Muhammad Kholid Asyadulloh
Sumber: Surya, 27 Juli 2007
Setelah berjalan selama lebih dari 25 bulan, pemilihan
kepala daerah (pilkada) secara langsung dipastikan memasuki era baru yang lebih
demokratis. Kepastian ini lahir setelah Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi
membatalkan monopoli partai politik (parpol) sebagai satu-satunya “pintu” bagi
bakal calon kepala daerah untuk bertarung dalam pilkada. MK memutuskan
menghapus dan merubah beberapa pasal dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), dengan memberi ruang bagi
perseorangan untuk bersaing memperebutkan kursi kepala daerah (Surya, 24/7).
Dalam sidang pleno yang dipimpin Jimly Asshiddiqie dan 9
hakim konstitusi, MK menganulir beberapa pasal dalam UU Pemda yang menghalangi
calon perseorangan untuk “memeriahkan” pilkada. Dari uji materiil Pasal 56 ayat
2, Pasal 59 ayat 1-4, Pasal 59 ayat 5 huruf a dan c, Pasal 59 ayat 6, Pasal 60
ayat 2-5, MK mengabulkan perubahan pada Pasal 56 ayat 2 dan Pasal 59 Ayat 1-3.
Pasal 56 ayat 2 dihapus secara keseluruhan, dan Pasal 59 ayat 1 dihapus pada
kalimat “diusulkan secara berpasangan oleh parpol atau gabungan parpol",
serta me-nasakh kalimat “parpol sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (1)”
pada ayat 2. Adapun Pasal 59 ayat 3 berubah menjadi “membuka kesempatan bagi
bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal
58 melalui mekanisme yang demokratis dan transparan”.
Meski Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) dan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai penjabaran dari UU Pemda ini
belum lahir, keputusan MK ini sudah harus diapresiasi oleh semua kalangan.
Diperbolehkannya calon perseorangan dalam pilkada akan membawa iklim demokrasi
menjadi lebih baik, dengan tersedianya pilihan yang variatif bagi rakyat untuk
memilih pemimpinnya. “Keterbukaan” ini hampir dapat dipastikan akan semakin
memperluaskan partisipasi publik, memperkuat legitimasi politik, akuntabilitas
pemerintahan, serta mekanisme check and balance.
Putusan MK melegalkan calon perseorangan ini ternyata
berbanding lurus dengan keinginan mayoritas pemilih yang menjadi temuan Lembaga
Survei Indonesia (LSI) pimpinan Saiful Mujani. Bahkan, berdasar hasil survei
yang dilakukan selama 20 hari (1-20 Juli 2007) terhadap 1.300 responden, masyarakat
juga sangat menginginkan adanya calon independen pada pemilihan presiden
(pilpres). Dalam temuannya itu, terungkap sekitar 68,8 persen masyarakat yang
mendukung calon independen pada pilpres, 70,3 persen dalam pemilihan gubernur,
serta 70,3 persen dalam pemilihan bupati/wali kota (Surya, 25/7).
Hebatnya lagi, meskipun sudah memiliki pilihan parpol
dalam pemilu, mayoritas pemilih yang disurvei ternyata tetap menyambut positif
terbukanya pintu bagi calon perseorangan. Sebanyak 79,5 persen pemilih Partai
Amanat Nasional (PAN), disusul Partai Keadilan Sejahtera/PKS (71,4 persen),
Partai Golongan Karya/Golkar (65,9 persen), Partai Demokrat (65,8 persen),
Partai Kebangkitan Bangsa/PKB (63,6 persen), Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan/PDIP (60,5 persen), dan Partai Persatuan Pembangunan/PPP (55,6
persen).
Menurut Saiful Mujani, sentimen positif terhadap calon
perseorangan atau independen bisa muncul dari pengalaman "buruk" yang
dirasakan masyarakat. Pintu pencalonan yang dibatasi hanya oleh parpol secara umum
dirasakan publik sebagai pengekangan terhadap hak-hak politik warga untuk
memilih dan dipilih. Apalagi calon-calon yang dimonopoli parpol cenderung
bekerja kurang baik, yang secara secara otomatis menguatkan dukungan masyarakat
pada gagasan calon independen.
Karena itu, keputusan MK ini bisa dikatakan sebagai
langkah maju dalam mengembalikan kedaulatan secara penuh kepada rakyat dalam
pilkada, yang selama ini telah “disandera” oleh oligarki parpol. Sebab, meski
rakyat dilibatkan dalam perhelatan ini, tetapi berbagai mekanismenya masih
tetap berusat pada hegemoni parpol. Mulai dari tahap penjaringan, pemaparan
visi dan misi, fit and proper test, pelaksanaan pilkada, hingga penetapan
pemenangnya berada di bawah “bayang-bayang” dominasi parpol.
Reformasi Internal
Euforia masyarakat menyambut hangat keputusan MK yang
melegalkan calon independen ini sudah tentu menjadi warning bagi parpol.
