Muhammad Kholid
Asyadulloh
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PW Muhammadiyah Jawa Timur
Perbedaan kriteria
penetapan hilal atau bulan baru tampaknya masih menjadi momok bagi umat Islam Indonesia.
Kondisi ini terlihat dari dinamika Musyawarah Nasional Hisab Rukyat, yang
menyepakati pentingnya upaya mendekatkan pandangan dan metode yang bisa
disepakati bersama (Republika, 25/4). Meski kriteria hilal belum disepakati, anggota
musyawarah setuju membentuk tim kecil perumus kriteria.
Perbedaan biasanya
muncul ketika kondisi hilal secara teoritis berstatus “kritis”, di bawah dua
derajat. Merujuk pada tradisi Islam, sesungguhnya Nabi Muhammad saw telah
memberi “patokan” untuk verifikatornya, yaitu ayyamul bidl (hari-hari putih).
Menandai tiga hari ini, Rasul saw telah
memberi kriteria definitif, yaitu hari ke-13, 14, dan 15. Hal ini tertulis
dalam Sunan Nasa’i nomor 2377, 2379, 2380, 2381, 2382, 2383, 2384, 2385, 2386,
2387, 2388, 2389, dan 4237, Abu Daud (2093), Turmudzi (692), Ibnu Majah (1697),
Ahmad (19429, 19432, 20371, 20372, 20465, 20557), dan lainnya.
Ayyamul bidl adalah hari yang terang terus tanpa jeda gelap di
antara siang dan malam. Keadaan ini terjadi ketika matahari tenggelam di ufuk
barat, bulan telah berada di atas ufuk timur dalam kondisi bundar dan menerangi
bumi. Pada hari ke-16 dan 17, bulan memang juga masih tampak bundar. Namun,
pada tanggal 16 ke atas, bulan masih di bawah ufuk timur ketika matahari
tenggelam. Ada jeda gelap beberapa saat ketika siang diganti malam sehingga
tidak didefinisikan sebagai ayyamul bidl.
“Pengujian” hilal ke ayyamul
bidl dikarenakan dua metode yang lazim digunakan umat Islam: ru’yah dan
hisab dengan segala variannya, musykil didamaikan. Ketinggian hilal yang berada
pada kisaran 2 derajat, tidak memungkinkannya bisa dilihat dengan mata (ru’yah):
telanjang maupun teropong sehingga dianggap belum masuk bulan baru. Sementara bagi
yang berpedoman hisab (hakiki), ketinggian hilal tersebut dianggap sebagai penanda
bulan baru telah datang, tanpa terpengaruh sudah bisa diru’yah atau tidak.
Sudah banyak pihak yang
menyarankan agar metode ini mulai “berdamai”, yang salah satunya adalah melonggarkan
kriteria masing-masing. Bagi yang berpedoman ru’yah diminta untuk menurunkan
kriteria ketinggian hilal, sementara kalangan hisab juga diminta membuat
kriteria derajat ketinggian hilal. Pelonggaran kriteria keduanya diharapkan
akan membuat hilal bisa ditemukan dalam waktu yang bersamaan, sehingga perayaan
hari besar Islam bisa disambut bersamaan.
Namun, karena hilal
terkait erat dengan pelaksanaan ibadah mahdlah:
Puasa Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha, tentu tidak bisa disederhanakan
dengan melonggarkan masing-masing kriteria. Sebab, tidak mungkin seseorang yang
meyakini hari tertentu sudah jatuh pada 1 Syawal misalnya, lantas masih
melakukan puasa. Sebab, dalam dirinya sudah tertanam keyakinan bahwa hukum berpuasa
pada tanggal 1 Syawwal adalah haram. Begitu juga sebaliknya, tidak mungkin
seseorang dipaksa merayakan Idul Fitri jika dirinya masih berkeyakinan bahwa
hari itu diyakini belum masuk bulan Syawwal.
Sebagai upaya mencari
“kebenaran” hilal, tampaknya perlu dipikirkan tentang ujicoba berkelanjutan yang
menjadikan purnama sebagai patokannya. Berbeda dengan masalah melihat hilal
yang tampaknya tidak mungkin didamaikan, maka ayyamul bidl sebagai
validitas kemunculan hilal bisa dijadikan acuan bersama. Ayyamul bidl sangat
mudah dilihat dan dibedakan dengan mata telanjang sekalipun, dan pengujian ini
bisa dilakukan oleh orang awam.
Validitasi hilal
dengan patokan ayyamul bidl ini sudah tentu bukan berarti tidak
berpedoman pada ayat al-Qur’an maupun hadits Nabi. Selain Al-Qur’an surat Al-Insyiqaq
ayat 18 secara tersirat mengabarkan pentingnya umat Islam menjadikan purnama sebagai
salah satu bagian ayyamul bidl, Islam
juga mengistimewakannya dengan melakukan puasa sunnah. Mengetahui kapan
bumi selalu disinari matahari dan bulan selama 24 jam membuat siapapun
mengetahui tanggal 1 bulan Qomariyah, dengan cara menghitung ke belakang.
Sayangnya, dalam
urusan penentuan kalender hijriah, termasuk penentuan hilal, umat Islam
cenderung mengistimewakan ayat hilal. Sementara ayat tentang purnama dan hadits
ayyamul bidl cenderung dianaktirikan, bahkan dinafikan. Ayyamul bidl
bisa dikata sebagai gejala alam yang akan menguji pendapat kemunculan hilal
yang diperoleh melalui ru’yah maupun hisab. Sudah tentu kebenaran faktual ini
tidak cukup didapat dengan sekali-dua kali pengamatan, tetapi butuh
bertahun-tahun, dan harus dilakukan secara berterusan.
Artinya, tidak cukup
melihat hilal pada saat Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah, tetapi harus dilakukan
pengamatan pada setiap bulannya, dan tentunya harus melalui waktu
bertahun-tahun. Masing-masing pihak yang berpedoman hisab maupun ru’yah, harus
melakukan penghitungan atau pengamatan kedatangan hilal, serta mencocokkan
hasilnya dengan berpatokan pada ayyamul bidl. Lantas data keduanya disandingkan
dan diverifikasi, sehingga diperoleh berapa “ketinggian” hilal yang menjadi
penanda bulan baru telah masuk. Apakah angka nol memang menjadi penanda
fundamental atas eksistensi segala sesuatu atau angka lainnya.
Lebih daripada itu,
jika kemunculan hilal diumumkan setiap bulannya ke publik, masyarakat juga bisa
menjadi juri untuk menentukan metode mana yang valid. Yaitu dengan menetapkan hilal
dengan cara menghitung mundur seiring dengan kemunculan ayyamul bild yang
berlaku selama tiga hari berturut-turut. Bukankah cara ini lebih mencerdaskan
masyarakat karena mereka bisa berpartisipasi menentukan keabsahan waktu ibadahnya
sendiri? Allah a’lam bi al-shawab.