Kepahlawanan Agama Memerangi Kemiskinan
Muhammad Kholid Asyadulloh
Sumber: Jawa Pos, 7 November 2007
Hari
pahlawan yang selalu diperingati pada 10 November, adalah salah satu kontribusi
konkrit agama dalam mengusir penjajah. Kalimat takbir “Allahu Akbar” yang
diserukan Bung Tomo dari stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) ditangkap oleh
rakyat sebagai panggilan jihad untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang
baru berumur 85 hari. Peristiwa heroik inilah yang dicatat sejarah sebagai
salah satu faktor penting bagi eksistensi Indonesia yang telah berusia 62 tahun
pada 2007 ini.
Kesejarahan
10 November 1945 ini memberikan pelajaran penting, bahwa visi kejuangan masa
itu adalah mengorbankan nyawa dan benda untuk mencapai kemerdekaan. Sudah tentu
di zaman kemerdekaan ini, manifestasi jihad yang dibutuhkan Indonesia jauh
berbeda dengan tuntutan jihad yang terjadi pada masa merebut kemerdekaan.
Sebab, setiap kurun zaman memang mempunyai panggilan dan kewajiban tersendiri
sesuai dengan tantangan dan jawaban yang harus diberikan.
Di antara
tantangan dan jawaban jihad di era kontemporer adalah perlawanan massif
terhadap kemiskinan. Sebab, kemiskinan adalah masalah laten yang mendorong
berkembangnya aneka penyakit kronis, serta timbulnya gejolak sosial semacam
kriminalitas, menjual diri, penculikan, penjualan bayi, dan sebagainya. Bahkan,
tidak sedikit pengamat sosial yang menyatakan, kemiskinan berdampak pada
suburnya fundamentalisme agama, yang salah satu efek negatifnya adalah maraknya
kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Berdasarkan
laporan tahunan Badan Pusat Statistik (BPS) yang dilansir pada 02 Juli 2007,
disebutkan jumlah penduduk miskin Indonesia tahun 2007 ini mencapai 37,17 juta
jiwa, atau 16,58 persen dari total seluruh penduduk. Dibandingkan tahun 2006
yang mencacat ada 39,30 juta warga miskin (17,75 persen), jumlah tahun ini
menurun sekitar 2,13 persen. Meski data ini diragukan oleh banyak pihak sebagai
“kompromi” BPS dengan penguasa, tetapi 37,17 juta tetaplah angka yang luar
biasa banyak.
Banyaknya
masyarakat yang berkubang dalam kemiskinan ini tentu meniscayakan peran aktif
agama untuk mengentaskannya. Agama sebagai sumber makna tentu mempunyai peran
yang fundamental dalam kehidupan sehari-hari, termasuk mengentaskan kemiskinan.
Sebab, kehadiran agama di dunia ini bukan menyuruh umatnya untuk menjalankan
ibadah formal di tempat-tempat peribadatan saja, tetapi juga mengajak untuk
memainkan peran kemanusiaan secara luas (khalifah Allah).
Adalah
mutlak bagi agamawan untuk melakukan transformasi pemahaman keagamaan dari
sekedar doktrin yang “kurang berbunyi” secara sosial menjadi kerja sama untuk
pembebasan kemanusiaan (Zuly Qodir: 2007). Tafsir atas kaum lemah dan
terlemahkan harus mendapatkan tempat yang proporsional, dengan menempatkannya
sebagai perspektif dalam berteologi. Praktik agama harus memiliki kepekaan
sosial yang tinggi terhadap realitas ketidakadilan, dengan menjadikan
solidaritas dan filantropi sebagai bagian tidak terpisahkan.
Di
sinilah pentingnya menghadirkan keberagamaan yang mampu menyinergikan
normativitas agama dengan realitas sosial, dengan menafsirkan agama sebagai
pemecah masalah (problem solver) dalam kehidupan manusia. Langkah ini mutlak
dilakukan guna terwujudnya peran agama dalam dialektika kehidupan dengan
tampilan pemeluknya yang berguna bagi sesamanya. Agama bukanlah sekedar
persoalan yang berkutat pada “ajaran” mana yang benar (orthodoxy), tetapi juga
menekankan pentingnya tindakan yang benar (orthopraxis).
Umat
beragama harus mampu melampaui formalitas ibadah, dengan menembus pesan
meta-syari’ahnya yang berdimensi sosial. Adalah penting untuk menghadirkan
kesalehan yang memiliki roh dan semangat transformatif, selain ibadah ritual
mahdlah tentunya. Bahwa keberagamaan adalah salah satu jalan penting dalam
membebaskan manusia dari praktik-praktik yang menghambat dan merugikan
peradaban, khususnya jerat kemiskinan. Keimanan dan ketauhidan akan Tuhan harus
dipancarkan melalui kerja perubahan dalam masyarakat, guna terciptanya kebaikan
yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif.
Dibutuhkan
rumusan keagamaan dan aksi konkrit dari kalangan agamawan untuk bersama-sama
membasmi kemiskinan yang jelas-jelas menghinakan manusia dan kemanusiaan.
Agamawan harus mampu mengkomunikasikan bahasa agama dengan realitas
ketertindasan yang terjadi di sekitarnya. Keberagamaan tidak lagi hanya
berkutat pada masalah akidah, ibadah, maupun ikhtilafiah saja, melainkan harus
fungsional bagi mereka yang menjadi korban ketidakadilan.
Sudah
tentu keberagamaan ini meniscayakan adanya konfrontasi realitas dengan
normativitas teks suci secara berkesetaraan. Bahwa bukti kedekatan seseorang
hamba dengan Tuhannya seharusnya dilihat dari kepeduliannya terhadap nasib
manusia lain yang menderita, daripada pemuasan hasrat teologis-individualnya.
Penafsiran agama harus dimaknai “seakan-akan” berbicara langsung kepada umat
manusia untuk mengkontekstualisasikan ajaran agama sebagai rahmatan
lil’alamien.
Keberagamaan
diharapkan mampu melahirkan aksi sosial yang memberdayakan orang miskin, yang
realisasinya bermanfaat dalam memecahkan problem kemiskinan. Bahwa bukti
kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya juga harus dilihat dari kepeduliannya
terhadap manusia lain yang menderita, bukan sekedar pemuasan hasrat
teologis-individualnya. Apalagi al-Qur’an sendiri seringkali menyebut “iman”
dan “amal saleh” secara bersamaan, yang secara otomatis mengisyaratkan
kesempurnaan iman hanya bisa dicapai ketika menyatu dengan pembelaan atas
kepentingan kemanusiaan. Merdeka!