Menuju Kepemimpinan Amanah Lewat Puasa

Muhammad Kholid Asyadulloh

Sumber: Jawa Pos, 6 Januari 2007


Ahlan wa sahlan ya Ramadan, selamat datang bulan Ramadan 1428 H! Tepat pada tanggal 13 September 2007, umat Muslim di berbagai kawasan mulai melaksanakan ibadah tahunan, puasa selama satu bulan penuh. Jika tidak ada perubahan manual dalam perhelatan politik Jawa Timur, Ramadan tahun ini adalah yang terakhir kalinya menjelang pemilihan gubernur (Pilgub) Jatim 2008-2013. Umat Muslim baru akan bertemu dengan Ramadan 1429 H sekitar awal September 2008 mendatang, sedangkan Pilgub sudah dijadwalkan akan dilaksanakan pada 23Juli 2008.
Menjelang detik-detik pelaksanaan Pilgub inilah, maka puasa Ramadan bisa dikatakan sebagai salah satu pintu par excellent dalam menyeleksi pemimpin yang kredibel. Sebab, puasa adalah ritual yang mengajarkan setiap pelakunya untuk membiasakan berkata dan berlaku jujur, sebuah karakter yang mutlak menempel pada diri (calon) pemimpin. Berpuasa tidak berarti hanya menahan diri dari keinginan memenuhi berbagai kebutuhan biologis, tetapi sebagai sarana latihan terbaik dalam mengendalikan diri, bersabar, dan berkarakter jujur.
Tidak heran jika ulama sekaliber Ibnu Taimiyah menjuluki bulan Ramadan dengan bulan pendidikan dan latihan (al-syahru al-tarbiyah wa al- riyaadlah). Ramadan adalah “candradimuka” seorang muslim untuk menjadi berdisiplin, tunduk pada hukum, empati pada orang lain, istiqomah, dan pola hidup yang efektif. Selama satu bulan seorang Muslim dilatih untuk menegasikan berbagai nafsu yang bertentangan dengan sifat dasar keilahian untuk mencapai maqam sempurna (insan kamil), karakter manusia yang amanah, terpercaya, adil, dan bermanfaat bagi sesama.
Ditilik dari manifestasi lima rukun Islam secara keseluruhan, puasa adalah ibadah yang mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki oleh empat (M Dawam Rahardjo: 2003). Jika keempatnya adalah ibadah yang mengandung alibi dengan implementasinya yang membutuhkan berbagai gerakan tertentu yang dapat disaksikan oleh orang lain, maka puasa adalah sebaliknya. Dalam berpuasa, seseorang yang tidak jujur bisa saja diam-diam minum atau makan di saat sepi, bepergian ke tempat jauh, serta kondisi-kondisi lainnya. Ketika seseorang melanggar prosedur puasa, tidak ada orang lain yang mengetahuinya kecuali hanya dirinya sendiri dan Tuhan.
Karena itu, puasa adalah upaya tapak tilas dalam meneladani kejujuran Nabi Muhammad SAW yang mendapat julukan al-Amien, orang yang dipercaya atau terpercaya untuk memecahkan persoalan. Kepemimpinannya yang berdasar pada karakter jujur dicatat oleh sejarah sebagai lompatan besar yang mampu mengantarkan umatnya ke puncak peradaban dunia hingga berabad-abad lamanya. Bahkan, sejarah kehidupannya menjadi contoh dan teladan, sebagai bagian dari implikasi beragama yang mengasihi antarsesama, yang tidak membedakan etnis, agama, status, serta kategori sosial lainnya.
Dalam konteks Jatim kontemporer, “jujur” bisa dikatakan menjadi entitas yang sulit ditemukan dari para (calon) pemimpin. Bahkan di daerah ini, mencari orang yang bersalah, apalagi yang mengaku bersalah, lebih-lebih dari kalangan elite yang memiliki “pengaruh” dalam urusan politik, adalah perkara yang maha sulit. Meski secara kasat mata bisa dilihat banyaknya tindakan mereka yang melabrak kepatutan dan aturan, tetapi kesalahan adalah haram dialamatkan kepada kalangan mereka. Bagi kalangan “neo-ningrat” ini, argumen lebih penting daripada fakta, sehingga nilai kejujuran adalah entitas yang kurang dihargai.
