Muhammad Kholid Asyadulloh
Penyalahgunaan narkoba di wilayah Surabaya dan sekitarnya
benar-benar mencapai batas yang cukup mengkhawatirkan. Menurut catatan
Polwiltabes Surabaya, perkembangan kasus narkoba di wilayah Surabaya, Sidoarjo,
dan Gresik selama 4 tahun terakhir, memiliki tiga kecenderungan, yaitu
jumlahnya terus meningkat, kualitasnya naik, dan pelaku berusaha menjadi
produsen. Bahkan, dalam tahun 2007 ini, polisi mengungkap 1.432 kasus dan
menangkap 1.726 tersangka, atau hampir 4 kasus setiap hari (Surya, 29/12/07).
Catatan kepolisian ini menunjukkan jika Surabaya dan
sekitarnya adalah tempat yang nyaman bagi penyalahgunaan narkoba. Jika 3 tahun
silam masih banyak yang menganggap wilayah ini hanya sebagai tempat transit
narkoba, mungkin anggapan berbeda akan muncul sekarang ini. Tren penyalahgunaan
narkoba telah bermetamorfosis menjadi tempat produksi narkoba made in lokal,
dengan bukti banyaknya pabrik narkoba yang ditemukan dalam beberapa waktu
terakhir.
Selama 1 tahun ini saja, kepolisian telah berhasil
membongkar 9 pabrik yang khusus memproduksi narkoba. Di antara pabrik narkoba
yang berhasil dibongkar kepolisian adalah milik pasangan suami-istri Siri dan
Sholikah Umu Kulsum di Kapas Madya Surabaya (21/10), milik Rizal di Manyar
Sabrangan (11 September), Heri Setiawan di Tretes (26 Juli), Abun di Graha
Family (28 Juli), Gogong di Candi Mas dan Pasuruan (31 Juli), para nara pidana
di rumah tahanan Medaeng (Mei 2007), Setiawan Budi di Citra Land (April 2007), dan
Toni Sugiharto di Graha Family (April 2007).
Jika ditambah dengan keberhasilan kepolisian pada tahun
2006, maka total terdapat 14 pabrik narkoba yang beroperasi di Surabaya dan
sekitarnya. Dalam tahun ini aparat berhasil mengamankan pabrik narkoba milik
Effendy Suprapto di Slautan, Sidoarjo (Oktober 2006), Handoko di Nginden dan
Manyar (Juni 2006), Hangky Gunawan di Graha Family (April 2006), serta Johan di
Menganti (April 2006).
Banyaknya produsen narkoba ini menunjukkan bahwa Surabaya
dan sekitarnya adalah tempat yang nyaman sebagai pusat memproduksi narkoba.
Untuk menjawab masalah ini, sudah tentu jawaban yang muncul adalah beragam
sesuai dengan sudut pandang masing-masing pengamat. Dari segi hukum, maraknya
kejahatan narkoba bisa jadi dikarenakan ringannya vonis yang dijatuhkan oleh
pengadilan terhadap para pelaku. Dari sudut psikologi, kemeriahan bisnis
narkoba ini bisa juga dikatakan karena tekanan psikis yang maha dahsyat psikis
di perkotaan, serta berbagai analisa lainnya.
Terlepas dari kontroversi akar masalah menjamurnya
produsen narkoba, fakta menunjukkan bahwa Surabaya dan sekitarnya adalah tempat
yang nyaman bagi produsen narkoba dalam melakukan dan mengendalikan
kejahatannya. Banyaknya penemuan pabrik narkoba adalah bukti riil kalau jaringan
narkoba di wilayah ini memang cukup kuat dan tertata rapi sejak (mungkin) jauh
hari. Apalagi mereka ternyata juga mampu melakukan aktivitas keseharian tanpa
dicurigai oleh penduduk sekitarnya, kecuali setelah sekian lama beroperasi.
Kecenderungan umum warga kota yang berkarakter
egois-individualis, bisa jadi menjadi alasan kenapa para produsen narkoba
bermarkas di Surabaya. Apalagi perkembangan kota juga dibarengi dengan semakin
homogenisasinya potret warga kota menjadi lebih individualis, egois, hedonis, konsumeris,
soliter, narsisistik, serta antisosial. Penjajahan modernitas yang bertumpu
pada efisiensi waktu dan efektifitas produk, membuat masyarakat di perkotaan
banyak yang terkurung dalam keakutan budaya pragmatisme-konsumerisme, yang
dengan sendirinya melemahkan solidaritas sosial antarwarga.
