(Bukan) Momen Koruptor Jatim Bersorak

Muhammad Kholid Asyadulloh

Sumber: Jawa Pos, 28 Agustus 2007


Tanggal 23 Agustus 2007, tampaknya menjadi hari yang bersejarah bagi para koruptor yang saat ini sedang diusut kejaksaan. Marwan Effendy, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim yang selama ini dikenal getol memburu para koruptor, secara resmi menyerahkan jabatannya kepada Purwosudiro (Jawa Pos Metropolis, 24/08/2007). Pergantian ini secara otomatis menjadi “angin segar” bagi para koruptor untuk melepaskan ketegangan sejenak, sambil meraba-raba karakter dan menunggu kiprah pejabat baru tersebut.
Bagi mayoritas masyarakat Jatim, pergantian ini tentu diharapkan bukan menjadi serial akhir dari perjalanan jihad kejaksaan melawan koruptor. Sebab, korupsi telah menjadi “drakula” penghisap uang dan kekayaan rakyat yang menghancurkan cita-cita kesejahteraan seluruh warga negara. Hak mendapatkan pendapatan yang layak, kesehatan yang memadai, pendidikan yang mumpuni, serta hak-hak lain yang seharusnya condong ke masyarakat justru dirampas oleh para koruptor. Ulah para koruptor membuat pilar-pilar kehidupan berbangsa menjadi terporak-porandakan, sehingga bangsa ini terpuruk ke lembah kehinaan yang hampir sempurna.
Dalam faktanya, Jatim adalah salah satu provinsi yang “basah” bagi para pencuri berdasi untuk bermetamorfosis menjadi “kucing garong”. Dalam laporan Indonesian Corruption Watch (ICW) per 24 Januari 2007, Jatim didaulat sebagai juara ketiga provinsi terkorup edisi 2006. Berdasar data korupsi yang terungkap, baik kecil maupun besar, yang dilaporkan oleh media massa dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), “prestasi” 10 kasus korupsi di Jatim hanya “dikalahkan” oleh Jawa Barat yang mencatat 18 kasus dan Jawa Tengah dengan 17 kasus.
Prestasi Jatim lalu itu sangat mungkin akan berubah secara drastis seiring dengan perjalanan tahun 2007 ini. Sebab, sejak Marwan Effendy menjabat sebagai Kejati November tahun lalu, dia sukses menggelandang sejumlah koruptor kelas kakap ke meja pengadilan. Dalam jangka waktu yang “hanya” sekitar 9 bulan, kepemimpinannya berhasil mengukir prestasi besar dalam mengungkap kasus korupsi sejumlah 19, dengan 56 tersangka. Termasuk di antaranya adalah “tokoh” besar semacam Bupati Magetan Saleh Mulyono, Mantan Bupati Banyuwangi Samsul Hadi, serta Mantan Bupati Jember Samsul Hadi Siswoyo.
Adapun berbagai kasus korupsi yang berhasil diungkap di antaranya adalah korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Blitar Rp 68 miliar, korupsi pembelian kapal Rp 15 miliar Banyuwangi, korupsi kas Daerah Jember Rp 18,5 miliar, korupsi APBD Nganjuk Rp 1,3 miliar, korupsi pembangunan Gedung Olah Raga (GOR) KI Mageti Magetan Rp 3,5 miliar, korupsi dana bantuan partai politik (banpol) Surabaya Rp 1,2 miliar, dan lain-lain. Selain itu, kejaksaan juga sedang menyidik 5 kasus dugaan korupsi, yaitu dana pengungsi Sampang, korupsi Bank Perkreditan Rakyat Sejahtera (BPRS) Bhakti Sumekar Sumenep, proyek kelistrikan daerah Kantor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumenep, serta proyek Pasar Induk Agrobis (PIA) Jemundo Sidoarjo.
Bahkan, dalam “acara” perpisahan dengan staf Kajaksaan Jatim, Marwan Effendy secara terang-terangan mengungkapkan “ambisinya” yang belum terpenuhi semasa bertugas sebagai Kejati Jatim. Lelaki kelahiran kota Lubuklinggau, Sumatera Selatan, 13 Agustus 1953 ini, ternyata mengidamkan untuk mengusut berbagai perkara megaproyek yang bernilai ratusan miliar. Kandidat calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini masih kecewa dengan kinerjanya yang hanya mampu menangani berbagai korupsi yang nilainya masih puluhan miliar (Jawa Pos Metropolis, 25/08/2007).
