Muhammad
Kholid Asyadulloh
Pemred Majalah MATAN Surabaya
Memasuki akhir
bulan Ramadan, masyarakat Indonesia dihadapkan dengan mobilitas massif yang
bernama mudik. Nyaris tidak satupun media cetak dan elektronik yang melewatkan
sajian liputan tentang tradisi bertandakan aktivitas masyarakat urban yang
meninggalkan tempat kerja, usaha, rumah, atau kantornya menuju asal tempatnya dilahirkan
dan dibesarkan. Boleh dikata bahwa zaman memang boleh berubah, tetapi gairah
memelihara tradisi pulang kampung menjelang lebaran tetap kuat untuk dilakukan.
Kalkulasi rasio
sulit mencari jawaban tentang urgensi mobilitas massal ini, terutama jika
dikaitkan dengan segala resiko yang dihadapi dalam perjalanan. Segala halangan,
rintangan, kepayahan perjalanan, maupun mahalnya ongkos yang harus dikeluarkan,
bukanlah masalah yang membuat mereka enggan melakukan mudik. Padahal tidak
sedikit pula di antara mereka yang bertemu dengan sanak familinya dalam
hitungan beberapa jam saja, jauh lebih singkat dibandingkan waktu yang
dihabiskan dalam perjalanan.
Satu hal yang jelas
bagi pemudik, derita perjalanan panjang seakan-akan langsung hilang seiring
pertemuannya dengan teman, famili, dan handai tolan di kampung. Mereka seperti
mencapai puncak kebahagiaan dalam hidupnya saat dirinya bercengkrama dengan
nilai-nilai tradisionalitas yang ada di kampung halamannya dalam suasana guyub
dan kebersamaan. Para pemudik menyadari bahwa mereka mempunyai orang tua,
teman, famili, dan lain-lainnya sebagai tempat untuk berkeluh dan bercerita,
dan begitu juga sebaliknya.
Mudik menjadi siklus
hidup yang menggambarkan kemampuan manusia untuk melintasi berbagai budaya,
tanpa melupakan budayanya sendiri. Mereka yang hidup di daerah urban masih
tetap mempunyai identitas etnisnya, walaupun dia telah hidup di daerah yang
mempunyai sistem budaya berbeda tersebut selama bertahun-tahun. Betapapun
seseorang telah lama berpisah dari akar tradisonalnya, dia tetap tidak mampu
menanggalkan berbagai hal yang berkaitan yang asal muasalnya.
Hakikat mudik
menjelaskan bahwa pemenuhan kebutuhan manusia harus mencakup dua dimensi
sekaligus, yaitu spiritual dan material. Kebutuhan materiil harus dipenuhi
dengan tercukupinya libidonomik seseorang dalam hal sandang, pangan, dan papan,
sementara kebutuhan spiritual harus dipenuhi dengan kebahagian saat berkumpul
dengan keluarga besar, handai taulan, dan teman sepermainan di masa kecil,
selain tentunya kerinduan ketuhanan.
Dalam perspektif
parennialisme, siklus mudik menggambarkan tentang kerinduan manusia akan
keberadaan asal-muasal penciptaan. Manusia menyadari bahwa dirinya memang
berasal dari dzat yang kekal (Tuhan), yang pastinya manusia juga akan kembali
kepada-Nya. Seiring dengan datangnya lebaran sebagai puncak pengembalian
kesucian diri, maka mudik merupakan cermin perjalanan manusia dalam memenuhi
rindunya kepada sang Khaliq.
Mudik merupakan
gambaran manusia yang merindukan spiritual di sela-sela kehidupan yang
cenderung dibuai rayuan modernitas. Setelah disibukkan dengan pekerjaan,
mencari nafkah, peruntungan, serta berbagai kegiatan lain yang menunjukkan adanya
upaya memenuhi libidonomik, mudik menjadi pembebasan terhadap belenggu struktur
ekonomi, budaya, dan politik yang menghalanginya untuk menemukan keaslian diri
sebagai manusia.
Kearifan yang
terkandung dalam mudik seharusnya mampu menumbuhkan hubungan-hubungan sosial
yang lebih jernih. Makna kesucian dalam Idul Fitri bukanlah terletak dalam
amalan yang terlihat secara dzahir, tetapi seberapa jernih hati seseorang dalam
memilah dan memilih antara yang benar dan salah dalam garis demarkasi yang
jelas. Aktualisasi manusia yang fitri tercermin dalam perilaku yang lebih
memanusiakan orang lain, dengan meninggalkan berbagai tindakan culas dan
merugikan orang lain.
Prosesi mudik
adalah manifestasi dari perenungan dan penelusuran asal muasal diri yang
dibarengi dengan kesadaran akan jati dirinya kemanusiaannya. Kampung halaman
menyimpan berhampar makna simbolis bagi setiap orang yang hendak mencari dan
menemukan kembali jejak-jejak awal sejarah dirinya. Mudik tidak ubahnya laku
ziarah atas ruang dan waktu, kembali pada roh masa lalu demi menemukan
kesadaran tentang kesejatian diri manusia yang hakikatnya terbebas dari segala
kejahatan dan kekotoran.
Spiritualitas
mudik mengingatkan bahwa keluhuran manusia dapat tergapai dengan mewujudkan
nilai-nilai transenden dalam kehidupan sehari-hari. Mudik ke kampung rohani
merupakan perjalanan spiritual agar pemudik kembali menimba semangat
religiositasnya di arena sosial yang dikepung aneka kesulitan. Kebermaknaan
manusia diukur dari seberapa dalam kemampuan dirinya melakukan olah rohani
untuk berhubungan dengan Tuhannya secara vertikal, serta jalinan kasih yang
harmonis dengan sesama manusia secara horisontal.
Yang harus mudik
bukan semata bersifat jasad-biologis, tetapi juga memudikkan rohani ke asal
sifatnya yang segar, jernih, dan manusiawi. Selama perjalanan menuju dan
berdiam di kampung rohani adalah kesempatan untuk merenung dan meneguhkan
komitmen keilahian bagi kemanusiaan universal. Sebuah momentum melakukan
instropeksi terhadap pengalaman hidup yang telah dilaluinya, sembari
menyemaikan ragam kearifan untuk bekal hidup periode setelahnya.
Makna mudik
inilah yang sesungguhnya menjadi jalan pencerahan batin seseorang setelah
menjalankan puasa satu bulan penuh. Tradisi mudik yang terkait dengan Idul
Fitri adalah pulang ke kampung halaman rohani yang bersih dari berbagai
cercaan. Kesucian ini selain terpancarkan secara individual dalam peningkatan
ketaatan dalam menjalankan ritual keagamaan, juga harus tercermin dalam
pergaulan sehari-hari dalam kepribadian yang selalu mengekspresikan
keteduhan, kedamaian, dan kejernihan. Allah a’lam bi al-shawab.