Muhammad Kholid Asyadulloh
Ahlan wa shlan ya Ramadan,
selamat datang bulan Ramadan 1428 H! Inilah momen yang senantiasa dinanti-nanti
umat Muslim seluruh penjuru dunia, karena bulan ini menjanjikan kesucian,
rahmat, hikmah, dan ampunan yang melimpah ruah. Ramadan menjadi arena untuk
semakin mendekatkan diri kepada Tuhan, sembari membuang jauh-jauh berbagai
nafsu yang bertentangan dengan sifat dasar keilahian guna menggapai maqam
sempurna (insan kamil). Tidak heran jika bulan ini selalu dihiasi dengan
berbagai gemuruh lantunan dzikir dan kebesaran nama Tuhan, baik di siang hari
maupun malam.
Bagi masyarakat Indonesia,
kehadiran Ramadan 2007 ini bertetapatan dengan kondisi bangsa yang sedang
berkutat dengan problem kemiskinan, baik mental, moral, sosial, ekonomi,
struktural, maupun aspek lainnya, sungguh tepat jika kedatangan Ramadan ini
dijadikan momentum untuk menghadirkan “kebangkitan” baru (nubuwwah). Upaya ini
semakin penting, mengingat bangsa Indonesia sedang mengalami krisis spiritual
yang maha hebat dengan semkain meluasnya budaya korupsi, kolusi yang menggurita,
rasa malu yang menipis, fatsoen politik yang tumpul, pengangguran yang
melonjak, kemiskinan yang massif, eksploitasi alam yang menggila, kemandulan
penegakan hukum, serta berbagai kemungkaran sosial lainnya.
Tidak berbeda dengan
peristiwa berbagai sejarah yang sudah berlalu, pelaku penindasan dan
ketidakadilan itu masih tetap merujuk pada empat tipologi, yaitu Qarun, Haman,
Fir’aun, dan Samiri (Zakiyuddin: 2007). Qarun adalah manifestasi hegemoni dan
dominasi ideologi globalisme pasar bebas dan politik liberal, International
Monetary Fund (IMF), World Bank, Asian Development Bank (ADB), Paris Club,
World Trade Organization (WTO), dan lembaga lain yang “berjasa” melahirkan
kemiskinan massif di berbagai penjuru dunia.
Adapun Haman adalah
gambaran dari kaum teknokrat yang menghalalkan praktik pencurian dan manipulasi
secara legal atas nama hak paten dan kekayaan intelektual. Tipologi Fir’aun
merujuk pada sosok penguasa yang tiran, politik hegemonik, dan good governance
yang sering melucuti peran negara dalam meredistribusikan sumber daya dan
pendapatan. Sedangkan Samiri adalah tipe dari kaum agamawan candu, pendeta
korup, ulama status quo, da’i dusta, dan sejenisnya, yang tidak segan-segan
melakukan manipulasi ajaran-ajaran suci untuk melegitimasi berbagai praktik
politik, ekonomi, dan sosial-kultural yang kotor dan menjijikkan.
Dalam faktanya, keempat
tipologi penghancur peradaban kemanusiaan ini semakin hari semakin menunjukkan
kebringasannya. Sebagai imbasnya, wajah duniapun semakin kabur, sulit membedakan
antara realitas dan ilusi, kebenaran dan kebatilan, kejujuran dan kebohongan,
kejahatan dan kebaikan, korupsi dan sedekah, mungkar dan makruf, serta berbagai
paradoks lainnya. Ironisnya, kebringasan anomali sosial ini justru
“berdampingan” damai dengan “gairah” masyarakat dalam mengikatkan diri pada
simbol, ritual-seremonial keagamaan, dan sejenisnya.
Tumbuh suburnya kemungkaran
sosial di tengah semarak masyarakat “religius” ini secara tidak langsung
menunjukkan bahwa pemahaman umat atas agamanya masih bersifat personal. Mereka
mempunyai tanggung jawab yang tinggi untuk melaksanakan ajaran yang bersifat
individu dengan Tuhan, seperti mendirikan shalat, menjalankan puasa,
melaksanakan zakat, serta berbagai ritual lainnya. tetapi pada sisi lain,
tanggung jawab personal ini ternyata belum (tidak) dibarengi dengan tanggung
jawab sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Reinstropeksi
Berdasarkan kondisi elegis
ini, maka Ramadan adalah momentum bagi umat Muslim untuk melakukan
reinstrospeksi atas keberagamaannya dalam konteks yang lebih manusiawi.
Dibutuhkan pola keberagamaan yang mengapresiasi dan meletakkan nilai dan ajaran
calestial Islam ke dalam praktik sikap dan perilaku hidup sehari-hari. Selain
berimbas pada kuatnya keterikatan seseorang terhadap agamanya, praktik
keberagamaan juga harus mendorong terjadinya aktualisasi nilai dan etos sosial
yang terkandung dalam ajaran tersebut.
Dengan demikian, agama
harus diposisikan sebagai pelambang kebenaran yang harus diamalkan, bukan
kebenaran itu sendiri. Dalam nomenklatur Islam, pesan liberatif, persamaan, dan
solidaritas sosial ini terangkum dalam doktrin Laa Ilaah Illa Allah (Tiada
tuhan selain Allah). Seorang yang masuk Islam diwajibkan menolak berbagai tuhan
(t kecil), baik harta, kekuasaan, ras, golongan, yang mempresentasikan sebagai
dorongan kuat manusia. Setelah itu, barulah mengikrarkan tunduk hanya kepada
Tuhan yang hakiki, dan memandang semua manusia sama di hadapan-Nya.
