Muhammad
Kholid Asyadulloh
Pada 12 Rabiul Awal 1433 H, bertepatan 5 Februari 2012 ini, umat
Islam Indonesia memperingati hari lahir (maulid) Nabi Muhammad saw. Muhammad
bukan saja teladan (uswah hasanah) dalam masalah rohani, tetapi juga
contoh ideal tentang pemimpin dalam segala bidang. Maulid adalah penyegaran
bagi masyarakat muslim untuk mengenang dan membumikan pesan-pesan profetiknya, terutama
nilai egalitarianisme, kebebasan, dan keadilan.
Dalam konteks kehidupan Indonesia kontemporer, sungguh tepat jika
Maulid Nabi ini dijadikan refleksi untuk mengenang dan membumikan pesan Nabi
dalam menegakkan hukum yang berkeadilan. Sebab, kondisi kehukuman Indonesia
menjadi semacam permainan, yang oleh para operatornya diberlakukan sesuai daya
tawar masing-masing kasus. Tak heran jika hukum seringkali menampakkan wajah
yang paradoksal ketika menyentuh kaum terhormat dengan rakyat jelata.
Kisah
Ketimpangan
Ketimpangan penegakan hukum bagi kaum berada dengan melarat, sejak
14 abad silam telah diingatkan Nabi sebagai awal kebinasaan. Dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, diceritakan bahwa pada zaman Nabi
terjadi pencurian oleh seorang yang terhormat dan mempunyai kedudukan tinggi.
Beberapa orang lantas menemui dan melobi Nabi supaya orang tadi dibebaskan dari
hukuman.
Bukannya diterima, justru Nabi memberi petuah bahwa kebinasaan kaum
terdahulu dikarenakan penegakan hukum. Sebab, hukum membiarkan kejahatan yang
dilakukan oleh seorang bangsawan, sementara ia ditegakkan secara ketat kepada
orang miskin. Untuk mempertajam pesan kesamaan manusia di depan hukum ini, Nabi
juga menyatakan jika anaknya sendiri, Fatimah mencuri, maka Nabi pun tetap akan
menghukumnya.
Perilaku ini menunjukkan bahwa hukum harus ditegakkan, tanpa
memandang status terdakwa sebagai orang kaya atau miskin, terhormat ataupun tidak.
Tak heran jika Mahkamah Agung Amerika Serikat (Supreme Court) mengukuhkannya
sebagai satu dari 18 Law Giver terbesar sepanjang sejarah bersama Hammurabi,
Julius Caesar, Justianian, dan Charlemagne.
Sementara itu, di Indonesia, hukum ternyata tak jauh beda dengan sebilah pisau:
yang hanya tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Hukum sangat tegas dan keras
diterapkan pada “orang kecil”, tapi tak bertaji bila menyangkut “orang besar”.
Pisau hukum mudah bisa dilihat dari kasus nenek Rasmiah, salah satu wong
cilik yang harus berhadapan dengan hukum. Oleh Mahkamah Agung, dia
dinyatakan bersalah mencuri piring, mangkuk, bahan sup buntut, dan pakaian
bekas majikannya.
Sebelum kasus Rasmiah, masyarakat tentu tak melupakan kasus AAL
yang dituduh mencuri sandal jepit di Sulawesi Tenggah. Juga ada kasus nenek Minah di Banyumas, November
2009, yang didakwa mencuri tiga buah kakao. Masyarakat juga tidak bisa
melupakan kasus Manise yang mendekam di penjara selama 24 hari karena dituduh “mencuri”
dua kilogram buah kapuk di Kabupaten Batang pada 2009.
Sementara di Kediri, Jawa Timur, dua buruh tani Basar Suyanto dan
Kholil, yang merasakan pengapnya bui selama 2,5 bulan karena mencuri dua
semangka. Tak terkecuali nasib Sumarjono dan Budiono, yang divonis enam bulan
penjara karena mencuri tiga batang tebu milik tetangganya pada 2010.
Ragam
contoh ini tampaknya hanya semacam fenomena gunung es, yang mungkin kejadian
aslinya lebih banyak lagi. Sebab, bagaimanapun juga, media massa maupun LSM
punya keterbatasan untuk mengakses semua keganjilan hukum di seluruh Indonesia.
Pada saat bersamaan, publik dihadapkan dengan ironitas penegakan
hukum yang menimpa kalangan berduit. Robert
Tantular, mantan Komisaris Utama Bank Century yang kini menjadi bola
panas dan liar, oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya diputus
4 tahun penjara dan denda Rp 50 miliar. Padahal, bank ini yang –meminjam
istilah mantan Wapres Jusuf Kalla- merampok uang rakyat, sehingga negara harus
mengucurkan dana talangan (bail-out) Rp 6,7 triliun.
Sejarah juga
mencatat banyak korupsi yang dilakukan anggota DPR/D, aparatur pemerintah,
maupun para pengusaha yang biasanya menjadi pemasok uang suap, berujung bebas
setelah melalui jalan “ular tangga” di lembaga-lembaga penegak hukum. Kasus hukum yang tidak kalah
akrobatiknya juga bisa dilihat dalam kasus suap pemilihan Deputi Gubernur
Senior Bank Indonesia, ketika para terpidana hanya mendapat vonis ringan.
Termasuk kasus suap Wisma Atlet SEA Games, yang perkembangannya jauh dari
harapan publik.
Skala Prioritas
Dalam khazanah
ilmu hukum yang paling mendasar, setidaknya ada tiga ide unsur dasarnya:
kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Memang hukum tidak mudah bisa diterapkan
dalam tiga tujuannya itu sekaligus karena tak jarang antara satu aspek berbenturan
dengan aspek lain. Di sinilah pentingnya keberadaan skala prioritas yang harus
dijalankan, keadilan, kemudian kemanfaatan, dan barulah kepastian hukum.
Mungkin para
penegak hukum perlu merenungkan saran almarhum Prof. Dr. Muslan Abdurrahman,
SH, MH, pakar hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Dalam pidato
pengukuhan guru besarnya, dia merekomendasikan perlunya setiap orang, terutama
stakeholder pengadilan, memahami dan menjalankan hukum dengan kecerdasan
spiritual. Kecerdasan rasional hanya akan membuat hukum terjebak dalam logika
sekumpulan prosedur dan peraturan, sementara kecerdasan spiritual akan
membuatnya berinteraksi dengan denyut nadi masyarakat.
Praktik semacam
inilah yang telah diteladankan Nabi Muhammad saw, yang hari kelahirannya selalu
dirayakan umat Islam setiap. Tentu tidak cukup hanya dengan merayakannya,
tetapi juga mentransformasikan pesan-pesan profetiknya dalam kehidupan
sehari-hari. Allah a’lam bi al-shawab.