Sinergi Gerakan Melawan Narkoba

Muhammad Kholid Asyadulloh

Sumber: Surya, 8 Januari 2008



Penyalahgunaan narkoba di wilayah Surabaya dan sekitarnya benar-benar mencapai batas yang cukup mengkhawatirkan. Menurut catatan Polwiltabes Surabaya, perkembangan kasus narkoba di wilayah Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik selama 4 tahun terakhir, memiliki tiga kecenderungan, yaitu jumlahnya terus meningkat, kualitasnya naik, dan pelaku berusaha menjadi produsen. Bahkan, dalam tahun 2007 ini, polisi mengungkap 1.432 kasus dan menangkap 1.726 tersangka, atau hampir 4 kasus setiap hari (Surya, 29/12/07).
Catatan kepolisian ini menunjukkan jika Surabaya dan sekitarnya adalah tempat yang nyaman bagi penyalahgunaan narkoba. Jika 3 tahun silam masih banyak yang menganggap wilayah ini hanya sebagai tempat transit narkoba, mungkin anggapan berbeda akan muncul sekarang ini. Tren penyalahgunaan narkoba telah bermetamorfosis menjadi tempat produksi narkoba made in lokal, dengan bukti banyaknya pabrik narkoba yang ditemukan dalam beberapa waktu terakhir.
Selama 1 tahun ini saja, kepolisian telah berhasil membongkar 9 pabrik yang khusus memproduksi narkoba. Di antara pabrik narkoba yang berhasil dibongkar kepolisian adalah milik pasangan suami-istri Siri dan Sholikah Umu Kulsum di Kapas Madya Surabaya (21/10), milik Rizal di Manyar Sabrangan (11 September), Heri Setiawan di Tretes (26 Juli), Abun di Graha Family (28 Juli), Gogong di Candi Mas dan Pasuruan (31 Juli), para nara pidana di rumah tahanan Medaeng (Mei 2007), Setiawan Budi di Citra Land (April 2007), dan Toni Sugiharto di Graha Family (April 2007).
Jika ditambah dengan keberhasilan kepolisian pada tahun 2006, maka total terdapat 14 pabrik narkoba yang beroperasi di Surabaya dan sekitarnya. Dalam tahun ini aparat berhasil mengamankan pabrik narkoba milik Effendy Suprapto di Slautan, Sidoarjo (Oktober 2006), Handoko di Nginden dan Manyar (Juni 2006), Hangky Gunawan di Graha Family (April 2006), serta Johan di Menganti (April 2006).
Banyaknya produsen narkoba ini menunjukkan bahwa Surabaya dan sekitarnya adalah tempat yang nyaman sebagai pusat memproduksi narkoba. Untuk menjawab masalah ini, sudah tentu jawaban yang muncul adalah beragam sesuai dengan sudut pandang masing-masing pengamat. Dari segi hukum, maraknya kejahatan narkoba bisa jadi dikarenakan ringannya vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan terhadap para pelaku. Dari sudut psikologi, kemeriahan bisnis narkoba ini bisa juga dikatakan karena tekanan psikis yang maha dahsyat psikis di perkotaan, serta berbagai analisa lainnya.
Terlepas dari kontroversi akar masalah menjamurnya produsen narkoba, fakta menunjukkan bahwa Surabaya dan sekitarnya adalah tempat yang nyaman bagi produsen narkoba dalam melakukan dan mengendalikan kejahatannya. Banyaknya penemuan pabrik narkoba adalah bukti riil kalau jaringan narkoba di wilayah ini memang cukup kuat dan tertata rapi sejak (mungkin) jauh hari. Apalagi mereka ternyata juga mampu melakukan aktivitas keseharian tanpa dicurigai oleh penduduk sekitarnya, kecuali setelah sekian lama beroperasi.
Kecenderungan umum warga kota yang berkarakter egois-individualis, bisa jadi menjadi alasan kenapa para produsen narkoba bermarkas di Surabaya. Apalagi perkembangan kota juga dibarengi dengan semakin homogenisasinya potret warga kota menjadi lebih individualis, egois, hedonis, konsumeris, soliter, narsisistik, serta antisosial. Penjajahan modernitas yang bertumpu pada efisiensi waktu dan efektifitas produk, membuat masyarakat di perkotaan banyak yang terkurung dalam keakutan budaya pragmatisme-konsumerisme, yang dengan sendirinya melemahkan solidaritas sosial antarwarga.
