Muhammad Kholid Asyadulloh
Tanggal 23 Agustus 2007, tampaknya menjadi hari yang
bersejarah bagi para koruptor yang saat ini sedang diusut kejaksaan. Marwan
Effendy, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim yang selama ini dikenal getol
memburu para koruptor, secara resmi menyerahkan jabatannya kepada Purwosudiro
(Jawa Pos Metropolis, 24/08/2007). Pergantian ini secara otomatis menjadi
“angin segar” bagi para koruptor untuk melepaskan ketegangan sejenak, sambil meraba-raba
karakter dan menunggu kiprah pejabat baru tersebut.
Bagi mayoritas masyarakat Jatim, pergantian ini tentu
diharapkan bukan menjadi serial akhir dari perjalanan jihad kejaksaan melawan
koruptor. Sebab, korupsi telah menjadi “drakula” penghisap uang dan kekayaan
rakyat yang menghancurkan cita-cita kesejahteraan seluruh warga negara. Hak
mendapatkan pendapatan yang layak, kesehatan yang memadai, pendidikan yang
mumpuni, serta hak-hak lain yang seharusnya condong ke masyarakat justru
dirampas oleh para koruptor. Ulah para koruptor membuat pilar-pilar kehidupan
berbangsa menjadi terporak-porandakan, sehingga bangsa ini terpuruk ke lembah
kehinaan yang hampir sempurna.
Dalam faktanya, Jatim adalah salah satu provinsi yang
“basah” bagi para pencuri berdasi untuk bermetamorfosis menjadi “kucing
garong”. Dalam laporan Indonesian Corruption Watch (ICW) per 24 Januari 2007,
Jatim didaulat sebagai juara ketiga provinsi terkorup edisi 2006. Berdasar data
korupsi yang terungkap, baik kecil maupun besar, yang dilaporkan oleh media
massa dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), “prestasi” 10 kasus korupsi di
Jatim hanya “dikalahkan” oleh Jawa Barat yang mencatat 18 kasus dan Jawa Tengah
dengan 17 kasus.
Prestasi Jatim lalu itu sangat mungkin akan berubah
secara drastis seiring dengan perjalanan tahun 2007 ini. Sebab, sejak Marwan
Effendy menjabat sebagai Kejati November tahun lalu, dia sukses menggelandang
sejumlah koruptor kelas kakap ke meja pengadilan. Dalam jangka waktu yang
“hanya” sekitar 9 bulan, kepemimpinannya berhasil mengukir prestasi besar dalam
mengungkap kasus korupsi sejumlah 19, dengan 56 tersangka. Termasuk di
antaranya adalah “tokoh” besar semacam Bupati Magetan Saleh Mulyono, Mantan
Bupati Banyuwangi Samsul Hadi, serta Mantan Bupati Jember Samsul Hadi Siswoyo.
Adapun berbagai kasus korupsi yang berhasil diungkap di
antaranya adalah korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Blitar
Rp 68 miliar, korupsi pembelian kapal Rp 15 miliar Banyuwangi, korupsi kas
Daerah Jember Rp 18,5 miliar, korupsi APBD Nganjuk Rp 1,3 miliar, korupsi
pembangunan Gedung Olah Raga (GOR) KI Mageti Magetan Rp 3,5 miliar, korupsi
dana bantuan partai politik (banpol) Surabaya Rp 1,2 miliar, dan lain-lain.
Selain itu, kejaksaan juga sedang menyidik 5 kasus dugaan korupsi, yaitu dana
pengungsi Sampang, korupsi Bank Perkreditan Rakyat Sejahtera (BPRS) Bhakti
Sumekar Sumenep, proyek kelistrikan daerah Kantor Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) Sumenep, serta proyek Pasar Induk Agrobis (PIA) Jemundo
Sidoarjo.
