Muhammad Kholid Asyadulloh
Sumber: Surya, 14 Agustus 2007
Bulan Agustus adalah hari-hari yang sangat istimewa bagi
bangsa Indonesia, tidak terkecuali tahun 2007. Pada tanggal 12 Agustus 2007
kemarin, salah satu Proklamator, Mohammad Hatta, jika masih hidup, memasuki
usia ke-105 tahun. Tepat lima hari kemudian, 17 Agustus 2007, Indonesia akan
merayakan 62 tahun kemerdekaan yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta. Dua
momentum ini selayaknya dijadikan momentum untuk meneladani sisi positif kualitas
kepemimpinan Hatta untuk menggapai kemajuan bangsa.
Hatta yang lahir di Bukittinggi, pada tanggal 12 Agustus
1902, adalah salah satu penggerak bangsa yang menonjol di atas rekan-rekan
sezamannya. Ayahnya adalah Mohammad Djamil, seorang mursyid sebuah tarekat di
Sumatera Barat yang meninggal dunia ketika Hatta berusia delapan bulan. Nama
Mohammad Hatta adalah Mohammad ‘Ata, yang diambil dari nama Muhammad ‘Ata’illah
al-Sakandari, pengarang kitab Al-Hikam (Nurcholis Madjid: 2002). Ucapan
Minangkabau mengubah ejaan ‘Atha’ menjadi Hatta, dan nama inilah yang akhirnya
tertempel pada dirinya.
Hatta adalah contoh dan teladan pimpinan yang cerdas,
cakap, efektif, dan bersosok asketis, yang “kehadirannya” sungguh sangat
dirindukan dalam masa kini dan mendatang. Meski Hatta sudah tiada sejak 27
tahun silam, tetapi dia tetap hidup melalui pemikiran, prinsip, dan kualitas
pribadinya yang positif. Sosok, kepribadian, komitmen, visi, keteladanan,
pemikiran, dan pengalaman Hatta semasa hidup masih tetap aktual untuk diimplementasikan
anak bangsa kontemporer, lebih-lebih para pemegang kekuasaan.
Di antara sekian keistimewaan Hatta dibandingkan founding
fathers lainnya adalah sosoknya yang hampir tanpa cacat selama 78 tahun
menjalani hidup. Di saat para pemimpin lain jatuh bangun, tidak terkecuali
Soekarno, Hatta menunjukkan integritasnya sebagai sosok tidak
(ter)korupsi(kan), meski kesempatan baginya terbuka lebar dan kesempatan itu
dapat diciptakan. Tetapi sejarah mencatat bahwa Hatta adalah seorang yang
memasuki ranah politik dalam kesederhaan, dan tetap sederhana saat
meninggalkannya.
Menurut Jakob Oetomo (2002), profil Hatta memberi
petunjuk bagi bangsa ini, bahwa kepemimpinan yang berhasil adalah mereka yang
berhasil menumbuhkan pada pribadinya, pilihan, dan komitmen asketisme. Dalam
hal inilah, Hatta mendisiplinkan diri untuk menekan nafsu dan emosi alamiah
dengan cara memusatkan seluruh jati dirinya pada pencapaian kemerdekaan
Indonesia. Adapun pascakemerdekaan, dia melanjutkan asketismenya dengan
menjalankan amanat menyelenggarakan kekuasaan dan ketika berada di tengah
kekuasaan.
Unhattais
Asketisme politik Hatta ini sudah tentu sangat relevan
untuk diaktualisasikan oleh para politisi kontemporer, yang dalam faktanya
hampir-hampir nihil keteladanan. Meminjam pernyataan Ahmad Syafi’i Maarif pada
14 Februari 2007, “politisi Indonesia saat ini sedang terjun bebas menuju titik
nol”. Ungkapan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini tampaknya memang mewakili
penilaian buruk publik terhadap (kebanyakan) politisi kontemporer di negeri
ini.
Idealisasi politisi sebagai “soko guru” kristalisasi
perjuangan kepentingan rakyat, ternyata semakin hari semakin jauh dari
kenyataan. Para politisi seakan sudah lupa terhadap fungsi intermediasinya
sebagai penyerap aspirasi massa pemilihnya. Secara mudah tumpulnya naluri
pejuang aspirasi rakyat ini dapat dirasakan dari minimnya isu populis yang
diagendakan untuk masyarakat secara luas. Sebaliknya, tidak sedikit perilaku
politisi yang menyakiti rasa keadilan rakyat, yang selama ini sebenarnya sudah
terpinggirkan secara ekonomi maupun politik.
Realitas ini tentu sangat paradoks dengan cita-cita
Hatta, bahwa penguasa adalah mereka yang menempatkan diri sebagai pelayan
rakyat yang dialogis dan terbuka. Segala kebijakan yang dilahirkan negara
sepantasnya bersandar pada keadilan dan kebenaran hati rakyat, dengan satu
tujuan untuk menyejahterakan rakyat. Maka bukanlah tempatnya jika elit
menyejahterakan dirinya sendiri, manasbihkan sebagai “raja” yang harus
dilayani, maupun ningrat baru (In Nugroho Budisantoso: 2002)
Sayangnya, cita-cita Hatta tentang kesejahteraan yang
condong ke masyarakat luas dalam kekinian malah lebih berpihak kepada kalangan
di lingkar kekuasaan. Para pemegang kekuasaan ini mempraktikkan sikap adigang
adigung adiguna dan perlente, serta tidak mengenal rakyat yang telah memberikan
mandat kepadanya. Tidak heran jika almarhum Riswandha Imawan (2005),
mengumpamakan berkumpulnya para politisi, lebih-lebih di lembaga legislatif,
tidak ada bedanya dengan kumpulan srigala. Sebab, bukan saja lawan politik yang
diterkamnya, tetapi rakyat yang memilihnya juga diincar sebagai “makanan” yang
lezat.