Kerenggangan solidaritas inilah yang tampaknya dimanfaatkan produsen narkoba untuk melakukan aktivitasnya di kawasan “elit” yang jauh dari keramaian penduduk. Di wilayah semacam ini biasanya para penghuninya kurang bersosialisasi dengan tetangga, karena kesibukan masing-masing dengan urusan pekerjaan. Selain itu, para penghuni biasanya juga tidak terlalu memperhatikan orang yang keluar masuk ke rumah yang dijadikan pabrik.
Karena itu, banyaknya penemuan pabrik narkoba di Surabaya dan sekitarnya ini harus dijadikan pijakan bersama bagi warga untuk berusaha dan bergegas membangun, memperluas, serta memperkokoh saling pengertian dan saling percaya. Kesadaran dan kewaspadaan warga untuk menjaga keamanan lingkungannya dari teror narkoba adalah harga yang tidak bisa ditawar lagi. Meski kepolisian sudah berusaha maksimal membasminya, tetapi masalah ini tetaplah membutuhkan program yang besar, terpadu, serta melibatkan sinergitas komponen masyarakat.
Upaya massif ini semakin penting digalakkan, karena salah satu masalah serius yang menjadi perhatian dunia internasional dewasa ini adalah masalah penyalahgunaan narkoba. Pemakaian narkoba menyebabkan hilangnya harta, meningkatnya gangguan kesehatan dari gangguan fungsi organ sampai penularan virus HIV/AIDS, meningkatnya kekerasan, maraknya kriminilitas, matinya prestasi, pudarnya kekerabatan, hancurnya sebuah masyarakat, hilangnya generasi (lost generation), serta lain sebagainya.
Apalagi fakta menunjukkan bahwa kuantitas maupun kualitas kasus narkoba setiap tahunnya selalu menunjukkan perkembangan yang signifikan. Jika pada 2004 polisi hanya mengungkap 541 kasus dengan 730 tersangka, maka tahun berikutnya kasus yang dibongkar meningkat menjadi 690 dengan 893 tersangka. Pada 2006 terjadi lompatan kenaikan pengungkapan, dengan membekuk 1.335 tersangka dalam 1.099 kasus. Puncaknya pada 2007 ini, polisi mengungkap 1.432 kasus dengan 1.726 tersangka (Surya, 29/12/2007).
Dari jumlah tersangka pada 2007, tersangka perempuan berjumlah 195 orang dan 1.531 orang berjenis kelamin laki-laki. Tersangka yang menyandang predikat sebagai TNI/Polri sebanyak lima orang, PNS tujuh orang, mahasiswa/pelajar 31 orang, karyawan swasta 1.475 orang, tuna karya 208 orang. Sedangkan klasifikasi berdasarkan umur, tersangka yang paling banyak ditangkap pada usia 17-25 tahun sebanyak 729 orang, usia 26-35 tahun 636 orang, usia 36-45 tahun sebanyak 260 orang, usia 17 tahun ke bawah 33 orang dan usia 45 tahun ke atas 68 orang.
Melihat begitu dekatnya bahaya narkoba, maka pemberantasan narkoba memang bukan tanggung jawab aparat kepolisian saja. Tetapi semua masyarakat yang mempunyai nurani untuk menyelamatkan generasi bangsa juga harus sama-sama memikulnya. Sepak terjang kepolisian yang tidak bosan-bosan mengamankan gembong narkoba bisa dikatakan belum efektif, selama masyarakat belum (tidak) menyadari bahaya narkoba bagi kelangsungan bangsa ini dan melakukan upaya menanggulanginya.
Di sinilah pentingnya kerja sama dari berbagai pihak, baik masyarakat, pemerintah daerah, kepolisian, lembaga peradilan, dan lain-lain untuk mengenyahkan ancaman generasi muda tersebut. Diharapkan tidak ada lagi “teater” seorang hakim memvonis ringan atau membebaskan produsen dan atau bandar narkoba, di saat semua unsur masyarakat lainnya sudah begitu geram terhadap narkoba.