Muhammad Kholid Asyadulloh
Mahasiswa Pascasarjana UIN Surabaya;
Alumnus Pesantren Al-Mukmin Ngruki Surakarta
HARI-hari ini pembicaraan
tentang relasi khilafah dan kebajikan Islam menjadi pembicaraan yang menyedot
perhatian banyak orang. Itu tidak lepas dari dua deklarasi kekhalifahan yang
dilakukan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) berubah
menjadi Islamic State (IS) di Timur Tengah (29/6), disusul
Boko Haram di Nigeria (24/8). Dua kekhilafahan yang pendiriannya berlumuran
darah karena tidak segan membantai siapa saja yang dianggap `kafir'. Aksi yang
mengatasnamakan agama itu kontan mengharuskan pemeluk Islam kembali belajar
(sejarah) Islam lebih intens.
Pembunuhan dua
khilafah yang mengklaim penganut Islam ahlu sunnah wal jamaah(Sunni)
itu tidak hanya dilakukan pada nonmuslim, tapi juga mereka yang memegang kuat
dua kalimat syahadat. Bukan hanya kalangan muslim Syiah yang sejak awal mereka
anggap berbeda, melainkan juga pada sesama kelompok Sunni yang tidak bersepakat
dengan perjuangan mereka. Tidak heran jika para pakar pemikir Islam memasukkan
keduanya sebagai gerakan Islam `Neokhawarij' karena meyakini
muslim yang tidak segaris sebagai kafir.
Contoh
kesadisan ISIS terlihat dari video pemenggalan James Wright Foley (20/8) dan
Steven Sotloff (2/9). Keduanya bukanlah awal atau akhir pembantaian karena ISIS
sebelumnya juga telah menyembelih tawanan `kafir'. Di dunia maya begitu mudah
untuk mendapatkan video kebrutalan dengan cara menembaki `tawanan' yang tidak
berdaya. Kekejaman yang serumpun juga diperlihatkan Boko Haram dengan
pembantaian ribuan warga sipil, tidak terkecuali menculik dua ratusan pelajar
yang tidak terlibat dalam persengketaan politik.
Bukan cerita baru
Aksi barbarian
dua khilafah abad ke-21 itu bukan sesuatu yang baru dalam sejarah Islam.Sejak
24 tahun pascawafatnya Nabi Muhammad SAW, praktik saling membunuh sesama muslim
sudah muncul dalam sejarah perebutan kekuasaan.Pengalaman kelam cara bernegara
umat Islam lewat model khilafah sebenarnya tercatat gamblang dalam kitab-kitab
sejarah yang mu'tabarah. Kumpulan khilafah berdarah itu dirangkum Farag Fouda
dalam al-Haqiqah al-Ghaibah, dia hanya mengakhiri pada Dinasti Abbasiyah. Buku
itulah yang dalam terjemahan Novriantoni diberi judul Kebenaran yang Hilang
Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim.
Tragedi
berdarah yang sadis pertama kali menimpa Usman bin Affan, khalifah ketiga dari
empat khalifah al-Rasyidun. Ada riwayat yang menyatakan jenazah Usman langsung
dikubur sesaat setelah pembunuhan tapi banyak riwayat yang menyatakan baru dua
atau tiga hari kemudian. Sebagian besar pemberontak yang sama-sama muslim,
ternyata tidak menyalatkan dan menguburkan jenazah Usman secara layak, itu yang
mencengangkan. Ketika jasad Usman ditandu ke pemakaman, ada saja yang
melempari, meludahi, mematahkan persendian tangan, hingga melarang dikuburkan
di pemakaman Islam.
Versi kelam itu
tampaknya lebih mendekati kebenaran karena fakta menunjukkan kuburan Usman
awalnya di kompleks pemakaman Yahudi, Hisy Kaukab. Barulah ketika Dinasti
Umayyah berkuasa, kompleks itu disulap menjadi pemakaman Islam dan disatukan
dengan Baqi'. Cerita kelam itu dicatat Ibnu al-Atsir dalam al-Kamil fi Tarikh
vol II, h 19, Ibnu Katsir (al-Bidayah wa al-Nihayah vol VII, h 213-222),
Al-Tabari (Tarikh al-Rusul wa al-Muluk vol III, h 5-7), dan al-Suyuthi (Tarikh
al-Khulafa vol I, h 66). Cerita yang sama juga terekam dalam Asad alGhabah
vol I, Mukhtashar Tarikh Dimasyqi vol V, al-Badu wa al-Tarikh vol I, Masalik
al-Absar fi Mamalik al-Amshar vol I, Tarikh al-Madinah vol I, III, dan IV,
Tarikh Ibn Khaldun vol II, dan lain-lain.
Catatan
berdarah sesama umat Islam yang dipicu kekuasaan secara benderang juga
dilakukan Yazid bin Muawiyah (679-683 M), khalifah kedua Dinasti Umayyah. Ba
nyak catatan yang menguraikan perlakuan sadisnya pada Husain bin Ali bin Abi
Thalib dalam tragedi Karbala. Bukan hanya bentuk pengepungan berhari-hari yang
membuat Husain dan pengikutnya kelaparan serta kehausan, melainkan juga cara
eksekusinya yang brutal.
