Muhammad Kholid Asyadulloh
Peneliti dan Alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya
Pada tanggal 17 Juli
2012 ini, salah satu pejuang Indonesia, Moh. Natsir, jika masih hidup memasuki usia ke-104
tahun. Tokoh yang identik dengan kesejarahan Partai Masyumi dan Dewan Dakwah
Islam Indonesia ini pernah tercatat sebagai pejabat publik dapat mewariskan
nilai-nilai demokrasi dan meritokrasi. Keberadaannya dalam pemerintahan selalu
menjadi mercusuar moralitas, patriotisme dan nasionalisme yang diabadikan
sejarah Indonesia.
Setelah lama
berpulang, 6 Februari 1993, ada sebuah kerinduan yang mendalam akan hadirnya
(reinkarnasi) sosok pemilik nama lengkap Mohammad Natsir Datuk Sinaro Panjang
itu. Ekspektasi semacam itu sangat beralasan
karena panggung politik kontemporer dipenuhi dengan ragam perilaku yang melukai
rasa keadilan rakyat. Model kepemimpinan yang menunjukkan kesungguhan memikul
tanggung jawab masih belum teruji secara materiil di hadapan rakyat, kecuali
hanya dalam tebaran pesona.
Dalam dunia perpolitikan Indonesia, Natsir
menjadi pengecualian dari adagium kekuasaan “No one will relinquish his
power voluntarily”, tak seorang pun yang mau menyerahkan kekuasaannya
dengan sukarela. Mengundurkan dari jabatan Menteri Penerangan dan Perdana
Menteri tidak membuat sosok yang dikenal sebagai pencetus lahirnya NKRI lewat
“mosi integral” ini menyesali diri. Selain pernah mundur dari jabatan Perdana
Menteri pada tahun1951, atas nama moralitas publik pula dia juga pernah enggan
ditunjuk sebagai Menteri Penerangan dua tahun sebelumnya.
Dalam peringatan
ulang tahunnya ke-70 yang diselenggarakan pada tahun 1979 lalu, Natsir
membeberkan sisi lain alasan pengunduran dirinya sebagai Perdana Menteri
pertama setelah Indonesia kembali menjadi NKRI.
Sebenarnya, lanjut Natsir, dirinya bisa saja meneruskan jabatannya
karena memang tidak ada mosi tidak percaya sebagai penyebab jatuhnya
pemerintahan parlementer. Yang menjadi pokok persoalan adalah sikap pihak
oposan yang memboikot berbagai sidang parlemen sambil menunjukkan sikap-sikap
politik yang sama sekali tidak etis.
Berangkat dari sikap
oposisi yang digambarkan oleh Natsir “bagaikan main tenis tanpa net” inilah
yang mendorongnya mengembalikan mandate Perdana Menteri. Ketua Umum Partai Masyumi pada tahun 1949,
1951, 1952, 1954, dan 1956 ini ingin meletakkan dasar-dasar moral bagi
pemerintahan yang demokratis. Karena itu, sosok yang dianugerahi sebagai
Pahlawan Nasional pada 2008 ini memutuskan mundur untuk mengakhiri suhu politik
yang memanas.
Dalam konteks
kekinian, teladan moralitas politik Natsir tersebut ibarat sebuah legenda di
alam nyata. Mengundurkan diri secara sukarela dari jabatan politik karena
“gagal” mengemban amanat sangatlah sulit dicarikan pembenaran. Tampaknya
“budaya malu” yang dulu begitu identik dengan bangsa ini sudah benar-benar
luntur dimakan perjalanan zaman dengan putusnya berbagai saraf yang
menghubungkan ke rasa malu. Budaya malu yang sebenarnya adalah citra mulia dari
istiadat yang terjaga dalam adab dan akhlak, kini mulai di/terabaikan oleh para
penguasa.
Padahal sama halnya
dengan bangsa lain, bangsa Indonesia juga sangat merindukan para legendaris
yang mau secara sukarela mundur terhormat jika gagal mengemban amanat rakyat.
Mundur karena ketidakmampuan atau kegagalan menjalankan tugas bukanlah
perbuatan yang nista, tetapi sebuah kehormatan. Adalah sebuah kehormatan jika seorang
pejabat secara suka rela mundur dari jabatannya, karena memang terbukti tidak
becus dalam mengatur sirkulasi di negeri ini.
Moralitas politik
yang tidak kalah elok yang diteladankan Natsir juga tergambar dari sikap
asketisnya. Sebagai pejabat publik, Natsir juga
dikenal amat konsisten dan persisten (tegas) dalam memisahkan urusan dinas dan
keluarga. Dia tidak ingin dana publik yang menjadi sumber pembiayaan
urusan-urusan dinasnya ikut terpakai untuk urusan pribadi dan keluarga.
Anak-anaknya tetap naik sepeda angin (onthel) saat pergi ke
sekolah, atau antar jemput dengan mobil
rombeng DeSoto yang dibeli dari saku sendiri.
Tidak beda dengan
pejabat kekinian, Natsir sebagai Perdana Menteri juga mendapat fasilitas mobil
dinas. Yang membedakan adalah waktu dan peruntukan penggunaan fasilitas
tersebut, terbatas sejak pukul 7 pagi sampai 5 sore. Layaknya khalifah Umar bin
Abdul Azis, fasilitas itupun benar-benar digunakan untuk mengurus negara, tanpa
sekalipun digunakan untuk kepentingan pribadi, keluarga, maupun kelompoknya.
Sehingga tidak jarang jika mobil dinasnya itu kerap terparkir di kantor Istana
Presiden, sementara dia pulang ke rumah dibonceng sepeda oleh sopirnya. Itu
pula yang dilakukannya saat dia meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri pada
Maret 1951.
Cerita kesederhanaan
Natsir ini dicatat baik oleh George McTurnan Kahin, Indonesianis asal Amerika
yang bersimpati pada perjuangan bangsa Indonesia. Dalam pertemuannya yang
pertama dengan Natsir sebagai Menteri Penerangan, memang banyak hal yang
dibicarakan terkait kondisi Indonesia terbaru. Namun yang membuat Kahin
betul-betul tak bisa lupa adalah penampilan sang Menteri, berpakaian paling
camping (mended) di antara semua pejabat di Yogyakarta. Barulah beberapa
minggu kemudian staf di kantornya berpatungan membelikan sehelai baju yang
lebih pantas untuknya agar terlihat seperti “menteri betulan”.
Sikap asketis Natsir
itu tentu tidak hanya dilandasi oleh watak demokratis dan problem solver
yang tinggi sebagaimana yang pernah disebut Indonesianis Herbert Feith,
melainkan juga pantulan sikap religiusnya yang tinggi memaknai sebuah jabatan.
Jabatan adalah amanah, bukan sekedar retorika atau bumbu-bumbu menggamit
suara. Menjadi pejabat bukanlah rahmat untuk
dilayani, dihormati dan kesempatan mengeruk keuntungan materi, dengan
mempraktikkan sikap adigang adigung adiguna dan perlente.
Kejujuran
dan kesederhaan Natsir sebagai pejabat publik memang rasanya bagaikan mimpi
yang anakronistik, terletak di zaman yang salah. Sebuah mimpi yang sepertinya
tidak realistis karena muncul di tengah-tengah ambisi menumpuk pundi-pundi tak
kunjung henti dan semangat aji
mumpung yang menghinggapi sebagian besar pejabat publik Indonesia. Natsir
mewariskan teladan bagi generasi
bangsa kekinian bahwa bertahan dengan sikap yang bersih, konsisten, dan
bersahaja itu bukan mustahil, meskipun penuh tantangan dan godaan.