Hijrah Menuju Keberagamaan Inklusif

Muhammad Kholid Asyadulloh

Sumber: Suara Karya, 11 Januari 2008

Pada 10 Januari 2008, umat Islam memperingati Tahun Baru Hijriah 1429, momen awal Nabi Muhammad SAW dalam membangun peradaban yang humanis. Momen ini selayaknya dijadikan umat Muslim sebagai wahana melakukan kritik, evaluasi, dan memperbaiki diri. Reformasi internal inilah yang diharapkan akan melahirkan berbagai perilaku yang menandakan bahwa Islam adalah agama damai, dengan kerja berubahannya dalam menciptakan kebaikan yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif.
Dalam konteks Indonesia, sungguh tepat jika tahun baru 1429 H ini dijadikan sebagai momentum memperkokoh keberagamaan yang moderat dan penuh kedamaian. Sebab, dalam beberapa waktu terakhir ini citra keagamaan di Indonesia cenderung “suram“, dengan banyaknya“masalah” sosial yang justru dikarenakan agama sebagai pemicu maupun sumbernya. Berbagai nilai keadaban berbagai agama yang sebelumnya sudah menjadi bagian integral dengan lokalitas keindonesiaan mulai mengalami krisis, dengan semakin hilangnya komitmen kebersamaan dalam keragaman.
Masyarakat Indonesia yang sebelumnya begitu identik dengan toleransi kini secara berlahan mulai terkikis dalam kehidupan praksis. Ada di antara mereka yang tidak segan-segan menganggap diri dan kelompoknya sebagai sumber kebenaran dan keselamatan, dengan menganggap kelompok lain yang tidak sepaham sebagai sesat. Pernyataan sesat-menyesatkan maupun kafir-mengafirkan belakangan ini bukanlah “barang” yang sulit ditemukan di negeri yang mayoritas beragama Islam.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa faktor dari “kehancuran” tersebut adalah adanya beberapa kalangan minoritas yang berlaku eksklusif dalam beragama. Model keberagamaan eksklusif adalah tata cara beragama yang sifatnya cenderung kaku dan emosional dan kurang bisa menerima keberagaman. Keberagamaan ini senantiasa menempatkan realitas sosial yang selalu berubah dalam kungkungan dunia teks, tanpa memperdulikan konstruksi-konstruksi sosial yang ada. Berbagai permasalahan yang tidak tercantum dalam doktrin dianggap sebagai perbuatan bid'ah (mengada-ada) yang harus ditinggalkan dan dijauhi.
Adapun kebalikan dari model model eksklusif adalah inklusif, yaitu cara beragama yang bisa menerima keberagaman dalam memahami doktrin-doktrin agama. Perbedaan agama dipandang hanya pada tataran eksoterik atau penampakan luarnya, tetapi sesungguhnya seluruh agama mempunyai tujuan yang sama-sama mulia. Tuhan memang hanya Satu, tetapi bukan berarti jalan menuju-Nya terbatas pada satu jalan saja. Sebab, kalau “jalan” tersebut diseragamkan, maka tindakan ini malah akan mempersempit ke-Maha-an Tuhan.
Masih bercokolnya keberagamaan yang eksklusif di negeri ini tentu menjadi tantangan bagi agamawan untuk menciptakan tatanan kemasyarakatan yang plural. Padahal kalau merujuk pada historisitas terbentuknya negara Indonesia, kemajemukan merupakan fakta yang eksis sejak dahulu dan tidak mungkin dapat dihindarkan. Pluralitas senantiasa menyusup dan menyangkut dalam setiap dan seluruh ruang kehidupan, termasuk dalam persoalan keagamaan dan keimanan.
Sebagai tanggung jawab dalam menjaga keberlangsungan hidup berbangsa, maka umat Muslim Indonesia dituntut untuk mereinterpretasikan kebeagamaannya secara lebih kontekstualis. Apalagi sejarah penyebaran Islam di negeri ini dilalui lewat proses yang damai dengan berbagai nilai lokalitas, dengan saling mengisi dan mewarnai secara sinergis. Sejak masuknya Islam di negeri ini pada abad VII Masehi, Islam yang tumbuh di Indonesi sangat akomodatif terhadap warna-warni budaya lokal.
Meminjam istilah Fazlurrahman (1993), model berislam di Indonesia adalah proses yang dilalui lewat partnership antara Tuhan dan manusia dalam menulis sejarah (partnership of God and man in history). Model keberagamaannya terkonstruk dari dialog Islam calestial dengan peradaban profan yang sudah hadir sebelumnya, sehingga eksistensinya tidak tercerabut dari identitas lokal. Proses yang dinamis dalam dialektika sejarah dan kehidupan bermasyarakat inilah yang membuat corak kehidupan beragama di Indonesia bersifat lentur, inklusif, dan tidak serba formalistik.
Cara berislam ini sudah tentu mengalami perbedaan dengan corak yang berkembang di kawasan lain, termasuk di Arab sendiri yang menjadi tempat lahirnya Islam. Sebab, Islam Indonesia bukanlah Islam yang harus diimpor dari Arab tanpa reserve sama sekali, melainkan “nilai langit” yang didaratkan di bumi nusantara melalui proses yang berkelanjutan sesuai dengan akomodasinya terhadap warna-warni budaya lokal. Relativitas kultural ini adalah konsekuensi logis dari mekanisme “pencarian” kebenaran yang tidak serta-merta “siap saji”, melainkan melalui kompleksitas pengalaman hidup, sejarah, serta pergulatan panjang dalam proses “menjadi”.
Disinilah perlunya umat Muslim Indonesia mengembalikan agama kepada misi awalnya yang universal (spiritual), segmental (multikultural), serta mampu melintasi perbedaan. Agama Islam harus dipandang dan diletakkan sebagai sebuah ”teks” yang terbuka untuk selalu direproduksi sesuai horison pembaca (umat Muslim Indonesia). Pembaca yang notabenenya sudah mempunyai kearifan lokal sebelum Islam datang, tentu mempunyai cara pandang yang beragam dalam mengimplementasikan keberagamaannya.
Keragaman ini sudah tentu harus dipandang secara apresiatif sebagai sesuatu yang wajar, bukan hal yang menyimpang. Keragaman adalah logis dari dialektika Islam dengan budaya lokal yang berjalan secara terbuka, demokratis dan egaliter, yang sebelumnya juga membentuk watak muslim Indonesia menjadi terbuka, demokratis dan egaliter. Kesuksesan Islam berkembang pesat di nusantara tidak bisa dilepaskan dari kecanggihan proses negosiasinya terhadap budaya lokal, dengan tidak serta-merta memotong urat nadi tradisi masyarakat, meski tradisi itu sarat dengan kepercayaan animistik.
Sayangnya, berbagai watak kearifan yang sudah bertahan selama hampir 13 abad itu mulai terkikis sejalan dengan perkembangan zaman. Rapuhnya jati diri ini secara otomatis membuat Islam di Indonesia mulai mengalami berbagai masalah dan semakin terhimpit oleh perkembangan zaman. Padahal nilai-nilai kearifan yang terjewantahkan dalam praktik keterbukaan, demokratis dan egaliter tersebut masih sangat kontekstual untuk diaktualisasikan dalam kehidupan kekinian, dan mengantarkan masyarakat memiliki karakter unggul. Selamat tahun baru 1429 H!