Kekejaman Yazid
terhadap penentangnya juga tergambar dalam pembantaian massal yang dikenal
dengan istilah `peristiwa Harrah' di Madinah. Tidak kurang dari 4.500-an
penduduk Madinah yang mencabut baiat dibunuh, bahkan ketika dalam posisi
tertawan. Hampir semua buku sejarah klasik Islam yang mu'tabarah mencatat
peristiwa itu secara rinci dan cara eksekusinya.Harrah merupakan peristiwa
kematian terbesar yang menimpa para sahabat Nabi yang dilakukan sesama umat
Islam.
Kekhilafahan
berdarah juga diperlihatkan Abu al-Abbas al-Saffah (749-753) ketika mendirikan
Dinasti Abbasiyah.Setelah berhasil membunuh khalifah terakhir Dinasti Umayyah,
Marwan bin Muhammad, dia terus memburu dan membunuh sanak keluarga juga
pendukung Dinasti Umayyah. Kesadisan itu tercatat dalam al-Kamil fi al-Tarikh
vol II, al-Bidayah wa al-Nihayah vol X, Muruj al-Dzahab vol I, Mukhtashar
Tarikh Dimasyqi vol VII, al-Mukhtashar fi Akhbar al-Basyar vol I, Tarikh
al-Ya'qubi vol I, dan Tarikh Mukhtashar al-Duwal vol I.
Kesadisan yang
licik al-Saffah terhadap (bekas) lawan politiknya dicatat Ibnu Khaldun dalam
Tarikh Ibn Khaldun vol III. Awalnya, al-Shaffah menjanjikan keamanan nyawa bagi
mereka yang bertalian darah dengan Dinasti Umayyah, dan mengundangnya dalam
jamuan makan. `Kebaikan' itu membuat 80-an famili `bukan inti' Dinasti Umayyah
mau hadir di istana Abbasiyah. Saat itulah al-Saffah memerintahkan pasukannya
untuk mengeksekusi para tamu. Cerita serupa dicatat Ibnu al-Atsir dalam
al-Kamil fi al-Tarikh vol II dan Abu al-Fida dalam al-Mukhtashar fi Akhbar
al-Basyar vol I.
Wajib ditelaah
Membaca sekilas
catatan ketidakmanusiaan praktik khilafah itu, seharusnya umat Islam kembali
menelaah ajar annya tanpa melupakan historisitas yang menyertainya. Tidak
terkecuali memahami betul makna khilafah yang seringkali dijadikan
`dagangan' salesman ideologi transnasional. Banyak umat Islam
yang mengira bahwa pada masa klasik, kemajuan umat Islam terjadi dalam semua
bidang sehingga semuanya dilihat serba indah dan maju. Padahal, dilihat secara
jeli, dunia Islam telah terpecah-pecah menjadi kerajaan kecil, dan khalifah
menjadi simbol.
Dalam QS
al-Maidah ayat 44-47 yang sering dijadikan landasan pengkhayal khilafah menyebut
pentingnya `kepemimpinan' untuk men jamin keadilan dan kesejahteraan
masyarakat. Sudah tentu tafsirnya tidak bisa ditarik sebagai keharusan negara
model `khilafah' dalam artian sejarah peradaban Islam. Apalagi merujuk pada
praktik Indonesia misalnya, pelaksanaan syariat Islam sebenarnya sudah bisa
berjalan tanpa melabeli negara dengan khilafah. Mulai dari kebebasan
melaksanakan salat, memakai jilbab, puasa, sekolah, menikah, penarikan zakat,
pemberangkatan haji, eksistensi peradilan Islam, dan seterusnya.
Dari sudut
sejarah dan dogma, kehadiran kekhilafahan sebagai institusi politik bukanlah
sebuah keharusan yang dibebankan agama. Kepemimpinan ialah masalah yang sangat
fundamental karena tugasnya untuk meneruskan misi kenabian dalam memelihara
agama serta memberikan kesejahteraan pada warga. Tentu kepemimpinan tidak sama
dengan khilafah. Apalagi khilafah sebagai sistem kepemimpinan yang berkuasa
penuh, tidak mengenal pembagian kekuasaan (trias politica), tidak
mengenal pembatasan masa jabatan, dan tidak mengenal batas teritorial.
Sejarah menunjukkan bahwa
praktik `bernegara' umat muslim tidak selalu bertaburan dengan kebajikan
sebagaimana yang diajarkan agama. Itu pula yang harus dipahami dari deklarasi
kekhalifahan ISIS dan Boko Haram yang menyam pingkan prinsip dan nilai-nilai
keluhuran lslam tentang perdamaian, kesantunan, dan keadaban. Selain penegakan
khilafah tidak berdasarkan dalil-dalil syar'i, tapi praktik
berdarah mereka juga menyimpang jauh dari Islam. Jika umat Islam semakin
mengkaji sejarah dan Islam lebih mendalam, akan semakin paham tidak ada
justifikasi tentang keharusankhilafah. Allahu a'lam bi al-shawab