Tidak sedikit elit negeri ini benar-benar telah terjangkiti penyakit kemunafikan yang luar biasa akut dengan kecanggihannya untuk berkilah, bersikap defensif, serta mengalihkan pokok persoalan. Kelebihan retorika yang dikuasainya justru digunakan sebagai senjata untuk membungkam kritisisme rakyat dalam semiotika yang palluatif. Mereka terlalu “pintar” untuk membalikkan sikap antipati rakyat menjadi simpati, dengan mengalihkan substansi persoalan dalam aksi “seakan-akan” untuk memarginalkan kebobrokan yang menjangkiti diri dan lembaganya.
Dalam konteks inilah, puasa Ramadan 1428 H bisa dijadikan “kontrak politik baru” antara masyarakat dengan politisi yang berhasrat memperebutkan kursi Gubernur Jatim 2008-2013. Berbeda dengan kontrak politik sosial lain yang biasanya dibuktikan dalam kertas, kontrak politik puasa ini hanya bisa dilihat dari amalan saja. Puasa Ramadan selama satu bulan ini menjadi arena pertunjukan bagi politisi untuk membiasakan bersifat amanah, yaitu nilai perekat antar-personal untuk mengembangkan kerja sama, pembentukan jaringan, organisasi, dan komunitas yang kuat.
Untuk melihat amanah atau tidaknya seorang (calon) pemimpin, hal ini bisa dilalui dengan melihat tiga indikator yang menjadi lawan dari amanah, yaitu munafik. Dalam sebuah Hadits muttafa ‘alaih, Nabi Muhammad SAW menjelaskan tiga ciri orang munafik, yaitu jika berkata bohong, berkhianat ketika diberi kepercayaan atau tanggung jawab, serta ingkar jika berjanji. Dengan demikian, karakter amanah dapat dibentuk oleh tiga sikap, yaitu berkata jujur dan benar, memenuhi kewajiban, serta menghormati dan memenuhi janji.
Adalah sangat tepat jika masyarakat Jatim menjadikan Ramadan kali ini sebagai ajang menyeleksi pemimpin Jatim 2008-2013, yang bisa dilihat dari konsistensinya dalam menjalankan puasa. Sebab, menjalani ritual puasa berarti bersikap progressif untuk membersihkan hati dari nafsu rendah dan nista (takhalli), menghiasi diri dengan perilaku yang luhur (tahalli), yang kemudian berpuncak pada ma’rifah yang mengandaikan pertemuan hati dan jiwa kepada Tuhan (tajalli). Sehingga dalam tindak-tanduk sosialnya, seseorang akan selalu merasakan adanya monitoring dari Tuhan (ihsan), yang digambarkan dengan seakan-akan melihat Tuhan, atau dilihat Tuhan secara face to face.
Kesuksesan puasa seorang (calon) pemimpin terlihat bukan pada amalan yang terlihat secara dzahir saja, tetapi lebih jauh lagi, seberapa jernih hati pelaku menjadi lebih jernih dalam memandang suatu persoalan (taqwa). Puasa adalah seleksi awal dan alamiah dalam upaya menghasilkan kepemimpinan yang berdasarkan pada hati nurani dalam bingkai budaya kebersalahan (guilt culture). Hati nurani merupakan prasyarat mutlak bagi eksisnya guilt culture, di mana perilaku seseorang senantiasa berpegang teguh pada nilai-nilai kemaslahatan (Bertens: 1996).
Sudah tentu untuk menghasilkan pemimpin yang mempunyai tanggung jawab ini bukanlah perkara yang mudah karena pembiakannya harus tumbuh dari dalam, bukan pengawasan eksternal. Adapun puasa adalah salah satu media yang disediakan Islam sebagai pelatihan yang efektif untuk menumbuhkan nilai-nilai kedisiplinan tersebut. Selamat berpuasa Ramadan 1428 H! span>