Bahkan, dalam “acara” perpisahan dengan staf Kajaksaan
Jatim, Marwan Effendy secara terang-terangan mengungkapkan “ambisinya” yang
belum terpenuhi semasa bertugas sebagai Kejati Jatim. Lelaki kelahiran kota
Lubuklinggau, Sumatera Selatan, 13 Agustus 1953 ini, ternyata mengidamkan untuk
mengusut berbagai perkara megaproyek yang bernilai ratusan miliar. Kandidat
calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini masih kecewa dengan
kinerjanya yang hanya mampu menangani berbagai korupsi yang nilainya masih
puluhan miliar (Jawa Pos Metropolis, 25/08/2007).
Terlepas dari “kegagalan” yang dibatasi waktu ini, Marwan
Effendy adalah Kejati yang membuat sebagian pejabat di Jatim yang tidak “lurus”
dihantui rasa cemas. Apalagi penulis buku Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya
Dari Perspektif Hukum ini membuat keputusan penting yang melarang seluruh
pejabat Kejari menerima dana koordinasi Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida)
dari bupati/ wali kota yang menjadi haknya. Larangan ini dimaksudkan sebagai
upaya agar seorang jaksa menjadi mandiri, sehingga akan leluasa menyidik kasus
korupsi yang dilakukan pejabat pemerintah tanpa “rikuh”.
Untuk membuktikan atensi besarnya terhadap pemberantasan
korupsi, Marwan juga mengganti para Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) yang
dinilai “kurang” optimal dalam membongkar kasus korupsi. Hingga akhir Juli 2007
lalu, Kajati telah mengganti 25 dari 36 Kajari yang ada di Jatim. Sudah tentu
tujuan dari pergantian ini adalah untuk menyegarkan semangat kejari-kejari di
daerah. Sebab, salah satu hambatan penegakan hukum, termasuk korupsi, adalah
pejabat-pejabatnya terlalu lama bertugas di daerah dan sudah saling kenal
dengan pejabat yang sama-sama duduk dalam Muspida. Akibatnya, ketika ada
pejabat yang tersangkut masalah korupsi, tidak sedikit yang sungkan dan “ewuh
pakewuh” untuk memeriksa koleganya tersebut (Jawa Pos Metropolis, 23/07/2007)
Tidak heran jika sikap tanpa kompromi Marwan kepada
(calon) tersangka korupsi, termasuk pejabat aktif, berbuah pada berbagai teror.
Contoh mudahnya adalah tuduhan plagiat disertasinya di saat kejaksaan sedang
membidik dugaan korupsi bantuan partai politik Kota Surabaya. Disertasi Marwan
Effendy tentang Kedudukan dan Fungsi Kejaksaan Republik Indonesia yang dibuat
pada 2004, dituduh sebagai hasil plagiat dari disertasi Untung S Radjab, yang
juga sama-sama menyelesaikan program Doktor di Universitas Padjajaran, Bandung.
Sayangnya, berbagai cerita kepahlawanan Marwan Effendy
dalam menyelamatkan uang rakyat Jatim dari jarahan para koruptor harus berakhir
seiring dengan penunjukannya sebagai Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan
Kejaksaan Agung (Pusdiklat Kejagung). Secara yuridis, kewenangan kebijakan
Kejati sudah beralih ke Purwosudiro yang sebelumnya menjabat sebagai Kejati
Sulawesi Tenggara. Tetapi satu yang pasti, masyarakat Jatim tidak ingin melihat
para koruptor di provinsi yang terkenal religius ini bersorak dengan suka cita
ketika Marwan meninggalkan Jatim.
Melihat besarnya dukungan kepada Marwan selama menjabat
sebagai Kajati Jatim, tentu sangat diharapkan Purwosudiro meniru jejak
pendahulunya tersebut sebagai pendekar hukum yang tidak kenal kompromi. Bahkan,
mantan Kejati Sulawesi Tenggara dituntut memiliki keberanian yang luar biasa
dalam mengungkap berbagai kasus korupsi megaproyek yang sudah dirintis
pendahulunya, ataupun yang belum tersentuh sama sekali. Selain untuk mengobati
kerinduan masyarakat terhadap penegakan hukum, gebrakan pemberantasan korupsi
adalah langkah untuk memperbaiki citra kejaksaan yang sempat terpuruk karena
tidak memiliki daya tawar.
Selamat jalan Pak Marwan, selamat datang di medan perang
Pak Purwosudiro!