Ramadan dan Religiusitas Transformatif

Muhammad Kholid Asyadulloh

Sumber: Surya, 12 September 2007



Ahlan wa shlan ya Ramadan, selamat datang bulan Ramadan 1428 H! Inilah momen yang senantiasa dinanti-nanti umat Muslim seluruh penjuru dunia, karena bulan ini menjanjikan kesucian, rahmat, hikmah, dan ampunan yang melimpah ruah. Ramadan menjadi arena untuk semakin mendekatkan diri kepada Tuhan, sembari membuang jauh-jauh berbagai nafsu yang bertentangan dengan sifat dasar keilahian guna menggapai maqam sempurna (insan kamil). Tidak heran jika bulan ini selalu dihiasi dengan berbagai gemuruh lantunan dzikir dan kebesaran nama Tuhan, baik di siang hari maupun malam.
Bagi masyarakat Indonesia, kehadiran Ramadan 2007 ini bertetapatan dengan kondisi bangsa yang sedang berkutat dengan problem kemiskinan, baik mental, moral, sosial, ekonomi, struktural, maupun aspek lainnya, sungguh tepat jika kedatangan Ramadan ini dijadikan momentum untuk menghadirkan “kebangkitan” baru (nubuwwah). Upaya ini semakin penting, mengingat bangsa Indonesia sedang mengalami krisis spiritual yang maha hebat dengan semkain meluasnya budaya korupsi, kolusi yang menggurita, rasa malu yang menipis, fatsoen politik yang tumpul, pengangguran yang melonjak, kemiskinan yang massif, eksploitasi alam yang menggila, kemandulan penegakan hukum, serta berbagai kemungkaran sosial lainnya.
Tidak berbeda dengan peristiwa berbagai sejarah yang sudah berlalu, pelaku penindasan dan ketidakadilan itu masih tetap merujuk pada empat tipologi, yaitu Qarun, Haman, Fir’aun, dan Samiri (Zakiyuddin: 2007). Qarun adalah manifestasi hegemoni dan dominasi ideologi globalisme pasar bebas dan politik liberal, International Monetary Fund (IMF), World Bank, Asian Development Bank (ADB), Paris Club, World Trade Organization (WTO), dan lembaga lain yang “berjasa” melahirkan kemiskinan massif di berbagai penjuru dunia.
Adapun Haman adalah gambaran dari kaum teknokrat yang menghalalkan praktik pencurian dan manipulasi secara legal atas nama hak paten dan kekayaan intelektual. Tipologi Fir’aun merujuk pada sosok penguasa yang tiran, politik hegemonik, dan good governance yang sering melucuti peran negara dalam meredistribusikan sumber daya dan pendapatan. Sedangkan Samiri adalah tipe dari kaum agamawan candu, pendeta korup, ulama status quo, da’i dusta, dan sejenisnya, yang tidak segan-segan melakukan manipulasi ajaran-ajaran suci untuk melegitimasi berbagai praktik politik, ekonomi, dan sosial-kultural yang kotor dan menjijikkan.
Dalam faktanya, keempat tipologi penghancur peradaban kemanusiaan ini semakin hari semakin menunjukkan kebringasannya. Sebagai imbasnya, wajah duniapun semakin kabur, sulit membedakan antara realitas dan ilusi, kebenaran dan kebatilan, kejujuran dan kebohongan, kejahatan dan kebaikan, korupsi dan sedekah, mungkar dan makruf, serta berbagai paradoks lainnya. Ironisnya, kebringasan anomali sosial ini justru “berdampingan” damai dengan “gairah” masyarakat dalam mengikatkan diri pada simbol, ritual-seremonial keagamaan, dan sejenisnya.
Tumbuh suburnya kemungkaran sosial di tengah semarak masyarakat “religius” ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa pemahaman umat atas agamanya masih bersifat personal. Mereka mempunyai tanggung jawab yang tinggi untuk melaksanakan ajaran yang bersifat individu dengan Tuhan, seperti mendirikan shalat, menjalankan puasa, melaksanakan zakat, serta berbagai ritual lainnya. tetapi pada sisi lain, tanggung jawab personal ini ternyata belum (tidak) dibarengi dengan tanggung jawab sosial dalam kehidupan sehari-hari.