Dalam konteks praktik
penindasan dan ketidakadilan yang semakin canggih dan bervariasi, maka
kehadiran keberagamaan yang revolusioner adalah solusi yang tidak bisa ditawar.
Agama harus diamalkan sebagai sinaran etik-moral bagi kerja perubahan dalam
masyarakat, guna terciptanya kebaikan yang bersifat kualitatif maupun
kuantitatif. Beragama berarti tidak cukup hanya dengan melakukan pengakuan dan
pelaksanaan ritual belaka, melainkan juga harus dibuktikan dalam perilaku saleh
berdimensi sosial.
Pencapaian cita-cita ideal
ini sudah tentu mensyaratkan adanya pemahaman yang lebih komprehensif dalam
diri umat Islam terhadap sumber ajarannya. Paradigma keberagamaan yang lebih
menekankan ritualisme harus diubah menuju keberagamaan yang moral-etis (akhlak
sosial). Tuntutan pembaruan ini adalah konsekuensi logis dari raison d’etre
agama sebagai gugatan atas penindasan dan ketidakadilan. Ritualitas
konvensional yang seringkali dijadikan tujuan beragama harus dikembalikan pada
posisi awalnya, yaitu sebagai dorongan menuju pemahaman dan penghayatan atas
substansi agama.
Tanpa adanya “pembaruan”
paham keagamaan yang lebih manusiawi, rasanya cukup sulit untuk membenarkan
puasa sebagai ritual penahan laju penindasan dan ketidakadilan. Imbasnya, puasa
selama satu bulan penuh yang rutin dilakukan setiap tahun ini mungkin tetap
akan selalu menjadi acara seremonial yang kering maknanya dalam menuntaskan
problem sosial. Alih-alih merespon kehidupan kontemporer yang berbasis
kemanusiaan, justru keberagamaan yang teknis, legalistis, dan tertutup akan
mengantarkan umat manusia pada kehancuran.
Dalam konteks ini, tentu saja
penafsiran ayat-ayat Tuhan harus lebih difokuskan pada kritik realitas
ketidakadilan. Sudah barang tentu keberagamaan seperti ini mengharuskan adanya
konfrontasi realitas dengan normativitas teks suci secara berkesetaraan.
Penafsiran haruslah dimaknai “seakan-akan” berbicara langsung kepada umat
manusia, sehingga diharapkan mampu melahirkan ritual yang sesuai dengan sejarah
yang bergerak secara dinamis. Seiring dengan perkembangan zaman, berbagai
tradisi yang telah ada memang membutuhkan sebuah formulasi yang up to date dan
signifikan bagi kehidupan sesuai dengan masanya.
Takwa Generik
Ramadan seyogyanya dimaknai
sebagai spirit yang tidak boleh padam sepanjang kehidupan. Sebab makna kesucian
idul fitri bukanlah terletak pada amalan yang terlihat secara dzahir saja,
tetapi lebih jauh lagi, seberapa jernih hati pelaku menjadi lebih jernih dalam
memandang suatu persoalan (taqwa). Seorang yang taqwa adalah hamba yang mampu
memanggul risalahnya sebagai khalifatullah untuk memakmurkan bumi dan
menebarkan rahmat. Manusia dituntut untuk bisa memperlakukan manusia lain dalam
bingkai perilaku yang equal (akhlak al karimah) tanpa “pembedaan”, hanya karena
jembatan etnis, budaya, agama, serta struktur sosial lainnya.
Term taqwa yang selama ini
sudah ‘teridentikkan’ sebagai “kata benda” (isim) harus dikembalikan pada
asalnya, yaitu “kata kerja” (fi’il). Sebab predikat taqwa bukanlah sesuatu yang
akan digapai setelah menjalankan ibadah puasa sebulan penuh tersebut secara
formal saja, melainkan proses yang dilewati seseorang untuk lebih menghargai
orang lain. Pemaknaan taqwa yang futuris, generik, serta fungsional tersebut,
pada gilirannya akan berimplikasi pada kemampuan seseorang untuk memilah serta
memilih antara yang benar dan salah dalam garis demarkasi yang jelas.
Keberhasilan manusia dalam
menangkap makna takwa sebagai puncak ketuntasan puasa, merupakan pencerahan
batin untuk menuju jati dirinya. Aktualisasi manusia yang fitri tercermin dalam
perilaku yang lebih memanusiakan orang lain, dengan meninggalkan berbagi tindakan
culas dan merugikan orang lain. Justru puasa yang mabrur bisa dilihat sejak
mulai jatuhnya tanggal 1 Syawal (Idul Fitri) sampai datangnya bulan Ramadan
tahun berikutnya, dalam perilaku yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Karena itu, Ramadan sesungguhnya
adalah momentum untuk menumbuhkan kesalehan sosial, selain tentunya kesalehan
personal yang tidak kering nilai humanisme. Ritual ini mensyaratkan adanya
implikasi positif terhadap penciptaan pranata sosial yang berguna bagi
penegakan nilai-nilai kemanusiaan. Namun, jika bulan Ramadan telah berlalu,
tetapi korupsi tetap semarak dan semakin ramai, mungkin dapat dikatakan bahwa
puasa selama sebulan ini telah kehilangan nafas fungsionalnya! Allah a’lam bi
al-Shawab