Esensi Sosial Status Haji Mabrur

Muhammad Kholid Asyadulloh
Santri Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki 1993-1999, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya
SOLOPOS, 22 Agustus 2015



Pada 21 Agustus ini ribuan jemaah calon haji Indonesia secara bergelombang mulai terbang menuju tanah suci Mekkah. Antusiasme kaum Muslim Indonesia dalam menunaikan ibadah haji memang patut diapresiasi karena peminatnya selalu meningkat setiap musim haji. Fenomena ini tentu cukup membanggakan karena semangat beribadah kaum muslimin terlihat begitu tinggi. Mabrur merupakan salah satu predikat terpenting dalam ibadah yang tak terputus untuk menyempurnakan rukun Islam itu setelah syahadat, shalat, zakat, dan puasa.
Dalam nomenklatur Islam, haji secara lughawi berarti keinginan keras menuju suatu tempat yang sangat diagungkan. Sedangkan secara syar'i, haji berarti berangkat ke tempat yang suci untuk melakukan tawaf, sai, wukuf di Arafah, serta seluruh amalan haji lainnya. Mengerjakan haji merupakan kewajiban hamba Muslim yang mampu (istitha'ah) mengadakan perjalanan ke Baitullah (QS Ali Imron/3: 97). Sedangkan mabrur adalah isim maf'ul dari kata barara (barra) yabirru, birran, baarrun, mabrurun. Kata ini sejatinya bermakna melakukan keba­jikan. Kata mabrur dengan demikian ber­makna orang yang senantiasa dipenuhi kebaikan.
Meski orang yang meraih predikat haji mabrur tak dapat diidentifikasi secara pasti, tapi Rasulullah saw pernah menunjukkan beberapa indikator. Di antaranya adalah thibul kalam (baik perkataannya), ith'amu al-tha'am (memberi makan) dan ifsyau al-salam (menyebarkan kedamaian. Perkataan yang baik sudah tentu bukan dalam makna dzahir saja, melainkan juga punya moralitas dan mentalitas yang dipenuhi dengan nilai kebajikan.
Indikator menyediakan makanan secara harfiyah bermakna seseorang menyediakan ma­kanan bagi setiap orang yang memerlukan. Namun, “menebarkan makanan” secara sosial berarti juga upaya seorang haji untuk menyediakan berbagai fasilitas kepada orang-orang lemah (dlu’afa’) dan dilemahkan (mustadz’afin) sehingga bisa mendapat makanan yang layak tanpa pemberian orang lain.  Haji mabrur adalah orang yang punya kepedulian tinggi terhadap persoalan rakyat kecil dengan berjuang memberantas kemiskinan, kelaparan, kebodohan, keterbelakangan, penindasan, kesewenang-wenangan, kezaliman, dan lain-lain.
Sementara ifsyaa as-salam, secara sederhana memang bisa dilakukan dengan mengucap as­salaamu 'alaikum pada orang di sekelilingnya disertai dengan hati yang penuh kedamaian. Namun yang lebih substansial, menebar salah berarti berjuang berjuang menegakkan perdamaian, persaudaraan, keadilan, persamaan dan kebahagiaan dari orang atau institusi yang tirani, anarkis dan feodal. Selain itu, perbuatannya Perbuatannya selalu mengekspresikan keteduhan, kedamaian, dan kejernihan, serta gandrung terhadap perdamaian dan menciptakan kedamaian dimanapun.
Tiga indikator substansial kemabruran ini tentu tidak lepas dari berbagai kewajiban, anjuran, maupun larangan haji yang harus ditaati jemaah. Sama halnya dengan peristiwa keagamaan lain, haji merupakan ibadah yang mengandung makna simbol-metaforis yang merepresentasikan nilai pencerahan Islam. Berbagai ritual haji dipenuhi dengan berbagai simbol semangat kemanusiaan yang luhur dan fundamental.
Pemakaian baju ihram yang serba putih-sederhana serta larangan mengenakan pakaian keseharian mengandung makna yang cukup esensial tentang kebersamaan, kesucian, egalitarianisme, maupun kematian. Pakaian putih-suci mengandung makna kerelaan jemaah untuk menanggalkan segala penghalang (hijab) kedekatan seseorang dengan Tuhannya. Hijab ini bisa saja berbentuk ego, nafsu, harta benda, keserakahan, serta berbagai aksesoris kemewahan duniawi lainnya.
Kesempurnaan
Dengan pemaknaan pakaian ihram diharapkan seorang hamba akan semakin dekat (qariib) dengan Tuhan, yang kemudian dibuktikan dengan sikap pasrah dan tunduk kepada-Nya. Pakaian ihram juga mengajarkan tentang konsep humanisme dan pandangan egalitarianisme, yaitu kesederajatan dan kesamaan manusia di hadapan Tuhan.
Jemaah harus mencopot pakaian kebesaran yang menciptakan ke-"aku"-an berdasarkan ras, suku, warna kulit, eselon kepangkatan, dan lain-lain, dengan digantikan pakaian "ihram" yang sederhana tanpa kaya-miskin, ningrat-jelata, penguasa-rakyat dan status sosial lainnya. Ia menjadi simbol bahwa penghargaan Tuhan terhadap manusia bukan terletak pada atribut keduniaan yang disandang, tetapi seberapa besar komitmen keimanan dan kemanusiaan yang dimiliki.
Dengan berbagai amalan yang wajib, anjuran maupun meninggalkan larangan yang ditetapkan, haji merupakan sarana terbaik dalam upaya mengendalikan ego sebagai manusia. Selama dalam kurun waktu tertentu mereka diharuskan mampu mengekang libido-hedonistik yang mengendam dalam dirinya menuju solidaritas kemanusiaan. Di tengah kondisi apapun, para alumni Mekkah ini selalu punya semangat dan aktivitas untuk memanusiawikan diri sendiri maupun realitas sosial yang bergulindang di sekitarnya.
Dengan demikian, haji sebenarnya bukan sekadar ibadah vertikal antara manusia dan Tuhan (hablun min al-Allah), tetapi juga menekankan harmoni hubungan horizontal antarmanusia (hablun min al-nas). Esensi ritual ini adalah keberanian seseorang untuk melihat, mengevaluasi serta mengkritisi pola kehidupannya, guna merajut keharmonisan hubungan horizontal maupun vertikal. Selain dipenuhi dengan berbagai ritual-formalistik yang baku, sesungguhnya haji juga mengandung pesan meta-syari’ah yang mencerahkan umat manusia dalam kehidupannya.
Penegasan al-Quran yang seringkali menyebut “iman” dan “amal shaleh” secara bersamaan, mengisyaratkan bahwa kesempurnaan Muslim hanya bisa dicapai saat keyakinan digabungkan dengan pembelaan atas kepentingan kemanusiaan. Sehingga peristiwa keagamaan apapun, tak terkecuali haji, adalah ritual yang secara metaforis mengajarkan pentingnya menkonfrontasikan realitas dengan normativitas teks suci secara berkesetaraan.
Gambaran mabrur secara fiqhiyah memang berupa kesempurnaan para jemaah haji dalam melaksanakan berbagai manasik haji. Namun, makna substansial sebagai kaum beriman, kemabruran juga terpancar dan terwujud dalam perilaku keseharian setelah kembali ke Tanah Air. Aktualisasi kemabruran terpancar dari kesehariannya yang lebih baik dari sebelum ia berangkat ke Tanah Suci, jangkauan amal ibadahnya jauh ke depan, serta memiliki nilai kemanusiaan. Allahu a’lam bi al-Shawab.