Muhammad Kholid Asyadulloh
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2007,
jumlah penduduk miskin di Jawa Timur adalah 7,13 juta orang atau 18,93 % dari
sekitar 37,65 juta total penduduk. Dibandingkan dengan tahun lalu, jumlah
penduduk miskin tahun ini mengalami penurunan sebesar 318.000 jiwa (4,26 %)
dari dari 7,45 juta jiwa (19,94 %) orang miskin 2006 lalu (Kompas Jatim,
7/8/2007). Dengan batas garis kemiskinan sebesar Rp 166.697 per kapita per
bulan, mayoritas warga miskin (4,57 juta/64,05 %) berada di wilayah pedesaan,
dan sisanya berdomisili di perkotaan.
Kemiskinan yang massif ini tentu harus mendapatkan
perhatian dari seluruh agama untuk bersama-sama menanggulanginya. Agama sebagai
sebuah sistem hidup tentu mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan persoalan
kemiskinan ini, dengan spirit yang terkandung dalam nash kitab sucinya. Ketika
agama mampu menafsirkan makna zaman ini, tentu ia akan tetap eksis dalam
percaturan dunia. Sebaliknya, jika agama tidak bersentuhan dengan problem
kemanusiaan, sangat mungkin agama akan dipinggirkan oleh perkembangan
industrialisasi dan globalisasi (Ernest Gellner: 1994).
Selama ini, kampanye antikemiskinan secara kultural
memang sudah sering dikumandangkan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat
(LSM). Namun harus diakui, LSM mempunyai keterbatasan yang membuatnya tidak
mampu mengadvokasi secara meluas dan merata. Kampanye yang dilakukannya
seringkali hanya menjadi konsumsi masyarakat menengah ke atas dan urban saja,
tanpa menyentuh kelas menengah ke bawah dan pedesaan. Padahal dari data
kemiskinan yang dilansir oleh BPS, terlihat jelas jika “penyakit” ini justru
bergulindang dengan warga pedesaan.
Dalam keterbatasan inilah, lembaga keagamaan bisa mengisi
ruang-ruang kosong yang ditinggalkan lembaga negara maupun LSM. Sebab, ormas
keagamaan memiliki kelebihan dalam bentuk jaringan dan umat yang luas, dengan
struktur dan aktivitasnya yang tersebar di hampir seluruh wilayah. Jika
kelebihan ini didayagunakan secara optimal dalam menyemaikan gagasan pentingnya
hidup kaya, maka pesan ini tentu akan bersifat lebih merata dan menyentuh
hampir seluruh lapisan masyarakat.
Di sinilah dibutuhkan komitmen dan tanggung jawab kaum
agamawan dalam membongkar dan melawan kemiskinan yang secara faktual menindas
bangsa ini. Bahwa religiusitas tidak sekedar mementingkan kesalehan dalam
ibadah ritual mahdlah saja, tetapi juga memiliki roh dan semangat
transformatif. Penafsiran agama yang berdasar prinsip manfaat dan tujuan sosial
yang meta-syari’ah adalah potensi agama untuk mengentaskan orang-orang yang
tidak beruntung dalam kehidupan. Dua premis itulah yang menjadi dasar dan
prinsip agama Islam dan perilaku umatnya dalam bingkai maqasid al-syari'ah.
Adalah keniscayaan bagi agama untuk menghadirkan sisi
religiusitasnya yang bercorak filantropis, dengan memunculkan kesadaran jika
kesejahteraan umum adalah tolak ukur utama kesalehan umat beragama. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, filantropi berarti cinta kasih atau pemberian sukarela
yang diberikan kepada oang lain dengan tujuan kemaslahatan sosial. Pada
umumnya, aktivitas filantropi ini termanifestasikan dalam bentuk pemberian
sumbangan sukarela, penyediaan layanan sukarela, dan asosiasi sukarela.
Potensi filantropi atau kedermewanan sosial di Jatim
sangatlah besar dan erat kaitannya dengan nilai-nilai tradisi keagamaannya.