Terlepas dari “kegagalan” yang dibatasi waktu ini, Marwan Effendy adalah Kejati yang membuat sebagian pejabat di Jatim yang tidak “lurus” dihantui rasa cemas. Apalagi penulis buku Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum ini membuat keputusan penting yang melarang seluruh pejabat Kejari menerima dana koordinasi Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) dari bupati/ wali kota yang menjadi haknya. Larangan ini dimaksudkan sebagai upaya agar seorang jaksa menjadi mandiri, sehingga akan leluasa menyidik kasus korupsi yang dilakukan pejabat pemerintah tanpa “rikuh”.
Untuk membuktikan atensi besarnya terhadap pemberantasan korupsi, Marwan juga mengganti para Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) yang dinilai “kurang” optimal dalam membongkar kasus korupsi. Hingga akhir Juli 2007 lalu, Kajati telah mengganti 25 dari 36 Kajari yang ada di Jatim. Sudah tentu tujuan dari pergantian ini adalah untuk menyegarkan semangat kejari-kejari di daerah. Sebab, salah satu hambatan penegakan hukum, termasuk korupsi, adalah pejabat-pejabatnya terlalu lama bertugas di daerah dan sudah saling kenal dengan pejabat yang sama-sama duduk dalam Muspida. Akibatnya, ketika ada pejabat yang tersangkut masalah korupsi, tidak sedikit yang sungkan dan “ewuh pakewuh” untuk memeriksa koleganya tersebut (Jawa Pos Metropolis, 23/07/2007)
Tidak heran jika sikap tanpa kompromi Marwan kepada (calon) tersangka korupsi, termasuk pejabat aktif, berbuah pada berbagai teror. Contoh mudahnya adalah tuduhan plagiat disertasinya di saat kejaksaan sedang membidik dugaan korupsi bantuan partai politik Kota Surabaya. Disertasi Marwan Effendy tentang Kedudukan dan Fungsi Kejaksaan Republik Indonesia yang dibuat pada 2004, dituduh sebagai hasil plagiat dari disertasi Untung S Radjab, yang juga sama-sama menyelesaikan program Doktor di Universitas Padjajaran, Bandung.
Sayangnya, berbagai cerita kepahlawanan Marwan Effendy dalam menyelamatkan uang rakyat Jatim dari jarahan para koruptor harus berakhir seiring dengan penunjukannya sebagai Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan Kejaksaan Agung (Pusdiklat Kejagung). Secara yuridis, kewenangan kebijakan Kejati sudah beralih ke Purwosudiro yang sebelumnya menjabat sebagai Kejati Sulawesi Tenggara. Tetapi satu yang pasti, masyarakat Jatim tidak ingin melihat para koruptor di provinsi yang terkenal religius ini bersorak dengan suka cita ketika Marwan meninggalkan Jatim.
Melihat besarnya dukungan kepada Marwan selama menjabat sebagai Kajati Jatim, tentu sangat diharapkan Purwosudiro meniru jejak pendahulunya tersebut sebagai pendekar hukum yang tidak kenal kompromi. Bahkan, mantan Kejati Sulawesi Tenggara dituntut memiliki keberanian yang luar biasa dalam mengungkap berbagai kasus korupsi megaproyek yang sudah dirintis pendahulunya, ataupun yang belum tersentuh sama sekali. Selain untuk mengobati kerinduan masyarakat terhadap penegakan hukum, gebrakan pemberantasan korupsi adalah langkah untuk memperbaiki citra kejaksaan yang sempat terpuruk karena tidak memiliki daya tawar.
Selamat jalan Pak Marwan, selamat datang di medan perang Pak Purwosudiro!