Reinstropeksi
Berdasarkan kondisi elegis ini, maka Ramadan adalah momentum bagi umat Muslim untuk melakukan reinstrospeksi atas keberagamaannya dalam konteks yang lebih manusiawi. Dibutuhkan pola keberagamaan yang mengapresiasi dan meletakkan nilai dan ajaran calestial Islam ke dalam praktik sikap dan perilaku hidup sehari-hari. Selain berimbas pada kuatnya keterikatan seseorang terhadap agamanya, praktik keberagamaan juga harus mendorong terjadinya aktualisasi nilai dan etos sosial yang terkandung dalam ajaran tersebut.
Dengan demikian, agama harus diposisikan sebagai pelambang kebenaran yang harus diamalkan, bukan kebenaran itu sendiri. Dalam nomenklatur Islam, pesan liberatif, persamaan, dan solidaritas sosial ini terangkum dalam doktrin Laa Ilaah Illa Allah (Tiada tuhan selain Allah). Seorang yang masuk Islam diwajibkan menolak berbagai tuhan (t kecil), baik harta, kekuasaan, ras, golongan, yang mempresentasikan sebagai dorongan kuat manusia. Setelah itu, barulah mengikrarkan tunduk hanya kepada Tuhan yang hakiki, dan memandang semua manusia sama di hadapan-Nya.
Dalam konteks praktik penindasan dan ketidakadilan yang semakin canggih dan bervariasi, maka kehadiran keberagamaan yang revolusioner adalah solusi yang tidak bisa ditawar. Agama harus diamalkan sebagai sinaran etik-moral bagi kerja perubahan dalam masyarakat, guna terciptanya kebaikan yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Beragama berarti tidak cukup hanya dengan melakukan pengakuan dan pelaksanaan ritual belaka, melainkan juga harus dibuktikan dalam perilaku saleh berdimensi sosial.
Pencapaian cita-cita ideal ini sudah tentu mensyaratkan adanya pemahaman yang lebih komprehensif dalam diri umat Islam terhadap sumber ajarannya. Paradigma keberagamaan yang lebih menekankan ritualisme harus diubah menuju keberagamaan yang moral-etis (akhlak sosial). Tuntutan pembaruan ini adalah konsekuensi logis dari raison d’etre agama sebagai gugatan atas penindasan dan ketidakadilan. Ritualitas konvensional yang seringkali dijadikan tujuan beragama harus dikembalikan pada posisi awalnya, yaitu sebagai dorongan menuju pemahaman dan penghayatan atas substansi agama.
Tanpa adanya “pembaruan” paham keagamaan yang lebih manusiawi, rasanya cukup sulit untuk membenarkan puasa sebagai ritual penahan laju penindasan dan ketidakadilan. Imbasnya, puasa selama satu bulan penuh yang rutin dilakukan setiap tahun ini mungkin tetap akan selalu menjadi acara seremonial yang kering maknanya dalam menuntaskan problem sosial. Alih-alih merespon kehidupan kontemporer yang berbasis kemanusiaan, justru keberagamaan yang teknis, legalistis, dan tertutup akan mengantarkan umat manusia pada kehancuran.
Dalam konteks ini, tentu saja penafsiran ayat-ayat Tuhan harus lebih difokuskan pada kritik realitas ketidakadilan. Sudah barang tentu keberagamaan seperti ini mengharuskan adanya konfrontasi realitas dengan normativitas teks suci secara berkesetaraan. Penafsiran haruslah dimaknai “seakan-akan” berbicara langsung kepada umat manusia, sehingga diharapkan mampu melahirkan ritual yang sesuai dengan sejarah yang bergerak secara dinamis. Seiring dengan perkembangan zaman, berbagai tradisi yang telah ada memang membutuhkan sebuah formulasi yang up to date dan signifikan bagi kehidupan sesuai dengan masanya.

Takwa Generik
Ramadan seyogyanya dimaknai sebagai spirit yang tidak boleh padam sepanjang kehidupan. Sebab makna kesucian idul fitri bukanlah terletak pada amalan yang terlihat secara dzahir saja, tetapi lebih jauh lagi, seberapa jernih hati pelaku menjadi lebih jernih dalam memandang suatu persoalan (taqwa). Seorang yang taqwa adalah hamba yang mampu memanggul risalahnya sebagai khalifatullah untuk memakmurkan bumi dan menebarkan rahmat. Manusia dituntut untuk bisa memperlakukan manusia lain dalam bingkai perilaku yang equal (akhlak al karimah) tanpa “pembedaan”, hanya karena jembatan etnis, budaya, agama, serta struktur sosial lainnya.
Term taqwa yang selama ini sudah ‘teridentikkan’ sebagai “kata benda” (isim) harus dikembalikan pada asalnya, yaitu “kata kerja” (fi’il). Sebab predikat taqwa bukanlah sesuatu yang akan digapai setelah menjalankan ibadah puasa sebulan penuh tersebut secara formal saja, melainkan proses yang dilewati seseorang untuk lebih menghargai orang lain. Pemaknaan taqwa yang futuris, generik, serta fungsional tersebut, pada gilirannya akan berimplikasi pada kemampuan seseorang untuk memilah serta memilih antara yang benar dan salah dalam garis demarkasi yang jelas.
Keberhasilan manusia dalam menangkap makna takwa sebagai puncak ketuntasan puasa, merupakan pencerahan batin untuk menuju jati dirinya. Aktualisasi manusia yang fitri tercermin dalam perilaku yang lebih memanusiakan orang lain, dengan meninggalkan berbagi tindakan culas dan merugikan orang lain. Justru puasa yang mabrur bisa dilihat sejak mulai jatuhnya tanggal 1 Syawal (Idul Fitri) sampai datangnya bulan Ramadan tahun berikutnya, dalam perilaku yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Karena itu, Ramadan sesungguhnya adalah momentum untuk menumbuhkan kesalehan sosial, selain tentunya kesalehan personal yang tidak kering nilai humanisme. Ritual ini mensyaratkan adanya implikasi positif terhadap penciptaan pranata sosial yang berguna bagi penegakan nilai-nilai kemanusiaan. Namun, jika bulan Ramadan telah berlalu, tetapi korupsi tetap semarak dan semakin ramai, mungkin dapat dikatakan bahwa puasa selama sebulan ini telah kehilangan nafas fungsionalnya! Allah a’lam bi al-Shawab