Dalam Islam sebagai agama mayoritas, dana filantropi ini bisa ditemukan dalam
berbagai praktik ibadah sosial semacam zakat fitrah, zakat maal, infak, kurban,
shadaqah, hibah, dan lain sebagainya. Jika berbagai ibadah filantropis ini
dikelola dengan dasar prinsip manfaat dan tujuan sosial, sangat mungkin agama
mampu memecahkan problem kemiskinan.
Sebagai sebuah ilustrasi, zakat fitrah yang rutin
dilakukan umat Muslim Jatim dalam sekali Ramadan saja bisa mengumpulkan dana Rp
257,63 miliar. Kalkulasi ini didapat dari jumlah total Jatim (37,65 juta)
dikurangi penduduk miskin (7,13 juta), sehingga jumlah orang mampu adalah 30,53
juta. Jika umat Muslim Jatim adalah 90 %, maka orang yang tidak dikategorikan
miskin berjumlah 27,48 juta. Dengan asumi anak belum baligh sekitar 25 % (6,87
juta), maka orang mukallaf zakat adalah 20,61 juta. Jika setiap orang dikenakan
zakat 2,5 liter beras, dengan harga beras Rp 5.000/liter, maka dana yang bisa
dikumpulkan dalam sekali momen zakat fitrah adalah 20,61 juta jiwa x Rp.
12.500, atau Rp 257,63 miliar.
Nominal itu belum ditambah dengan zakat maal maupun
dana-dana ibadah sosial lainnya, yang tentunya akan semakin berlipat-lipat
jumlahnya. Dari sekian dana itu tentu banyak hal yang bisa dilakukan untuk
memecahkan berbagai problem kemiskinan yang massif di Jatim, baik untuk
memberdayakan orang miskin, membayar SPP anak yang terancam putus sekolahnya,
serta santunan-santunan lainnya yang tidak bersifat konsumtif. Justru kalau
dana tersebut dijadikan sebagai modal kerja yang dipinjamkan kepada yang
membutuhkan, maka ribuan orang bisa dipastikan akan terlepas dari kemiskinan
yang menderanya.
Dengan demikian, yang diperlukan untuk menyemaikan
religiusitas filantropis adalah rekonstruksi berbagai ibadah “sosial” yang
dikandung agama. Ibadah ini akan lebih fungsional jika distribusinya terformat
dalam materi primer yang dibutuhkan oleh kalangan miskin (mustadl’afien)
sebagai bentuk rasa kemanusiaan dan kebersamaan. Dana filantropis yang
terkumpul bisa saja tidak didistribusikan dalam bentuk “mentah”, tetapi
digunakan dalam kegiatan ekonomi produktif yang diperuntukkan bagi
mustahiq-nya, baik hasil maupun tenaga kerjanya.
Distribusi semacam ini dalam jangka panjang akan bisa
menjamin kehidupan dan kesejahteraan mereka di masa depan. Lebih dari itu, jika
program ekonomi ini berhasil, pada saatnya nanti mereka justru akan menjadi
kalangan yang diwajibkan mengeluarkan zakat maupun kurban. Untuk selanjutnya,
pengelolaan yang sama diterapkan atas “kewajiban” tersebut yang juga digunakan
untuk mengangkat kehidupan manusia lain yang masih menderita. Jika sirkulasi
ibadah-ibadah sosial bisa dikelola seperti ini secara jujur dan profesional,
harapan agama sebagai solusi untuk mengentaskan problema sosial benar-benar
bukan hanya retorika. Allah A’lam bi al-Shawab.
Sudah tentu untuk menghasilkan pemimpin yang mempunyai tanggung jawab ini bukanlah perkara yang mudah karena pembiakannya harus tumbuh dari dalam, bukan pengawasan eksternal. Adapun puasa adalah salah satu media yang disediakan Islam sebagai pelatihan yang efektif untuk menumbuhkan nilai-nilai kedisiplinan tersebut. Selamat berpuasa Ramadan 1428 H! span>