Kerenggangan solidaritas inilah yang tampaknya
dimanfaatkan produsen narkoba untuk melakukan aktivitasnya di kawasan “elit”
yang jauh dari keramaian penduduk. Di wilayah semacam ini biasanya para
penghuninya kurang bersosialisasi dengan tetangga, karena kesibukan
masing-masing dengan urusan pekerjaan. Selain itu, para penghuni biasanya juga
tidak terlalu memperhatikan orang yang keluar masuk ke rumah yang dijadikan
pabrik.
Karena itu, banyaknya penemuan pabrik narkoba di Surabaya
dan sekitarnya ini harus dijadikan pijakan bersama bagi warga untuk berusaha
dan bergegas membangun, memperluas, serta memperkokoh saling pengertian dan
saling percaya. Kesadaran dan kewaspadaan warga untuk menjaga keamanan
lingkungannya dari teror narkoba adalah harga yang tidak bisa ditawar lagi.
Meski kepolisian sudah berusaha maksimal membasminya, tetapi masalah ini
tetaplah membutuhkan program yang besar, terpadu, serta melibatkan sinergitas
komponen masyarakat.
Upaya massif ini semakin penting digalakkan, karena salah
satu masalah serius yang menjadi perhatian dunia internasional dewasa ini
adalah masalah penyalahgunaan narkoba. Pemakaian narkoba menyebabkan hilangnya
harta, meningkatnya gangguan kesehatan dari gangguan fungsi organ sampai
penularan virus HIV/AIDS, meningkatnya kekerasan, maraknya kriminilitas,
matinya prestasi, pudarnya kekerabatan, hancurnya sebuah masyarakat, hilangnya
generasi (lost generation), serta lain sebagainya.
Apalagi fakta menunjukkan bahwa kuantitas maupun kualitas
kasus narkoba setiap tahunnya selalu menunjukkan perkembangan yang signifikan.
Jika pada 2004 polisi hanya mengungkap 541 kasus dengan 730 tersangka, maka
tahun berikutnya kasus yang dibongkar meningkat menjadi 690 dengan 893
tersangka. Pada 2006 terjadi lompatan kenaikan pengungkapan, dengan membekuk
1.335 tersangka dalam 1.099 kasus. Puncaknya pada 2007 ini, polisi mengungkap
1.432 kasus dengan 1.726 tersangka (Surya, 29/12/2007).
Dari jumlah tersangka pada 2007, tersangka perempuan
berjumlah 195 orang dan 1.531 orang berjenis kelamin laki-laki. Tersangka yang
menyandang predikat sebagai TNI/Polri sebanyak lima orang, PNS tujuh orang,
mahasiswa/pelajar 31 orang, karyawan swasta 1.475 orang, tuna karya 208 orang.
Sedangkan klasifikasi berdasarkan umur, tersangka yang paling banyak ditangkap
pada usia 17-25 tahun sebanyak 729 orang, usia 26-35 tahun 636 orang, usia
36-45 tahun sebanyak 260 orang, usia 17 tahun ke bawah 33 orang dan usia 45
tahun ke atas 68 orang.
Melihat begitu dekatnya bahaya narkoba, maka
pemberantasan narkoba memang bukan tanggung jawab aparat kepolisian saja.
Tetapi semua masyarakat yang mempunyai nurani untuk menyelamatkan generasi
bangsa juga harus sama-sama memikulnya. Sepak terjang kepolisian yang tidak
bosan-bosan mengamankan gembong narkoba bisa dikatakan belum efektif, selama
masyarakat belum (tidak) menyadari bahaya narkoba bagi kelangsungan bangsa ini
dan melakukan upaya menanggulanginya.
Di sinilah pentingnya kerja sama dari berbagai pihak,
baik masyarakat, pemerintah daerah, kepolisian, lembaga peradilan, dan
lain-lain untuk mengenyahkan ancaman generasi muda tersebut. Diharapkan tidak
ada lagi “teater” seorang hakim memvonis ringan atau membebaskan produsen dan
atau bandar narkoba, di saat semua unsur masyarakat lainnya sudah begitu geram
terhadap narkoba.