(Bukan) Umur Jompo untuk Bertajdid

Muhammad Kholid Asyadulloh
Sumber: Seputar Indonesia, 19 November 2007


Tepat pada 18 November 2007, organisasi keagamaan Muhammadiyah memasuki umur yang ke-95 tahun, atau 33 tahun lebih tua dari Indonesia. Sebuah umur yang dapat dikatakan cukup dewasa untuk membuatnya lebih mantap dalam memberikan sumbangsih yang signifikan bagi kebaikan hidup berbangsa. Apalagi organisasi ini sebelumnya juga tidak sedikit memberikan pemikiran dan aksi yang berekses positif dalam mewarnai suasana sosial, ekonomi dan politik bangsa.
Namun mendekati umur satu abad itu, Muhammadiyah juga banyak mendapat sorotan dari berbagai pihak Muhammadiyah terlihat sebagai organisasi yang telah memasuki umur jompo dalam bertajdid dan berijtihad, sebagaimana yang diwariskan oleh generasi awal. Indikasinya adalah tidak sedikitnya pola keberagamaan warga Muhammadiyah yang kurang berkreator sebagai praktik yang humanis sekaligus teosentris. Justru “teosentrisme” lebih dominan dalam mensubordinasikan realitas kemanusiaan, dengan superiornya paham keagamaan yang tekstual-skriptural.
Slogan al-ruju’ ila al-Qur'an wa al-Hadits dalam kekinian justru mengungkungnya dalam logosentrisme yang despotic-hegemonik, dengan keterpisahan ilahiyah transcendental dari keseharian manusia. Bahkan, tidak sedikit warga Muhammadiyah yang meyakini kebenaran paham agamanya bersifat tunggal, abadi, serta mutlak. Meminjam istilah Hugh Goddars, double standard sudah menjadi bagian integral mayoritas warga Muhammadiyah dengan menganggap diri dan kelompoknya paling benar (truth claim), dan menganggap kelompok yang tidak sepaham sebagai kesesatan (dlalalah) yang nyata.
Akutnya praktik ini adalah konsekuensi dari perilaku sakralisasi pemikiran keagamaan (taqdis al-afkar al-islamiyyah) yang dihasilkan oleh generasi awal. Pada level grass root, terdapat kecenderungan untuk memperlakukan hasil ijtihad yang dikodifikasikan dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah (HPTM) sebagai “kitab suci” dalam memaknai Islam, bahkan melebihi sakralitas al-Qur’an maupun al-Hadits. Terdapat pemahaman, bahwa muslim yang baik adalah ketika sudah membaca dan memahami betul isi kitab tersebut. Sedangkan mereka yang belum khatam membacanya, identitas Islam masih dipertanyakan serta dianggap kurang sempurna.
Pada titik yang ekstrim, sebagaimana yang diungkap oleh Zakiyuddin Baidhawy (2004), Muhammadiyah kekinian adalah muqallid yang akut. Semua pemikiran dan aksinya tidak lain hanyalah duplikasi dari aktivisme generasi awal, tanpa mampu melampauinya. Secara institusional, sangat sulit untuk dijumpai berbagai terobosan baru darinya yang kontekstualis untuk problema kemanusiaan kontemporer.
Realitas ini tentu saja berimbas pada perkembangan pemikiran keislaman Muhammadiyah berjalan di tempat, dengan “hanya” mengulang-ulang berbagai produk ijtihad masa silam. Pembacaan produktif (al-qiraa’ah al-muntijah) yang meniscayakan kajian holistic terhadap aspek historisitas (taariikhiyyah), baik sisi sosial, budaya, ekonomi, maupun politik, tidak bisa dipraktikkan secara elegan oleh generasi kontemporer.
Justru yang mendominasi episteme warga Muhammadiyah adalah pembacaan repetatif (al-qiraa’ah al-mutakarrirah), di mana warisan masa lampau dibaca dengan cara mengulang-ulang, tanpa menyertakan dimensi historisitasnya. Pada titik yang ekstrim, kebenaran teks keberagamaan dimaknai dalam versi yang monolitik, tidak variatif dan beragam. Sebuah paradigma yang tentu saja menggiringnya ke dalam pemikiran dan pemahaman yang dogmatis, hingga pluralitas pemahaman dimusnahkan.
