Keberagamaan Berkearifan Publik

Muhammad Kholid Asyadulloh

Sumber: Seputar Indonesia, 6 Januari 2008


Judul Buku : Manusia Alquran, Jalan Ketiga Religiositas di Indonesia
Penulis : Abdul Munir Mulkhan
Penerbit : Kanisius-IMPULSE, Jogjakarta
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : 372
Semua pemeluk Islam meyakini bahwa Alquran adalah wahyu Tuhan yang berisi petunjuk bagaimana manusia menjalani hidup di dunia. Meski berangkat dari satu kitab, bahkan satu ayat, tetapi pemahaman yang muncul darinya tidaklah mesti seragam. Tidak jarang perbedaan ini justru berujung pada pertentangan, karena setiap pihak memandang pemahamannya paling benar sebagaimana maksud autentik ayat-ayat tersebut.
Tidak heran jika praktik kesalehan tidak selamanya memihak manusia dan kemanusiaan, tetapi justru sebaliknya. Berbaagai ekses negatif dari truth claim inilah yang dipotret oleh Abdul Munir Mulkhan dalam buku Manusia Alquran, Jalan Ketiga Religiositas di Indonesia. Dalam buku setebal 372 halaman ini, komisioner tertua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 2007-2011 itu menyajikan beragam fakta tentang elegisnya Islam historis dalam berdialektika dengan realitas sosial.
Menurut Mulkhan, keruwetan ini terjadi karena masalah keagamaan tidak lagi ditempatkan sebagai tahapan kemanusiaan setelah berakhirnya tahap ketuhanan ketika wahyu diturunkan beriringan dengan pengutusan para nabi dan rasul (h. 67). Akibatnya, tidak jarang tindakan penindasan dan kekerasan terhadap sesama manusia dinyatakan sebagai ketaatan dan ketakutan kepada Tuhan, meski alasan sesungguhnya adalah ketakutan, entah takut bersaing, kehilangan sumber ekonomi, kehilangan jabatan, tidak kebagian, serta aneka ketakutan lainnya.
Kondisi inilah yang membuat wajah agama, lebih-lebih di Indonesia, kurang bersahabat dengan keagamaan model rakyat (folk religion), tetapi dikuasai dan menjadi alat negara. Praktik keberagamaan selalu dihubungkan dengan politik kekuasaan sekaligus peran negara, sehingga kesalehan adalah hegemoni kebenaran kelas elit agama yang berkolaborasi dengan penguasa. Peran Tuhan dan kitab suci tentang halal haram, kapan dan cara beribadah, kebenaran tafsir kitab suci, dan lain-lainnya menjadi urusan negara (h. 144).
Pada gilirannya, praktik kesalehan cenderung tidak menyediakan ruang bagi negoisasi dan konsensus (h. 157). Agama diyakini sebagai sumber kebenaran mutlak dan sempurna, dan identitas komunitas pemeluk cenderung bersifat eksklusif hampir tanpa memberi tempat bagi orang lain dalam keadaan serupa. Klaim ini pada tingkat paling ekstrim berujung pada penggolongan kelompok lain sebagai kafir yang bukan hanya diancam neraka dan tidak punya hak hidup, tetapi juga harus dihancurkan karena “menghalangi” kaum beriman memasuki surga.
Dua model keberagamaan ini secara otomatis membuat “wajah” Tuhan di bumi kurang “ramah” karena ulah manusia yang memanipulasi-Nya (h. 205-260). Tanpa terasa, Tuhan dijadikan topeng kerakusan duniawi dan surgawi dalam bungkus simbol-simbol kesakralan. Apa yang diyakini dan dilakukan manusia dengan Tuhan dan agama-Nya tidak dapat disentuh, dikritik, dan diganggu gugat. Manipulasi inilah yang berakibat pada keterperangkapan wawasan keagamaan dalam elitisme, partisipasi umat menjadi artifisial, serta cenderung memanipulasi teks suci bagi kepentingan parokhial (h. 286).
Berangkat dari carut-marut keberagamaan ini, maka sudah saatnya para pemeluk semua agama mengembangkan tafsir baru atas wahyu kitab suci mereka sebagai tafsir berproyeksi kemanusiaan dan keadilan di luar batas kepemelukan dan paham keagamaan. Perolehan janji surgawi tidak hanya dilihat dari ketaatan ritual, tetapi ukurannya adalah keikhlasan dan kejujuran dalam membela mereka yang tertindas, miskin, dan menderita tanpa melihat kepemelukan dan paham keagamaan (h. 319).
Karier keberagamaan tidak dilihat dari ukuran formal yang mati dalam pembakuan, tetapi obyektif keberagamaan setiap orang yang terus hidup dan bebas dari struktur-struktur formal yang birokratis. Model ini hanya mungkin dikembangkan jika agama dibaca dari sumber autentik yang bebas dari hegemoni sejarah yang domestik, serta dinamika keberagamaan yang lahir dalam sejarah sebagai proses yang terus bergerak dinamis (h. 336).
Melalui wawasan dan kearifan publik dalam kebertuhanan dan keberagamaan inilah akan tumbuh perspektif baru yang luas dalam melihat kebenaran dan kepemelukan agama lain. Selain itu, model ini juga akan membuka komunikasi kemanusiaan pemeluk agama dalam pemahaman yang berbeda berbarengan dengan tumbuhnya penghargaan terhadap pemeluk agama lain dalam apresiasi kebertuhanan dan keberagamaan. Dengan model ini terbuka peluang bagi keagamaan untuk menampilkan Tuhan dan agama-Nya dalam wilayah yang lebih ramah dan manusiawi.
Terlepas dari setuju atau tidaknya para pembaca terhadap berbagai gagasan yang diungkapkan oleh penulisnya, buku ini sangatlah penting untuk menjadi referensi kaum agama dalam merumuskan cara keberagamaannya. Sebab, buku ini tidak sekedar memaparkan berbagai masalah sosial secara deskriptif dan analisa, tetapi disajikan dalam refleksi yang segar dan (cukup) menohok ruang kesadaaran pemeluk agama apa pun. Selamat membaca!


. Dengan kelebihan struktur organisasi yang menjangkau hingga tingkat kelurahan/desa, ditambah dengan tidak sedikit anggotanya yang duduk sebagai stakeholders kebijakan, mereka bisa memerankan diri sebagai penekan negara agar pro-rakyat, baik dalam penyusunan program kegiatan, menganggarkan dalam APBN/D, dan mengontrol kegiatannya.

Langkah ini mutlak dilakukan agamawan, karena APBN/D adalah kebijakan negara yang sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Jika penganggaran negara berpihak kepada kaum miskin, maka harapan tentang hilangnya kemiskinan akan semakin cepat berhasil. Sebaliknya, jika anggaran negara tidak memihak masyarakat miskin, sudah tentu penyakit sosial ini akan sulit dibasmi. Alih-alih negara berhasil mengurangi dan menghentikan, justru negara akan menjadi agen yang mengembangkan kemiskinan.

Tinggal yang menjadi pertanyaan, mau dan mampukah amanah ini dilaksanakan? Allah A’lam bi al-Shawab