Oleh: Muhammad
Kholid Asyadulloh
Jurnalis,
alumnus Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Sukoharjo
Sumber: Jawa
Pos, 12 Juni 2012
Poso dua pekan terakhir meriang. Kemarin diberitakan ada
penembakan terduga teroris, Nurdin, yang direaksi keras oleh warga.
Gejala-gejala memilukan itu menjadi penanda bahwa program deradikalisasi
terorisme berjalan kurang maksimal. Bom bunuh diri hingga baku tembak yang
terjadi di wilayah ini menunjukkan bahwa rantai terorisme masih panjang meski
pelaku teror dan kekerasan tersebut dilakukan oleh jaringan lama. Poso menjadi
miniatur yang memperlihatkan bahwa program deradikalisasi belum mampu
menjangkau benih-benih radikalis di kemudian hari.
Jika benar-benar dilakukan oleh ''jaringan lama'', seharusnya program
deradikalisasi yang dilakukan BNPT berhasil menghentikan pergerakan yang
bersangkutan sebelum bom meledak atau baku tembak. Jika jaringan dan tempat
mereka sudah terdeteksi, logikanya mereka sudah tersaring dalam program
deradikalisasi jauh sebelum meledakkan bom. Sayangnya, ajaran radikal terlihat
lebih efektif sehingga muncul jaringan baru jika dibandingkan dengan pendidikan
untuk mengurangi radikalisme.
Hasil mengecewakan deradikalisasi itu berbanding terbalik dengan kesigapan
dan kejelian polisi dalam setiap menindak tindakan teroris. Kepolisian,
berdasar setiap konferensi pascaoperasi, biasanya begitu meyakinkan telah
memegang ''peta (calon) teroris''. Hanya, peta tersebut tampaknya kurang
maksimal digunakan sebagai dasar melakukan upaya preventif sejak dini melalui
deradikalisasi. Terbukti serangan terorisme terus terjadi secara berulang dan
sering hanya mengandalkan upaya represif sebagai jalan penyelesaian.
Merujuk kepada makna deradikalisasi sendiri, program itu sesungguhnya
perang merebut hati dan pikiran, dan bukan sekadar melaksanakan ritual program.
Itu bisa dipahami dari awalan ''de'' di depan katanya yang berarti mengurangi
atau mereduksi, dan kata ''isasi'' di belakang kata radikal berarti proses,
cara, atau perbuatan. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
mendefinisikan deradikalisasi adalah upaya menetralisasi paham radikal bagi
mereka yang terlibat teroris dan para simpatisannya, serta anggota masyarakat
yang telah ''terpapar'' radikalisme melalui reedukasi dan resosialisasi serta
multikulturalisasi.
Pengertian itu menunjukkan sasaran deradikalisasi adalah segelintir anak
bangsa yang terpapar dan tergabung dalam melakukan aksi terorisme secara
individu maupun kelompok. Mereka adalah (mantan) pelaku terorisme, simpatisan
teroris, serta anggota masyarakat yang terpapar paham radikalisme.
Deradikalisasi bukanlah program yang tidak hanya ditujukan kepada para
tersangka ataupun terpidana teroris, tetapi harus diarahkan kepada simpatisan
dan anggota masyarakat yang kepincut radikalisme. Untuk
simpatisan dan anggota masyarakat yang telah terekspos paham-paham radikal,
program deradikalisasi semestinya membangun saling percaya dan saling
menghormati.
Sayangnya, di antara tiga sasaran tersebut, praktis hanya mantan teroris
yang baru ditangani secara serius ketika sudah keluar dari penjara. Sementara
untuk dua sasaran lainnya masih jauh dari harapan sehingga mereka seperti tidak
pernah kehabisan stok teroris. Yang tidak kalah lucunya, sebagaimana disebut
Australian Strategic Policy Institute, ternyata 30 persen narapidana teroris di
Indonesia tidak mempan deradikalisasi. Akibatnya, muncullah residivis teroris.
Padahal, deradikalisasi model itu telah dilakukan lewat komunikasi yang baik
dan mendidik antara aparat penegak hukum dan para tersangka ataupun narapidana
teroris, bukan dengan cara-cara kekerasan dan intimidasi.
Jika sasaran deradikalisasi yang diseriusi saja masih belum menghasilkan
sesuai harapan, tentu bisa dibayangkan sendiri bagaimana hasil deradikalisasi
yang kurang maksimal. Ketidakseriusan deradikalisasi terhadap simpatisan
teroris dan radikalis itu bisa dilihat dari mitra kerja yang dipilih BNPT.
Alih-alih mitranya tersebut bisa memberikan pencerahan, justru ada yang
dilabeli oleh sasaran program sebagai musuh dalam perang pemikiran (ghazwu
al-fikr). Begitu juga ketika BNPT mendirikan Forum Koordinasi Pencegahan
Terorisme (FKPT) di tingkat provinsi, harus diakui bahwa tidak sedikit
pengurusnya yang tidak punya akses komunikasi dengan sasaran program.
Jika ''akses'' merangkul saja tidak punya, bagaimana mitra tersebut mampu
mencegah anggota masyarakat yang terpapar radikalisme agar tidak sampai menjadi
teroris. Tak heran jika ribuan buku deradikalisasi dan ragam program hasil
kerja sama BNPT-mitra tidak pernah tersampaikan kepada sasaran program.
Kalaupun tersampaikan, bukannya mengurangi kadar radikalisme, justru malah
membuat mereka semakin solid, lebih kompak, dan berhasil menggalang sentimental
keagamaan sambil terus menabuh genderang perlawanan.
Bagaimana mitra BNPT bisa memenangi perang pikiran dan hati simpatisan
terorisme dan anggota masyarakat yang terpapar radikalisme jika yang disasar
sudah tidak mau berbicara dari hati ke hati? Jika keduanya sudah tidak saling
percaya, lantas bagaimana pencerahan bisa dilakukan untuk membetulkan
doktrin-doktrin cinta kekerasan? Bagaimana bisa merangkul jika sejak awal telah
memosisikan diri berlawanan secara diametral tanpa ada saling percaya dan
saling menghormati?
Selain memerangi secara intensif tindakan
terorisme yang memang mengancam kehidupan, dialog dan bertukar pikiran dengan
tokoh-tokoh yang ''berpotensi'' atau tercitra menyebarkan paham radikalisme
juga harus lebih diprioritaskan. Jika sikap respek tidak dikembangkan,
kemarahan warga Poso terhadap polisi saat menembak Nurdin (10/6) menjadi
pengingat bahwa deradikalisasi juga harus berdasar peta yang jelas. Jangan
dengan peta buta.