Oleh: Muhammad Kholid Asyadulloh
Jurnalis Peneliti
Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP)
Semangat menghubungkan
antarkabupaten di Papua Barat yang dipisah rimba menemukan darah baru. Terbaru,
awal September ini, DPR menyetujui alokasi anggaran ke Kementerian Pertahanan
Rp 425 miliar untuk pembangunan 14 ruas jalan. Jalan 120 kilometer tersebut
dikerjakan oleh 2.000 prajurit TNI. Upaya itu tentu patut ditepuktangani.
Papua Barat menjadi provinsi
bungsu NKRI. Membelah diri dari Papua pada 1999 dengan nama Irian Jaya Barat,
pada 2007 menjadi Papua Barat. Menjadi provinsi bungsu, pembangunan
infrastruktur juga berada di urutan buntut. Padahal, jika melihat kekayaan
alamnya, infrastruktur dasar mestinya sudah ''selesai''. Yang lebih miris lagi,
pengembangan jalan antarkabupaten ternyata baru ''diseriusi'' setahun
belakangan.
Ketika saya merasakan beratnya
melintasi jalan di sana, yang saya bayangkan: orang setempat mengalami itu setiap
hari. Kondisi riil tersebut diperlukan dalam misi saya melakukan rapid
assessment. Mendalami langsung kondisi lapangan itu demi membuat ''peta''
kegiatan yang akurat. Di antara 13 kabupaten dan kota di Papua Barat, yang
menjadi tujuan saya adalah Kabupaten Manokwari (ibu kota Papua Barat), Fakfak,
Sorong Selatan (Sorsel), dan Raja Ampat.
Empat kabupaten itu menjadi
wilayah pendampingan Australia Indonesia Partnership for Decentralisation
(AIPD). The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) menjadi mitra pelaksana
AIPD dalam program penguatan media untuk transparansi demi mengefektifkan
belanja anggaran publik (yang jumlahnya kian besar). Warga republik ini
diharapkan kian melek anggaran karena itu adalah ''uang mereka''.
Kalau Provinsi Papua Barat
berada di kepala burung Pulau Papua, Kabupaten Sorong berada di bagian paruh.
Di punggung paruh terdapat kota Sorong. Sedangkan Sorsel berada di dagu. Saya
berangkat dari Kabupaten Sorong. Meski berbatasan, jarak antaribu kota
kabupaten Sorong-Sorsel 170 km atau bermobil 5-7 jam. Jalan aspal mulus hanya
sekitar 30 km. Selanjutnya, secara bergantian, aspal berlubang, tanah
berkubang, jalan berbatu, dan jalan tanah.
Jika hujan, jalan tanah akan
rusak parah, bahkan menjadi ''sungai''. Seperti jalan setapak purba. Saya
merasakan itu saat kembali dari Sorsel ke Sorong. Hujan deras sejak siang
hingga sore hari. Di beberapa jalan yang masih berupa tanah dan rusak berat
mobil harus antre satu per satu dan bergantian.
Angkutan Umum Mewah
Kondisi jalan buruk itu
berkebalikan dengan mobil angkutan umumnya. Jika angkutan itu biasanya identik
dengan kendaraan yang bobrok, berbagai mobil yang di Jawa dianggap mewah justru
dijadikan kendaraan umum, mulai Mitsubishi Strada, Ford Ranger, Toyota Hilux,
Land Cruiser, dan sejenisnya. Mobil-mobil gardan dobel tersebut mendominasi
trayek Sorong-Sorong Selatan dan sebaliknya.
Tarifnya ada ''kelas''. Tiket
Rp 250 ribu harus dibayar jika duduk di dalam mobil dan Rp 150 ribu kalau duduk
di luar (bak belakang). Naik di bak itu disebut ding-dong. Karena lebih murah,
mereka yang ber-ding-dong tentu harus rela kehujanan atau kepanasan.
Kesenjangan di Papua juga
sangat terasa dalam perjuangan masyarakat setempat untuk mendapatkan bahan
bakar minyak (BBM). Warga yang berdiam di daerah yang kaya minyak itu ternyata
harus membayar dengan harga mahal untuk membeli BBM. Ketika membeli di SPBU
memang masih dengan harga normal sebagaimana yang ditetapkan pemerintah. Namun,
ketika sudah berada di tangan pedagang eceran, harganya luar biasa mahal hingga
dua kali lipat.
Lebih daripada itu, untuk
daerah pemekaran, Sorsel dan Raja Ampat misalnya, ternyata hanya ada satu SPBU
di seluruh kabupaten. Selain hanya satu unit, waktu buka SPBU itu pun terbatas
pada jam-jam tertentu. Tidak ayal, antrean yang mengular panjang menjadi
pemandangan rutin ketika SPBU sedang dibuka.
Melihat kondisi riil Papua
Barat, sudah tentu tugas khusus TNI ikut membangun ruas jalan sana layak
didukung. Jalan bisa dikata sebagai urat nadi kemajuan wilayah. Selain untuk
membuka isolasi sebuah daerah, jalan yang bagus akan memberikan efek kebagusan
dalam segala hal jika dimanfaatkan secara benar.
Meminjam istilah mantan Bupati
Lamongan Masfuk, jalan itu ibarat sungai yang banyak ikannya. Tugas pemimpin
daerah ialah membuat dan melempar jaring ke sungai, atau membangun bendungan,
agar ikan yang lewat bisa tertahan sejenak dan bisa dipanen oleh warganya.
Dengan merintis jalan antarkabupaten di Papua Barat, warga diharapkan menangguk
ikan pembangunan dan bisa tersenyum lebar.