Mudik ke Kampung Rohani

Muhammad Kholid Asyadulloh
Pemred Majalah MATAN Surabaya
SINDO, 22 Agustus 2012


Memasuki akhir bulan Ramadan, masyarakat Indonesia dihadapkan dengan mobilitas massif yang bernama mudik. Nyaris tidak satupun media cetak dan elektronik yang melewatkan sajian liputan tentang tradisi bertandakan aktivitas masyarakat urban yang meninggalkan tempat kerja, usaha, rumah, atau kantornya menuju asal tempatnya dilahirkan dan dibesarkan. Boleh dikata bahwa zaman memang boleh berubah, tetapi gairah memelihara tradisi pulang kampung menjelang lebaran tetap kuat untuk dilakukan.
Kalkulasi rasio sulit mencari jawaban tentang urgensi mobilitas massal ini, terutama jika dikaitkan dengan segala resiko yang dihadapi dalam perjalanan. Segala halangan, rintangan, kepayahan perjalanan, maupun mahalnya ongkos yang harus dikeluarkan, bukanlah masalah yang membuat mereka enggan melakukan mudik. Padahal tidak sedikit pula di antara mereka yang bertemu dengan sanak familinya dalam hitungan beberapa jam saja, jauh lebih singkat dibandingkan waktu yang dihabiskan dalam perjalanan.
Satu hal yang jelas bagi pemudik, derita perjalanan panjang seakan-akan langsung hilang seiring pertemuannya dengan teman, famili, dan handai tolan di kampung. Mereka seperti mencapai puncak kebahagiaan dalam hidupnya saat dirinya bercengkrama dengan nilai-nilai tradisionalitas yang ada di kampung halamannya dalam suasana guyub dan kebersamaan. Para pemudik menyadari bahwa mereka mempunyai orang tua, teman, famili, dan lain-lainnya sebagai tempat untuk berkeluh dan bercerita, dan begitu juga sebaliknya.
Mudik menjadi siklus hidup yang menggambarkan kemampuan manusia untuk melintasi berbagai budaya, tanpa melupakan budayanya sendiri. Mereka yang hidup di daerah urban masih tetap mempunyai identitas etnisnya, walaupun dia telah hidup di daerah yang mempunyai sistem budaya berbeda tersebut selama bertahun-tahun. Betapapun seseorang telah lama berpisah dari akar tradisonalnya, dia tetap tidak mampu menanggalkan berbagai hal yang berkaitan yang asal muasalnya.
Hakikat mudik menjelaskan bahwa pemenuhan kebutuhan manusia harus mencakup dua dimensi sekaligus, yaitu spiritual dan material. Kebutuhan materiil harus dipenuhi dengan tercukupinya libidonomik seseorang dalam hal sandang, pangan, dan papan, sementara kebutuhan spiritual harus dipenuhi dengan kebahagian saat berkumpul dengan keluarga besar, handai taulan, dan teman sepermainan di masa kecil, selain tentunya kerinduan ketuhanan.
Dalam perspektif parennialisme, siklus mudik menggambarkan tentang kerinduan manusia akan keberadaan asal-muasal penciptaan. Manusia menyadari bahwa dirinya memang berasal dari dzat yang kekal (Tuhan), yang pastinya manusia juga akan kembali kepada-Nya. Seiring dengan datangnya lebaran sebagai puncak pengembalian kesucian diri, maka mudik merupakan cermin perjalanan manusia dalam memenuhi rindunya kepada sang Khaliq.
Mudik merupakan gambaran manusia yang merindukan spiritual di sela-sela kehidupan yang cenderung dibuai rayuan modernitas. Setelah disibukkan dengan pekerjaan, mencari nafkah, peruntungan, serta berbagai kegiatan lain yang menunjukkan adanya upaya memenuhi libidonomik, mudik menjadi pembebasan terhadap belenggu struktur ekonomi, budaya, dan politik yang menghalanginya untuk menemukan keaslian diri sebagai manusia.
Kearifan yang terkandung dalam mudik seharusnya mampu menumbuhkan hubungan-hubungan sosial yang lebih jernih. Makna kesucian dalam Idul Fitri bukanlah terletak dalam amalan yang terlihat secara dzahir, tetapi seberapa jernih hati seseorang dalam memilah dan memilih antara yang benar dan salah dalam garis demarkasi yang jelas. Aktualisasi manusia yang fitri tercermin dalam perilaku yang lebih memanusiakan orang lain, dengan meninggalkan berbagai tindakan culas dan merugikan orang lain.
Prosesi mudik adalah manifestasi dari perenungan dan penelusuran asal muasal diri yang dibarengi dengan kesadaran akan jati dirinya kemanusiaannya. Kampung halaman menyimpan berhampar makna simbolis bagi setiap orang yang hendak mencari dan menemukan kembali jejak-jejak awal sejarah dirinya. Mudik tidak ubahnya laku ziarah atas ruang dan waktu, kembali pada roh masa lalu demi menemukan kesadaran tentang kesejatian diri manusia yang hakikatnya terbebas dari segala kejahatan dan kekotoran.
Spiritualitas mudik mengingatkan bahwa keluhuran manusia dapat tergapai dengan mewujudkan nilai-nilai transenden dalam kehidupan sehari-hari. Mudik ke kampung rohani merupakan perjalanan spiritual agar pemudik kembali menimba semangat religiositasnya di arena sosial yang dikepung aneka kesulitan. Kebermaknaan manusia diukur dari seberapa dalam kemampuan dirinya melakukan olah rohani untuk berhubungan dengan Tuhannya secara vertikal, serta jalinan kasih yang harmonis dengan sesama manusia secara horisontal.
Yang harus mudik bukan semata bersifat jasad-biologis, tetapi juga memudikkan rohani ke asal sifatnya yang segar, jernih, dan manusiawi. Selama perjalanan menuju dan berdiam di kampung rohani adalah kesempatan untuk merenung dan meneguhkan komitmen keilahian bagi kemanusiaan universal. Sebuah momentum melakukan instropeksi terhadap pengalaman hidup yang telah dilaluinya, sembari menyemaikan ragam kearifan untuk bekal hidup periode setelahnya.
Makna mudik inilah yang sesungguhnya menjadi jalan pencerahan batin seseorang setelah menjalankan puasa satu bulan penuh. Tradisi mudik yang terkait dengan Idul Fitri adalah pulang ke kampung halaman rohani yang bersih dari berbagai cercaan. Kesucian ini selain terpancarkan secara individual dalam peningkatan ketaatan dalam menjalankan ritual keagamaan, juga harus tercermin dalam pergaulan sehari-hari dalam kepribadian yang selalu mengekspresikan keteduhan, kedamaian, dan kejernihan. Allah a’lam bi al-shawab.