Oleh: Muhammad Kholid Asyadulloh
Berganti tahun, korupsi
tampaknya masih menjadi mimpi buruk bangsa ini. Berdasar data KPK selama
2004-2011, tercatat 1.408 kasus korupsi ditangani aparat hukum dengan kerugian
negara Rp 39,3 triliun. Tak hanya itu, pelaku korupsi ternyata ''sukses''
meregenerasi ke koruptor berusia 40 tahunan.
Kian sedih, tidak sedikit
kasus korupsi yang menggambarkan anomali keberagamaan. Fenomena itu secara
tersamar bisa dilihat dari pengakuan Inspektur Jenderal Kementerian Agama
(Kemenag) M. Jasin tentang ''pungutan liar'' dalam pencatatan pernikahan dan
kepemilikan ''rekening gendut'' di lingkungan kerjanya (Jawa Pos, 27 Desember
2012). Sulit dipahami, kementerian yang terkait
dengan misi moral dan ketuhanan tersebut justru melakukan korupsi yang jelas-jelas
dekat dengan perbuatan keji dan mungkar.
Koruptor juga telah berani
menjarah proyek yang memiliki dimensi celestial sebagaimana dilukiskan pada
korupsi pengadaan Alquran di Kemenag. Tragisnya lagi, sandi yang digunakan
untuk menyebut para penerima dana hasil permainan proyek itu cukup melecehkan
agama. Mereka menggunakan idiom ''kiai'' untuk merujuk politisi Senayan yang
menerima fee korupsi, ''ustad'' untuk menyebut pejabat Kemenag, dan
''pesantren'' untuk partai politik.
Yang menggelikan, ternyata ada
juga pelaku korupsi yang menggunakan hasil korupsinya untuk keperluan ibadah:
sedekah, zakat, umrah, maupun haji. Gayus Tambunan memberikan kesaksian miris.
Sebagian uang hasil korupsinya digunakan untuk membiayai ibadah umrah seorang
hakim yang menangani perkaranya.
Ragam modus korupsi tersebut
tentu menjadi tamparan mahadahsyat bagi kaum agamawan. Yang kian menyedihkan,
berdasar ajaran agama yang dianutnya, seseorang bisa menempatkan korupsi
sebagai kejahatan yang luar biasa, tapi (mungkin) ada juga yang memandangnya
(memanipulasinya) sebagai tindakan termaafkan, bahkan terpuji.
Distorsi pemahaman agama
tersebut membuat tidak sedikit koruptor yang cenderung meremehkan dosa
kejahatannya (Mulkhan: 2003). Penafsiran serampangan tentang sifat dan cara
Tuhan membalas tindakan manusia membuat mereka semakin ''berani'' berkorupsi,
atau bahkan malah yakin kesalahannya tetap diampuni Tuhan. Bahkan, tidak
mustahil koruptor malah berkeyakinan pahalanya jauh lebih besar dibanding
dosanya saat dihitung di akhirat kelak.
Malapraktek ''spiritual
laundering'' (pencucian spiritual) dengan mendistorsi ajaran agama memang bukan
perkara sulit untuk dicarikan justifikasinya. Dalam Islam, misalnya, selalu
terbuka peluang pintu pengampunan Tuhan atas semua kejahatan, kecuali tindakan
yang didasari kepercayaan atas kekuatan lain selain Tuhan (syirik). Kejahatan
hanya akan dibalas dengan kejahatan yang setara (QS As-Syuura: 40). Sementara
itu, kebaikan akan dibalas dengan ganjaran 700 lipat (QS Al-Baqarah: 261),
berlaku 1.000 bulan (QS Al-Qadar: 3), bahkan mengalirkan tanpa putus (HR
Turmudzi dan Nasa'i).
Dengan kalkulator reward
pahala dan punishment itu, bisa jadi para koruptor tetap yakin mampu
''memutihkan'' dosanya. Jika seseorang melakukan korupsi Rp 10 miliar, misalnya,
dengan menyedekahkan 1 persen (Rp 100 juta), dia tetap mendapat pahala Rp 70
miliar. Secara matematis, pahalanya masih banyak dibanding dosanya yang itu pun
masih punya keuntungan dunia 9,9 miliar. Reward tersebut akan bertahan selama
83,3 tahun jika waktu bersedekah bertepatan dengan malam Qadar dan tidak
terputus jika berbentuk jariyah.
Koruptor pendistorsi agama
tersebut tentu sangat berbahaya karena mereduksi nilai luhur agama, termasuk
keberaniannya ''mengakali'' Tuhan dalam bentuk pseudo-agamis. Misalnya,
tiba-tiba berjilbab atau bercadar saat dijadikan tersangka, meski sebelumnya
dikenal senang berpakaian modis dan seksi. Bahkan, tidak sedikit yang
''menyuap'' Tuhan dengan hasil korupsinya dalam bentuk umrah, sumbangan masjid,
sedekah, dan lain-lain. Selain tameng, ia dijadikan sarana ''merayu'' Tuhan
untuk memutihkan dosa korupsinya.
Malapraktek spiritual laundering mendorong seseorang yang punya
pengetahuan lebih tentang agama tidak terjamin imun dari korupsi. Agama harus
membangun pemahaman bahwa dosa korupsi tidak akan diampuni Tuhan, termasuk
menjalankan ''ruilslag'' dengan ragam ibadah. Apalagi, Muhammad SAW -manusia
agung yang sama miskinnya sejak sebelum jadi rasul sampai wafat- dalam riwayat
Imam Muslim telah menegaskan: sedekah dan infak hasil kecurangan tidak akan
diterima Tuhan, seperti tidak diterimanya salat tanpa wudu. Jelas, teologi itu
melawan keyakinan koruptor yang menghibur diri bahwa dosa korupsinya masih bisa
''dicuci'' dengan menyuap Tuhan dalam bentuk haji, umrah, zakat, infak, sedekah,
dan lain-lain. Keyakinan koruptor ''agamis'' itu sesat sejauh-jauhnya