Menelusuri Jalan Purba Wilayah Surga

Oleh: Muhammad Kholid Asyadulloh
Jurnalis Peneliti Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP)
Sumber: Jawa Pos, 13 September 2013



Semangat menghubungkan antarkabupaten di Papua Barat yang dipisah rimba menemukan darah baru. Terbaru, awal September ini, DPR menyetujui alokasi anggaran ke Kementerian Pertahanan Rp 425 miliar untuk pembangunan 14 ruas jalan. Jalan 120 kilometer tersebut dikerjakan oleh 2.000 prajurit TNI. Upaya itu tentu patut ditepuktangani.
Papua Barat menjadi provinsi bungsu NKRI. Membelah diri dari Papua pada 1999 dengan nama Irian Jaya Barat, pada 2007 menjadi Papua Barat. Menjadi provinsi bungsu, pembangunan infrastruktur juga berada di urutan buntut. Padahal, jika melihat kekayaan alamnya, infrastruktur dasar mestinya sudah ''selesai''. Yang lebih miris lagi, pengembangan jalan antarkabupaten ternyata baru ''diseriusi'' setahun belakangan.
Ketika saya merasakan beratnya melintasi jalan di sana, yang saya bayangkan: orang setempat mengalami itu setiap hari. Kondisi riil tersebut diperlukan dalam misi saya melakukan rapid assessment. Mendalami langsung kondisi lapangan itu demi membuat ''peta'' kegiatan yang akurat. Di antara 13 kabupaten dan kota di Papua Barat, yang menjadi tujuan saya adalah Kabupaten Manokwari (ibu kota Papua Barat), Fakfak, Sorong Selatan (Sorsel), dan Raja Ampat.
Empat kabupaten itu menjadi wilayah pendampingan Australia Indonesia Partnership for Decentralisation (AIPD). The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) menjadi mitra pelaksana AIPD dalam program penguatan media untuk transparansi demi mengefektifkan belanja anggaran publik (yang jumlahnya kian besar). Warga republik ini diharapkan kian melek anggaran karena itu adalah ''uang mereka''.
Kalau Provinsi Papua Barat berada di kepala burung Pulau Papua, Kabupaten Sorong berada di bagian paruh. Di punggung paruh terdapat kota Sorong. Sedangkan Sorsel berada di dagu. Saya berangkat dari Kabupaten Sorong. Meski berbatasan, jarak antaribu kota kabupaten Sorong-Sorsel 170 km atau bermobil 5-7 jam. Jalan aspal mulus hanya sekitar 30 km. Selanjutnya, secara bergantian, aspal berlubang, tanah berkubang, jalan berbatu, dan jalan tanah.
Jika hujan, jalan tanah akan rusak parah, bahkan menjadi ''sungai''. Seperti jalan setapak purba. Saya merasakan itu saat kembali dari Sorsel ke Sorong. Hujan deras sejak siang hingga sore hari. Di beberapa jalan yang masih berupa tanah dan rusak berat mobil harus antre satu per satu dan bergantian.

Angkutan Umum Mewah
Kondisi jalan buruk itu berkebalikan dengan mobil angkutan umumnya. Jika angkutan itu biasanya identik dengan kendaraan yang bobrok, berbagai mobil yang di Jawa dianggap mewah justru dijadikan kendaraan umum, mulai Mitsubishi Strada, Ford Ranger, Toyota Hilux, Land Cruiser, dan sejenisnya. Mobil-mobil gardan dobel tersebut mendominasi trayek Sorong-Sorong Selatan dan sebaliknya.
Tarifnya ada ''kelas''. Tiket Rp 250 ribu harus dibayar jika duduk di dalam mobil dan Rp 150 ribu kalau duduk di luar (bak belakang). Naik di bak itu disebut ding-dong. Karena lebih murah, mereka yang ber-ding-dong tentu harus rela kehujanan atau kepanasan.
Kesenjangan di Papua juga sangat terasa dalam perjuangan masyarakat setempat untuk mendapatkan bahan bakar minyak (BBM). Warga yang berdiam di daerah yang kaya minyak itu ternyata harus membayar dengan harga mahal untuk membeli BBM. Ketika membeli di SPBU memang masih dengan harga normal sebagaimana yang ditetapkan pemerintah. Namun, ketika sudah berada di tangan pedagang eceran, harganya luar biasa mahal hingga dua kali lipat.
Lebih daripada itu, untuk daerah pemekaran, Sorsel dan Raja Ampat misalnya, ternyata hanya ada satu SPBU di seluruh kabupaten. Selain hanya satu unit, waktu buka SPBU itu pun terbatas pada jam-jam tertentu. Tidak ayal, antrean yang mengular panjang menjadi pemandangan rutin ketika SPBU sedang dibuka.
Melihat kondisi riil Papua Barat, sudah tentu tugas khusus TNI ikut membangun ruas jalan sana layak didukung. Jalan bisa dikata sebagai urat nadi kemajuan wilayah. Selain untuk membuka isolasi sebuah daerah, jalan yang bagus akan memberikan efek kebagusan dalam segala hal jika dimanfaatkan secara benar.
Meminjam istilah mantan Bupati Lamongan Masfuk, jalan itu ibarat sungai yang banyak ikannya. Tugas pemimpin daerah ialah membuat dan melempar jaring ke sungai, atau membangun bendungan, agar ikan yang lewat bisa tertahan sejenak dan bisa dipanen oleh warganya. Dengan merintis jalan antarkabupaten di Papua Barat, warga diharapkan menangguk ikan pembangunan dan bisa tersenyum lebar.