Mekanisme relasi yang mirip dengan “rantai makanan”
inilah yang mengakibatkan rakyat belum mendapatkan manfaat dari berbagai
kemanjaan yang diberikan kepada penguasa. Bahkan, tidak sedikit di antara
legislator itu yang muncul sebagai vandalis-vandalis demokrasi, dengan
melakukan percaloan anggaran, terlibat narkoba, serta berbagai perilaku tidak
terpuji lainnya. Mereka tidak mampu mempertahankan kepercayaan yang sudah
diberikan rakyat untuk mengelola kekuasaan yang sebenarnya bersifat sementara
tersebut.
Dunia politik dan aktornya seakan menjadi barang “asing”
yang sarat dengan agitasi, kebohongan, anti-rakyat, serta berbagai perilaku
destruktif lainnya. Tragisnya lagi, suara rakyat yang seringkali disetarakan
dengan suara Tuhan ternyata juga diabaikan oleh politisi. Kebanyakan politisi
yang mampu melenggang ke gedung legislatif, yang (mungkin) telah tujuan utama
dalam berpolitik, seakan menjadi rahmat untuk dilayani, dihormati dan
kesempatan mengeruk keuntungan materi.
Singkatnya, para politikus sudah melupakan “wasiat”
founding father Hatta, bahwa demokrasi membutuhkan sikap tanggung jawab dan
toleransi. Model demokrasi yang mengedepankan unjuk kekuatan massa pendukung
(otot maupun uang), justru mendominasi perilaku politik di Republik ini.
Kewenangan yang dimandatkan kepada pimpinan jarang dimaknai sebagai “tanggung
jawab”, kecuali media kontrol dan manipulasi dalam memenangkan kepentingan
pribadi/kelompok.
Hidup Asketis
Padahal yang diinginkan masyarakat dari pemegang
kekuasaan di negeri ini sangatlah sederhana, yaitu bersikap hidup tidak bringas
terhadap lingkungannya sebagaimana yang telah dicontohkan Hatta. Dalam tradisi
Jawa, sikap hidup asketisme inilah yang diungkapkan dalam istilah sak madyo dan
sak cukupe. Meski diuntungkan dengan fasilitas untuk hidup glamour, mewah, dan
berfoya-foya, tetapi seseorang dituntut mempunyai kesadaran bahwa bangsa ini
masih harus prihatin.
Menurut Hajrianto Y. Tohari (2006), jika sikap ini banyak
dilakukan para politisi-mampu (the have) secara numerikal dan proporsional,
dipastikan akan berdampak pada pengurangan deskripansi sosial dan segregasi
ekonomi yang terjadi. Selain itu, sikap ini juga akan meningkatkan rasa kebersamaan
(sense of toghetherness) sebagai bangsa yang masih harus senantiasa prihatin
karena krisis berkepanjangan yang sepertinya belum ada tanda-tanda untuk
berakhir.
Sebagai (calon) figur pemimpin bangsa, para politisi
seharusnya sadar bahwa tingkah laku mereka selalu menjadi sorotan publik luas.
Dalam segala hal, mereka seharusnya selalu menggunakan banyak pertimbangan,
bukan sekedar diperbolehkan oleh aturan yang positivistic atau tidak. Asas
kemanfaatan, efektivitas, efisiensi, perasaan publik, kepercayaan konstituen,
dan seterusnya, seharusnya dijadikan epistemologi dalam mengeluarkan kebijakan.
Sebab citra politisi yang sudah demikian buruk akan sulit dikatrol jika para
aktornya sendiri tidak mengubah perilakunya.
Memasuki kemerdekaan RI yang ke-62, sudah saatnya para
pemimpin bangsa ini kembali “belajar”, menelaah, dan menghayati etika
berdemokrasi, bahwa politik adalah panggilan untuk menyejahterakan rakyat.
Hatta adalah cermin dari moralitas politik yang tinggi, dengan selalu menjaga
ketokohan, kelurusan, kebersihan, serta nama baiknya. Bahwa kekuasaan adalah
sarana untuk memperjuangkan keadilan, keberadaban, demokrasi, dan kesejahteraan
rakyat, bukan tujuan dan pemberhentian akhir.
Asketisme Hatta inilah yang tampaknya membuat Iwan Fals,
musisi yang sangat jarang memberikan pujian, secara suka rela mempersembahkan
satu lagu khusus ketika dia meninggalkan dunia, 14 Maret 1980. Tuhan, terlalu
cepat semua, Kau panggil satu-satunya yang tersisa, Proklamator tercinta.
Jujur, lugu, dan bijaksana, mengerti apa yang terlintas dalam jiwa Indonesia.
Hujan air mata dari pelosok negeri saat melepas engkau pergi, berjuta kepala
tertunduk haru, terlintas nama seorang sahabat yang tak lepas dari namamu.
Terbayang baktimu, terbayang jasamu, jelas, jiwa sederhanamu. Merdeka!