Muhammad Kholid Asyadulloh
Sumber: Suara Karya, 15 Februari 2008
Bencana banjir akibat hujan deras kembali melumpuhkan
Kota Jakarta di awal Februari 2008 ini. Menurut data Pusat Pengendalian Krisis
Pemprov DKI Jakarta, daerah yang kemarin tergenang banjir berjumlah 140 titik
dengan ketinggian antara 20 centimeter sampai satu meter. Banjir yang melanda
di beberapa permukiman dan jalan di Jakarta adalah akibat curah hujan lokal
yang sangat tinggi dan tidak dapat tertampung oleh sistem drainase di Ibu Kota
. Curah hujan tinggi serta drainase yang bermasalah ini membuat genangan air
terus meninggi di berbagai tempat (Suara Karya, 02/02/08).
Bencana banjir di awal 2008 benar-benar menimbulkan
kerugian materiil luar biasa, selain tentunya korban jiwa. Kerugian itu tentu
akan bertambah besar di masa-masa mendatang jika bangsa ini tidak segera
memperbaiki etika korespondensitas dengan alam. Sebab, kemunculan berbagai
bencana dari “rahmat” curah hujan adalah konsekuensi logis dari cara pandang
manusia yang menempatkan alam sebagai barang dagang yang menguntungkan dan
bebas dieksploitasi. Oportunitas manusia inilah yang berakibat pada berubahnya
status curah hujan dari “rahmat” menjadi “laknat”, karena alam juga mempunyai
keterbatasan, baik memberi, menerima, bersahabat, menyapa, maupun kehilangan
kesabaran.
Sebagai bangsa yang berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha
Esa, seyogyanya berbagai bencana dan musibah yang datang silih berganti ini
diikuti dengan ketanggapan untuk meresponnya. Adalah tepat jika kedatangan
tahun 2008 ini dijadikan momentum untuk memanjatkan doa memohon penerangan dari
Yang Maha Kuasa. Sebab, bisa jadi berbagai bencana itu adalah “selentik” Tuhan
kepada manusia agar membuka hati, mata, telinga, serta indra lainnya untuk
kembali meneguhkan jati dirinya sebagai hamba dan khalifah-Nya di muka bumi.
Muara dari problem kemarahan alam adalah hilangnya
korespondensi manusia terhadap alam secara harmonis. Manusia justru semakin
bertambah aktif dalam mengambil berbagai langkah yang destruktif untuk memenuhi
libidonomiknya, dengan mengabaikan lingkungan hidup. Manusia yang mendapat
mandat sebagai khalifah di muka bumi seolah-olah diperkenankan untuk melakukan
eksploitasi dan pemerkosaan atas semesta alam. Mulai dari lereng bukit dan
gunung sampai ke pinggir kali dan pesisir pantai, tidak ada lagi kawasan yang
tidak dijarah anak manusia.
Sampai detik ini bangsa yang religius ini belum mampu
menghormati lingkungan, menjaga, merawat, serta membangunnya. Justru bangsa ini
terus-menerus membudayakan perusakan lingkungan dengan penebangan hutan secara
serampangan, penggalian tanah, dan menguras sumber kekayaan alam dengan seenak
perut. Bangsa ini tidak memperlakukan alam secara proporsional sebagai partner
hidup. Dalam bahasa agama, sikap semacam inilah yang disebut dengan zalim, wad’
al-syai’ lais fi makanih, menempatkan dan memperlakukan sesuatu bukan pada
tempatnya.
Padahal posisi manusia sebagai khalifah tidak berarti
bebas untuk mengeksploitasi kekayaan alam, karena tugas ini menuntut adanya
interaksi antara manusia dengan alam secara harmonis. Manusia memang
diperintahkan untuk memanfaatkan alam, tetapi pada saat yang sama juga
diperintahkan untuk mempertahankan dan melindungi kelestarian alam. Bahkan,
sebagaimana yang disinggung dalam Alquran Surat al-Baqarah/2: 22, alam
mempunyai posisi equal dengan manusia sebagai ruh kehidupan yang memberi
sumbangan atas nilai kekhusukan ibadah.
Karena itu, datangnya berbagai bencana ini selayaknya
dijadikan momentum pertobatan massal dalam mengubah cara pandang terhadap alam.
Pertobatan ini harus dimaknai secara aktif, produktif, dan fungsional, bukan
malah menebar dan menyemaikan sikap hidup yang fatalis. Sebab, terjadinya
berbagai bencana dan musibah bukan semata-mata karena takdir Tuhan, melainkan
juga karena nihilnya pertanggungjawaban manajemen yang menghargai lingkungan.
Sudah menjadi hukum alam (sunnatullah), kelalaian manusia ini mengakibatkan
bencana datang silih berganti.
Bencana adalah cara alam untuk membugarkan dirinya
setelah dieksploitasi oleh manusia secara terus-menerus. Selama ini, tumbuhan,
hewan, air, dan bumi tempat berpijak, yang menjadi tiket kehidupan dari Tuhan,
selalu dieksploitasi oleh manusia. Tidak sedikit manusia yang telah kehilangan
dimensi esoterik kedekatan korespondensif dengan alam, dan memperlakukan alam
secara tidak wajar. Alam justru dijadikan komoditas yang diperjualbelikan,
digarap, diubah fungsi-fungsinya semau hati manusia.
Namun demikian, berbagai bencana dan musibah ini tentu
tidak cukup hanya dihadapi dan diselesaikan melalui pertobatan karikatif dalam
bentuk pembacaan doa dan wirid semata. Meski langkah ini juga penting sebagai
penggugah kesadaran autentitas kemanusiaan, tetapi langkah konkrit yang taktis
dan strategis adalah solusi yang tidak bisa ditawar. Di sinilah pihak-pihak
yang memegang amanat kepemimpinan di negeri ini harus berusaha untuk
memperbaiki diri dalam melindungi warga negara dari bencana dan musibah.
Para pemimpin harus bertekad bulat untuk mencegah dan
mengatasi bencana dengan segala kekuatannya, lebih-lebih geografis Indonesia
memang tergolong rawan bencana. Para pejabat negara harus bertobat dalam
mengeluarkan dan menerapkan kebijakannya, dengan menempatkan keselamatan publik
sebagai prioritas utama. Bukan malah sebaliknya, selalu menempatkan sektor ini
dalam prioritas nomor sekian, atau bahkan mengabaikannya.
Dalam masalah “perlakuan” terhadap alam misalnya, negara
harus benar-benar kapok dalam mengeksploitasi kekayaan alam. Kecerobohan
memberikan hak “penggundulan” hutan kepada pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab hanya karena mereka mau membayar “komisi”, harus mulai diakhiri.
Kemudahan mengeluarkan dan mengalihkan sertifikat tanah resapan air menjadi
“hutan beton”, juga harus dinistakan. Sebab, jika hutan gundul, resapan sudah
tidak ada, maka sudah menjadi konsekuensi jika banjir, bandang, longsor, dan
aneka bencana siap menerkam.
Berdasarkan pada dosa “massal” ini, maka hakikat
pertobatan yang harus dilakukan bangsa ini adalah mengevaluasi sikap, persepsi,
dan aktualisasi kebijakan-kebijakan. Tobat ini harus diikuti dengan
mengusahakan agar roh spiritualitas sebagai ketulusan hati dapat
diimplementasikan dalam pengambilan keputusan. Sebab, tobat memang bukanlah
sekadar kemasan simbolik yang diformalkan, tetapi bagaimana iktikad memperbaiki
diri untuk berubah. Allah A'lam bi al-Shawab.