Antusiasme masyarakat ini bukan berarti sebagai upaya deparolisasi, melainkan
hanyalah implikasi lanjutan dari rendahnya kualitas hubungan antara elite
parpol dengan masyarakat. Sebab, persatuan antara parpol dan grass root sebagai
syarat pembangunan demokrasi semakin hari semakin sulit terwujudkan dalam
dinamika parpol. Sebaliknya, parpol malah menunjukkan impotensinya sebagai
lembaga penting yang menawal proses demokratisasi Indonesia menuju arah
perbaikan.
Realitas menunjukkan bahwa mayoritas parpol belumlah
menjadi kristalisasi dari kekuatan yang memiliki kesadaran ideologis untuk
memperjuangkan visi dan misi organisasi, kecuali bagi kelompok kepentingan
untuk meraih kekuasaan. Alih-alih parpol mampu mempresentasikan dirinya sebagai
wadah artikulasi publik, justru yang diperlihatkannya adalah ketidakmampuan
untuk mengendalikan hasrat berkuasa. Apa yang diperjuangkan oleh parpol tidak
pernah jauh dari persoalan perebutan kekuasaan, bukan memperjuangkan ekspektasi
rakyat dalam mencapai kemakmuran hidup.
Meminjam analisis Yasraf Amir Piliang (2005), parpol saat
ini sudah terjebak dalam minimalisme politik. Minimalisme politik terbentuk
akibat dari arsitektur politik yang dibangun oleh “'diri minimal'”, yaitu aktor
politik yang bertindak dan berbicara dengan menafikan esensi dan nilai dasar
politik. Diri yang minimal inilah yang justru membangun konsep diri dan
identitas yang minimal di dalam imagologi dan digitalisasi media virtual.
Kibatnya, image yang dibangunnya tidak lagi mempunyai prinsip dasar identitas,
ketetapan, kontinuitas, dan konsistensi.
Minimalisme diri yang dialami oleh aktor-aktor politik
inilah yang membuat ruang publik yang dibangunnya juga berkarakter minimalis.
Semua ruang publik dipandang sebagai entitas yang pragmatis, instan, hedonis,
bahkan materialis, yang semuanya serba minimalis. Menguatnya karakter minimalis
inilah yang membuat parpol bukan sebagai sarana conflict management (pengelola
konflik), melainkan malah menjadi faktor determinan dalam menciptakan,
memperluas, serta meningkatkan bobot konflik. Bukannya menjadi sarana kontrol
sosial, parpol justru menjadi media yang buruk dalam menjalankan fungsinya
sebagai intermediasi kebijakan publik dengan aspirasi rakyat.
Realitas menunjukkan bahwa kebanyakan aktivis parpol
tidak imun terhadap ganasnya virus political myopic, yaitu penyakit mental yang
tidak mampu melihat visi politik jauh ke depan melampaui usianya. Mereka yang
dahulunya dilahirkan dari rahim reformasi untuk memperjuangkan demokrasi yang
memihak khalayak umum, justru terjebak dalam nafsu untuk menggapai hasilnya
dalam jangka pendek. Apa yang diinginkan tentang penyelenggaraan negara yang bersih
dan agenda perubahan lainnya, ternyata hanya lips service yang terletak dalam
retorika belaka.
Sigkatnya, parpol telah gagal berperan sebagai pembangun
dan pengembang demokrasi yang partisipatif (participatory democracy), dengan
kecenderungannya yang mengabaikan kepentingan rayat. Berbagai kebijakan parpol
yang parokhialis inilah yang menjadi faktor determinan tetap buruknya
kepercayaan publik kepada parpol. Mereka yang menguasai pusat kekuasaan justru
tidak segan-segan memanipulasi masyarakat guna memenuhi hasrat biologisnya
sebagai homo homoni lupus. Kewenangan yang dimandatkan kepadanya jarang
dimaknai sebagai “tanggung jawab”, dan justru dijadikan media manipulasi dalam
memenangkan kepentingan diri, kelompok, serta golongannya.
Oleh karena itu, keputusan MK yang membolehkan calon
perseorangan bersaing dalam pilkada ini harus dimaknai parpol sebagai pemicu
untuk memperbaiki kinerjanya sebagai wadah aspirasi rakyat. Sebab, bagaimanapun
buruknya parpol, dalam masyarakat yang beradab masih membutuhkan eksistensinya
sebagai mediator antara masyarakat dengan negara, serta pengelola konflik
kepentingan. Adalah keniscayaan bagi parpol untuk kembali mempertegas posisinya
sebagai pemberdaya aspirasi masyarakat, dengan mulai menanggalkan perilaku
parokhialistiknya yang sektarian.
Keputusan terbaru MK yang harus dijadikan momentum bagi
parpol untuk meeguhkan dirinya sebagai katalisator yang menghubungkan
kepentingan masyarakat dengan kebijakan publik. Sebab, jika parpol tidak segera
melakukan reformasi internal, dikhawatirkan masyarakat akan semakin apatis dan
tidak percaya terhadap kiprahnya dalam membangun bangsa. Jika hal ini sampai
terjadi, maka investasi demokratisasi yang sudah dibangun dengan susah payah
selama ini tentu akan menjadi sia-sia dan kembali berjalan ke belakang.