Padahal, dalam kenyataannya, logika positivistik yang mengandaikan klasifikasi Islam dalam kategori “murni” dan “tidak murni” sudah tidak sesuai dengan zaman. Sebab, posisi Islam sebagai sentral peradaban dipastikan akan melahirkan berbagai tafsir dan interpretasi sesuai dengan kondisi yang dihadapi oleh masyarakat. Relitas ini merupakan implikasi logis dari perbedaan pada bahan, sumber bacaan, dan sudut pandang melihat persoalan.
Keberagamaan “ortodoks” yang dikembangkan oleh Muhammadiyah itu, secara tidak langsung telah menunjukkannya telah gagal menyikapi pluralitas realitas (Moeslim Abdurrahman: 2003). Padahal agenda tajdid seharusnya menjadi lebih apresiatif terhadap realitas budaya, dikarenakan semuanya itu aktualisasi manusia dalam mencari kebenaran. Sebab mayoritas manusia memeluk suatu agama maupun bergabung organisasi keagamaan tertentu, lebih disebabkan kultur yang mengelilinginya sejak lahir.
Dalam hal ini, tentu tidak ada salahnya jika generasi Muhammadiyah kekinian kembali menelusuri jejak-jejak pemikiran (manhaj fikr) yang telah ditancapkan oleh pendirinya. KH. Ahmad Dahlan secara genuine telah meletakkan al-Qur'an dan al-Hadits sebagai sumber hukum yang multiinterpretatif, yang tentu saja bersifat toleran terhadap perbedaan. Tokoh ini secara brilyan memberikan teladan (qudwah) bagaimana memosisikan teks dan konteks pada tempat yang proporsional, tanpa harus terjebak pada pertarungan keduanya untuk saling mensubordinasikan (Zainuri: 2001).
Distingsi ini mensyaratkan bahwa akal merupakan instrumen terpenting dalam mengaktualisasikan Islam, baik melalui purifikasi maupun tajdid. Abdul Munir Mulkhan (1990) menggambarkan bahwa epistemologi yang dikonstruk oleh KH. Ahmad Dahlan setidaknya terdiri dari dua aksioma, yaitu dasar dan operasional. Al-Qur'an dan al-Hadits merupakan aksioma dasar yang difungsiokan sebagai demistifikasi Islam dalam ranah sosial. Sedangkan nalar yang berbasis pada logika, kritisisme, serta berdimensi praksis menjadi pilar dalam operasionalisasi aksioma dasar tersebut.
Sejak awal memang disadari bahwa maksimalisasi nalar dalam memahami agama yang calestial memang tidak mungkin berakhir pada kebenaran yang mutlak. Sebab kebenaran itu sendiri tidak sendirinya datang secara tiba-tiba, kecuali melalui pencarian yang tidak mudah. Karenanya, kritik secara kontinu harus dilakukan terhadap produk pemikiran yang lahir terlebih dahulu demi signifikansinya pada kehidupan, dengan cara menggali berbagai makna dan pesan yang bersemayam di belakang produk pemikiran dan dikontekstualisasikan dalam kekinian (Aliya Harb: 2001).
Meminjam kategori yang dipakai oleh Mohammed Arkoun (1999), tujuan kritik adalah melepaskan pemenjaraan antara hal yang terpikirkan (thinkable) dan hal yang tidak (belum) terpikirkan (unthinkable). Agama (al-diin) yang calestial memang tidak boleh dikritik, tetapi pemikiran keagamaan (al-afkaar al-diiniyyah) adalah sah untuk dikritik. Agama memang bersifat absolut (qath’iy) dan tetap (al-tsawaabit), tetapi berbagai rumusannya yang disusun oleh ulama dan cendekiawan termasuk produk kebudayaan (al-intaaj al-tsaqafi). Sedangkan posisi pemikiran adalah qaabil li al-niqaasy wa al-taghyiir, selalu bisa dicermati ulang serta dipertanyakan (Amien Abdullah: 2004).
Melihat kesejarahan tersebut, tentu amat disayangkan jika generasi Muhammadiyah kekinian justru alergi terhadap pemikiran keagamaan yang dianggap “neko-neko”. Padahal kelahiran Muhammadiyah sendiri tidak bisa dilepaskan dari “kenakalan” KH. Ahmad Dahlan dalam mendobrak tradisi keberagamaan yang berkembang pada zamannya. Ataukah realitas ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah memang sudah terlalu tua untuk terus melakukan tajdid? Allah A’lam bi al-Shawab.