Muhammad Kholid Asyadulloh
Wakil Ketua PW Pemuda Muhammadiyah Jawa Timur; Mahasiswa Pascasarjana UIN
Sunan Ampel Surabaya
JAWA POS, 21 Agustus 2015
PADA 21 Agustus ini ribuan jamaah calon haji Indonesia secara bergelombang
mulai terbang menuju Tanah Suci Makkah. Sama halnya dengan peristiwa keagamaan
lain, haji mengandung makna simbolmetaforis yang merepresentasikan nilai
fundamental tentang pencerahan Islam.
Jamaah haji maupun yang
tidak hadir di Makkah punya kesempatan yang sama untuk menangkap makna
meta-syariah di balik ritual rukun Islam kelima itu. Salah satu
simbol-metaforis yang penting ditangkap adalah pengembangan keberagamaan yang
berkearifan lingkungan.
Keberagamaan
kosmosentris ini secara nyata diajarkan dalam manasik haji. Tidak hanya dalam
bentuk perintah dan larangan yang basabasi, tapi pelanggarnya juga dikenai
sanksi berupa denda (dam).
Para jamaah dilarang
berburu dan membunuh binatang darat, serta menebang, memotong, dan bahkan hanya
mencabut tanaman di Tanah Suci. Jika larangan tersebut diterabas, jamaah haji
harus membayar denda yang tidak ringan. Yaitu, menyembelih seekor kambing atau
memberi tebusan kepada fakir miskin yang nominalnya setara dengan harga satu
kambing. Atau, berpuasa selama 10 hari.
Secara filosofis,
larangan itu tentu tidak bisa dibatasi manasik haji, tetapi juga berlaku di
ruang dan waktu lainnya. Nilai ekosentrisme dalam pelaksanaan haji ini tentu
harus dimaknai sebagai proses pendidikan dan penanaman nilai kebajikan yang
diharapkan dijadikan gaya hidup saat kembali ke tanah air. Tidak boleh ada
perusakan lingkungan, bahkan menebang tanaman sekalipun, tanpa alasan yang
dibenarkan secara syar’i.
Pantangan ekologis dalam
haji ini mengajarkan bahwa penyelamatan lingkungan hidup merupakan masalah
prioritas yang sebanding dengan masalah akhirat, ritual, keimanan, moralitas
individual, dan lain-lain. Artinya, lingkungan adalah masalah yang sangat
fundamental dalam kehidupan masyarakat dan terbentang sebagai ayat kauniyah dan
risalah Tuhan yang paling dekat dengan manusia. Apalagi, Alquran secara tegas
menyatakan bahwa alam adalah roh kehidupan yang memberikan sumbangan atas nilai
kekhusyukan ibadah seseorang (QS. 2: 22).
Kerusakan lingkungan
merupakan salah satu isu yang sekarang menjadi perhatian masyarakat mondial,
selain tentunya menimbulkan kekhawatiran. Dampak yang paling nyata dari
kerusakan lingkungan adalah ekosistem alam menjadi limbung yang sekaligus
mengancam keberlangsungan hidup manusia dalam bentuk bencana alam.
Merujuk pada doktrin dan
tradisi Islam, menjaga lingkungan hidup sebenarnya ajaran yang sangat purba dan
fundamental. Dalam surah Albaqarah ayat 35–39, misalnya, diceritakan bahwa Nabi
Adam dan Hawa terlempar dari kenikmatan surga karena tidak mengindahkan
keseimbangan ekosistem. Keduanya tersingkir ke muka bumi hanya karena memakan
dan merusak buah kekekalan (khuld), pantangan yang sejak jauh hari dilarang
Tuhan.
Islam juga mengajarkan
bahwa ketidaksahabatan terhadap lingkungan terkategorikan sebagai al-fasad, perbuatan yang mengakibatkan kehancuran kemaslahatan dan kemanfaatan
hidup (QS. 2: 205, QS. 7: 56, dan QS. 25: 49). Sama halnya dengan makhluk Tuhan
yang lain, Islam menempatkan alam sebagai manifestasi kekuasaan Tuhan dan
tanda-tanda kekuasaanNya (QS. 2: 164, QS. 29: 14, dan QS. 41: 39, QS. 42: 29).
Islam juga mengajarkan
bahwa Allah SWT adalah rabbul ‘alamiin, Tuhan milik semesta alam, bukan Tuhan
milik manusia saja. Selain tercantum dalam surat Alfatihah ayat 2 yang minimal
dibaca 17 kali dalam sehari semalam, keeratan Tuhan dengan semesta alam ini
tercatat dalam 42 ayat lainnya.
Pembacaan berulang-ulang
ini mengajarkan bahwa setiap muslim harus mentransformasikan persaudaraan (ukhuwah)
kepada alam semesta, sebagai ’’saudara tua’’ sesama makhluk Tuhan. Ekoteologi
semacam itu perlu dilabuhkan sebagai dasar dan prinsip agama Islam dan perilaku
umatnya, yang kemudian dibingkai dalam term maqashid al-syari’ah.
Ketegasan agama
berkearifan lingkungan ini juga diperkuat dengan misi risalah Islam untuk
mewujudkan rahmatan lil’alamin dalam bentuk berkasih sayang terhadap semesta
alam (Ali Yafie: 2008). Pandangan holistis ini mencerminkan bahwa manusia
adalah bagian dari lingkungan yang eksistensi dan keselamatannya juga
bergantung keutuhan ekosistem tersebut.
Kearifan kosmosentris
juga diperlihatkan dalam historisitas praktik kenabian ketika menaklukkan
Makkah (Fath Makkah). Dalam peristiwa tersebut, Nabi Muhammad melarang tiga hal
kepada pasukannya, yaitu menyakiti perempuan dan anak-anak, melukai dan
membunuh lawan yang sudah menyerah atau tidak berdaya, serta menebang pohon dan
membunuh binatang.
Doktrin dan kesejarahan
Islam menunjukkan bahwa merusak lingkungan sekecil apa pun bentuknya adalah
perbuatan yang terlarang. Manusia memang diperintahkan memanfaatkan alam,
tetapi pada saat yang sama juga harus mempertahankan dan melindungi
kelestariannya. Tugas manusia sebagai khalifah (wakil Tuhan) tidak bebas
mengeksploitasi kekayaan alam, karena konsep khalifah ini disertai dengan tugas
sebagai hamba Tuhan (abdullah).
Tak heran jika Yusuf
Qardhawi (2001) menyatakan bahwa memelihara lingkungan sama halnya dengan
menjaga lima tujuan dasar Islam (maqashid al-syariah). Yaitu, menjaga al-diin
(agama), al-nasl (keturunan), al-maal (harta), al‘aql (akal), dan al-i’rdli (harga diri). Kelimanya adalah satu kesatuan yang tidak bisa terjawantahkan
secara bermartabat jika lingkungan dan alam semesta tidak mendukungnya.
Artinya, merusak alam tidak hanya mengganggu ekosistem, tapi lebih daripada itu
juga merusak agama.
Ritual tahunan haji selalu mengingatkan umat Islam
bahwa penyelamatan lingkungan adalah satu kesatuan dari misi beragama.
Kesalehan ekologis bisa diimplementasikan dalam aksi menanam pohon,
menggalakkan hidup bersih, hingga menolak segala macam kuasa dan kekuatan yang
merongrong kelestarian lingkungan. Semoga yang menunaikan haji maupun yang
belum bisa menangkap makna haji ekologis ini sekaligus menjadikannya sebagai
gaya hidup. Wallahu a’lam bis-shawab.