Oleh: Muhammad Kholid
Asyadulloh
Jurnalis, alumnus Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Sukoharjo
Untuk kali
kesekian ketidakcermatan Detasemen Khusus 88 Antiteror kembali memakan korban
salah tangkap. Setelah hampir sepekan, Mugi Hartanto dan Sapari akhirnya
dibebaskan karena tidak terbukti terlibat dalam tindak terorisme (28/7).
Apalagi, dalam dua tahun terakhir, istilah "salah tangkap" memang
bukan perkara baru dalam pengungkapan jaringan terorisme.
Kesalahtangkapan
ini kontan menimbulkan "desas-desus", jangan-jangan di antara terduga
teroris yang tewas ditembak itu juga salah tembak, salah mayat. Bahkan, ada
juga yang berkelakar, seandainya ada "Nabi Musa" baru, tentu
mayat-mayat tersebut bisa diinterogasi untuk menemukan kebenaran.
Keraguan
semacam ini tentu harus dimaklumi karena pada saat penangkapan, aparat keamanan
begitu yakin akan keterlibatan dua korban salah tangkap tersebut. Termasuk
menyebut peran keduanya secara mendetail dan meyakinkan, menyebutkan durasi
waktu dan tempat yang pernah disinggahinya, (Jawa Pos, 24/7).
Salah
tangkap terduga terorisme sebenarnya bukan hal baru karena memang beberapa kali
terbukti dan meninggalkan saksi hidup. Namun, untuk terduga tewas terorisme,
memang tidak pernah bisa diungkap "kebenarannya" karena mayat memang
tidak bisa bicara. Publik harus menerima statemen polisi sebagai fakta, karena
kasus terorisme lebih sering dikonstruksi lewat satu pintu tersebut.
Terlepas
apakah fakta versi polisi adalah fakta "sungguhan" atau
"buatan", yang jelas informasi kasus ini memang monopoli kepolisian.
Apakah semuanya benar, tentu jawabnya bisa saja benar, tapi juga bisa saja
tidak benar. Ini bergantung pada kerasionalan konstruksi kasus yang
dibangun. Toh, polisi juga bukan malaikat yang tidak pernah
salah, dengan bukti sering tersandung "salah tangkap" dalam kasus
lain.
Ketidakcermatan
aparat-semoga tidak dan belum terjadi salah tembak-, sesungguhnya secara tidak
langsung ikut menyuburkan dan membiakkan terorisme. Salah tangkap memang
membuat beberapa korban berinstrospeksi untuk lebih berhati-hati dalam
berperilaku dan bergaul. Tapi, ada sebagian yang berpikir daripada selalu
dicurigai, apalagi telanjur dicap masyarakat sekitar sebagai
"teroris" lebih baik sekalian terjun menjadi teroris. Mereka mungkin
lebih memilih mengamalkan syair Meggy. Z: terlanjur basah ya sudah
mandi sekali, terlanjur retak ya sudah pecah sekali.
Dalam
beberapa kasus, salah tangkap juga menciptakan lingkaran setan kekerasan baru
yang sangat sulit dihentikan. Sebab, jika mengalami penyiksaan fisik maupun
mental, secara tidak langsung timbul dendam dari pihak korban dan orang
sekelilingnya. Kondisi rawan ini bisa terjadi ketika korban dilepaskan tanpa
mendapat pendampingan yang layak dari masyarakat maupun kepolisian.
Kesulitan
ini berangkat dari fakta bahwa ketika seseorang telah ditangkap Densus 88,
-meski kadang kemudian tidak terbukti-, citra sebagai
teroris terbangun dengan sendirinya. Sebab, kehebohan pemberitaan penggerebekan
dan penangkapan terduga teroris yang terus diulangi membuat publik bepersepsi
bahwa siapa pun yang ditembak ataupun ditangkap dalam operasi tersebut adalah
teroris. Terdapat hukuman sosial bahwa seseorang yang berstatus "terduga"
sudah pasti dianggap teroris. Hampir tidak ada pemberitaan heboh ketika terjadi
salah tangkap, sama halnya ketiadaan permintaan maaf aparat yang telah
sewenang-wenang.
Soal
kecermatan menangkap terduga teroris, aparat seharusnya belajar dari konflik
Poso yang hingga kini terus bergejolak. Tindakan kepolisian yang over
acting dan melanggar hak-hak asasi manusia ketika menangkap terduga
teroris bukannya menuai simpati masyarakat, tetapi justru mendapatkan antipati.
Ditambah kasus salah tangkap kolosal yang mencapai 14 orang pada akhir 2012
silam, antipasti itu semakin menebal. Apalagi kesalahan itu tidak sekadar
"salah menangkap", tetapi juga dibarengi dengan penyiksaan korban
saat berada di tahanan.
Akumulasi
kekecewaan atas ketidakprofesionalan polisi ini, meminjam istilah Presidium
Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane, secara tidak langsung
menggeser permasalahan Poso menjadi konflik warga versus polisi. Tak heran
ketika Densus 88 menewaskan terduga terorisme, Nudin alias Bonda (10/6),
masyarakat pun marah. Meski versi polisi menyatakan Nudin ditembak karena
melawan saat hendak ditangkap, banyak masyarakat yang tidak memercayainya.
Massa yang marah pun memblokade jalan lintas Sulawesi.
Sejengkal
kisah Poso seharusnya membuat polisi lebih cermat, terlebih saat melakukan
penangkapan maupun penembakan. Kasus salah tangkap Tulungagung ini seharusnya
dijadikan pelajaran penting untuk tidak mudah menelan ludah kembali. Matangkan
pasukan intelijennya.
Jangan
sampai upaya menciptakan perdamaian justru dilakukan dengan cara ngawur agar
tidak dituduh publik sebagai tindakan "terorisme yang lain". Lebih
daripada itu, kecermatan juga bagian untuk meneguhkan kepercayaan publik bahwa
pengungkapan kasus terorisme memang bukan komoditas politik, apalagi sebagai
prasyarat untuk mendapatkan proyek tertentu. Polisi harus berbeda dengan
teroris yang tak mengenal aturan main.