Validitasi Hilal dengan Ayyamul Bidl

Muhammad Kholid Asyadulloh
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PW Muhammadiyah Jawa Timur
Republika, 17 Mei 2012



Perbedaan kriteria penetapan hilal atau bulan baru tampaknya masih menjadi momok bagi umat Islam Indonesia. Kondisi ini terlihat dari dinamika Musyawarah Nasional Hisab Rukyat, yang menyepakati pentingnya upaya mendekatkan pandangan dan metode yang bisa disepakati bersama (Republika, 25/4). Meski kriteria hilal belum disepakati, anggota musyawarah setuju membentuk tim kecil perumus kriteria.
Perbedaan biasanya muncul ketika kondisi hilal secara teoritis berstatus “kritis”, di bawah dua derajat. Merujuk pada tradisi Islam, sesungguhnya Nabi Muhammad saw telah memberi “patokan” untuk verifikatornya, yaitu ayyamul bidl (hari-hari putih). Menandai tiga hari ini, Rasul saw telah memberi kriteria definitif, yaitu hari ke-13, 14, dan 15. Hal ini tertulis dalam Sunan Nasa’i nomor 2377, 2379, 2380, 2381, 2382, 2383, 2384, 2385, 2386, 2387, 2388, 2389, dan 4237, Abu Daud (2093), Turmudzi (692), Ibnu Majah (1697), Ahmad (19429, 19432, 20371, 20372, 20465, 20557), dan lainnya.
Ayyamul bidl adalah hari yang terang terus tanpa jeda gelap di antara siang dan malam. Keadaan ini terjadi ketika matahari tenggelam di ufuk barat, bulan telah berada di atas ufuk timur dalam kondisi bundar dan menerangi bumi. Pada hari ke-16 dan 17, bulan memang juga masih tampak bundar. Namun, pada tanggal 16 ke atas, bulan masih di bawah ufuk timur ketika matahari tenggelam. Ada jeda gelap beberapa saat ketika siang diganti malam sehingga tidak didefinisikan sebagai ayyamul bidl.
“Pengujian” hilal ke ayyamul bidl dikarenakan dua metode yang lazim digunakan umat Islam: ru’yah dan hisab dengan segala variannya, musykil didamaikan. Ketinggian hilal yang berada pada kisaran 2 derajat, tidak memungkinkannya bisa dilihat dengan mata (ru’yah): telanjang maupun teropong sehingga dianggap belum masuk bulan baru. Sementara bagi yang berpedoman hisab (hakiki), ketinggian hilal tersebut dianggap sebagai penanda bulan baru telah datang, tanpa terpengaruh sudah bisa diru’yah atau tidak.
Sudah banyak pihak yang menyarankan agar metode ini mulai “berdamai”, yang salah satunya adalah melonggarkan kriteria masing-masing. Bagi yang berpedoman ru’yah diminta untuk menurunkan kriteria ketinggian hilal, sementara kalangan hisab juga diminta membuat kriteria derajat ketinggian hilal. Pelonggaran kriteria keduanya diharapkan akan membuat hilal bisa ditemukan dalam waktu yang bersamaan, sehingga perayaan hari besar Islam bisa disambut bersamaan.
Namun, karena hilal terkait erat dengan pelaksanaan ibadah mahdlah: Puasa Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha, tentu tidak bisa disederhanakan dengan melonggarkan masing-masing kriteria. Sebab, tidak mungkin seseorang yang meyakini hari tertentu sudah jatuh pada 1 Syawal misalnya, lantas masih melakukan puasa. Sebab, dalam dirinya sudah tertanam keyakinan bahwa hukum berpuasa pada tanggal 1 Syawwal adalah haram. Begitu juga sebaliknya, tidak mungkin seseorang dipaksa merayakan Idul Fitri jika dirinya masih berkeyakinan bahwa hari itu diyakini belum masuk bulan Syawwal.
Sebagai upaya mencari “kebenaran” hilal, tampaknya perlu dipikirkan tentang ujicoba berkelanjutan yang menjadikan purnama sebagai patokannya. Berbeda dengan masalah melihat hilal yang tampaknya tidak mungkin didamaikan, maka ayyamul bidl sebagai validitas kemunculan hilal bisa dijadikan acuan bersama. Ayyamul bidl sangat mudah dilihat dan dibedakan dengan mata telanjang sekalipun, dan pengujian ini bisa dilakukan oleh orang awam.
Validitasi hilal dengan patokan ayyamul bidl ini sudah tentu bukan berarti tidak berpedoman pada ayat al-Qur’an maupun hadits Nabi. Selain Al-Qur’an surat Al-Insyiqaq ayat 18 secara tersirat mengabarkan pentingnya umat Islam menjadikan purnama sebagai salah satu bagian ayyamul bidl, Islam juga mengistimewakannya dengan melakukan puasa sunnah. Mengetahui kapan bumi selalu disinari matahari dan bulan selama 24 jam membuat siapapun mengetahui tanggal 1 bulan Qomariyah, dengan cara menghitung ke belakang.
Sayangnya, dalam urusan penentuan kalender hijriah, termasuk penentuan hilal, umat Islam cenderung mengistimewakan ayat hilal. Sementara ayat tentang purnama dan hadits ayyamul bidl cenderung dianaktirikan, bahkan dinafikan. Ayyamul bidl bisa dikata sebagai gejala alam yang akan menguji pendapat kemunculan hilal yang diperoleh melalui ru’yah maupun hisab. Sudah tentu kebenaran faktual ini tidak cukup didapat dengan sekali-dua kali pengamatan, tetapi butuh bertahun-tahun, dan harus dilakukan secara berterusan.
Artinya, tidak cukup melihat hilal pada saat Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah, tetapi harus dilakukan pengamatan pada setiap bulannya, dan tentunya harus melalui waktu bertahun-tahun. Masing-masing pihak yang berpedoman hisab maupun ru’yah, harus melakukan penghitungan atau pengamatan kedatangan hilal, serta mencocokkan hasilnya dengan berpatokan pada ayyamul bidl. Lantas data keduanya disandingkan dan diverifikasi, sehingga diperoleh berapa “ketinggian” hilal yang menjadi penanda bulan baru telah masuk. Apakah angka nol memang menjadi penanda fundamental atas eksistensi segala sesuatu atau angka lainnya.
Lebih daripada itu, jika kemunculan hilal diumumkan setiap bulannya ke publik, masyarakat juga bisa menjadi juri untuk menentukan metode mana yang valid. Yaitu dengan menetapkan hilal dengan cara menghitung mundur seiring dengan kemunculan ayyamul bild yang berlaku selama tiga hari berturut-turut. Bukankah cara ini lebih mencerdaskan masyarakat karena mereka bisa berpartisipasi menentukan keabsahan waktu ibadahnya sendiri? Allah a’lam bi al-shawab.