minoritas. Muhammadiyah justru bisa dijadikan prototipe gerakan dakwah belahan
dunia seiring dengan gerakan dan pemikirannya yang tersebar secara luas.
Tak hanya terlibat
dalam berbagai dialog peradaban internasional, Muhammadiyah juga banyak
terlibat dalam banyak forum perdamaian dan civil society, baik dengan dunia
Islam maupun Barat. Sekedar menyebut, ada Syech Khumeini Foundation, Red
Crescent Qatar, International Charitable Organization Kuwait, World Muslim
Youth Assembly, British Red Cross, International Center for Religion and
Diplomacy, International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies,
The Asian Foundation (TAF), dan lain-lain.
Infrastruktur
jejaring internasional ini semakin lengkap seiring dengan menjamurnya Pimpinan
Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) di luar negeri. Sebanyak 16 PCIM didirikan
oleh warga negara Indonesia yang berdomisili di negara setempat. Selain itu,
Muhammadiyah luar Indonesia juga mempunyai sister
organization, organisasi yang nama (Muhammadiyah) dan punya tujuan yang
sama di beberapa negara. Ini pula yang membedakan Muhammadiyah dengan gerakan
Islam transnasional lain, karena tetap terikat dengan ke-Indonesia-an.
Jika berbagai
kesempatan itu dapat ditangkap dengan baik, maka tidak mustahil Muhammadiyah
bisa menjadi “prototipe” gerakan dakwah bagi dunia internasional. Setidaknya
ada tiga alasan kenapa ia layak dipromosikan sebagai model gerakan Islam internasional:
moderasi, tahan lama, dan peran komprehensif (Syafiq A. Mughni: 2010).
Moderasi ini bisa
dilihat perannya sebagai rahmatan lil alamin yang tidak hanya bermanfaat
bagi umat Islam, tetapi juga non-Muslim. Di Indonesia, peran kerahmatan ini
secara nyata telah dibuktikan dari kehadiran Universitas Muhammadiyah Kupang
(UMK), yang mayoritas mahasiswanya adalah non-Muslim. Tidak heran jika UMK
seringkali dipelesetkan sebagai Universitas Muhammadiyah Kristen, merujuk pada
komposisi civitasnya yang mayoritas non-Muslim
Daya tahan
Muhammadiyah ditunjukkan oleh usia organisasi yang melampaui satu abad;
pencapaian yang hanya sedikit dicatat oleh gerakan dakwah Islam di belahan
dunia. Sejak didirikan di Kauman dan dideklarasikan di Malioboro, Yogyakarta
pada 1912 oleh KH Ahmad Dahlan, organisasi ini tetap utuh hingga sekarang.
Bahkan berkembang dan semakin dipercaya oleh masyarakat. Muhammadiyah tidak
berpikir layaknya politisi yang mempunyai tujuan jangka pendek, tetapi berpikir
layaknya negarawan yang mempunyai tujuan jangka panjang.
Usia seabad lebih itu
secara tidak langsung menunjukkan bahwa Muhammadiyah sebenarnya telah mengalami
chronological age yang memadai untuk berkembang dan melembaga. Usia ini
menunjukkan kebesaran daya lentur Muhammadiyah dalam menghadapi tantangan zaman
tanpa harus kehilangan jati diri. Seabad berkiprah merupakan momentum yang
memadai untuk memainkan peran penting dalam membentuk dan mempengaruhi wacana
keislaman tingkat nasional maupun internasional.
Sementara itu, peran
Muhammadiyah sebagai organisasi komprehensif bisa dilihat dari keragaman
organisasi otonom dan Majelis/Lembaga yang dibentuknya. Tingkat
komprehensivitas ini juga didukung oleh amal usaha yang tidak terpaku dalam
satu bidang saja, tetapi juga disertai kemampuan para pemimpinnya untuk
meletakkan perjuangan organisasi dalam kerangka makro. Karena itu, selain
memantapkan ideologi, Muhammadiyah juga harus mengembangkan pemikiran yang
berbentuk strategis.
Meski demikian, internasionalisasi model dakwah ini tentu bukan tanpa tantangan. Sebagaimana yang pernah dikemukakan Dr. Abdul Mu’ti (2010), Muhammadiyah harus melakukan kemitraan dengan luar negeri tidak hanya pada tingkat pusat, namun juga tingkat wilayah dan daerah. Yang tak kalah pentingnya, warga Muhammadiyah juga harus meningkatkan kemampuan komunikasi dan capacity building, serta pengembangan culture bermitra dengan masyarakat internasional.
Meski demikian, internasionalisasi model dakwah ini tentu bukan tanpa tantangan. Sebagaimana yang pernah dikemukakan Dr. Abdul Mu’ti (2010), Muhammadiyah harus melakukan kemitraan dengan luar negeri tidak hanya pada tingkat pusat, namun juga tingkat wilayah dan daerah. Yang tak kalah pentingnya, warga Muhammadiyah juga harus meningkatkan kemampuan komunikasi dan capacity building, serta pengembangan culture bermitra dengan masyarakat internasional.