Muhammad Kholid Asyadulloh
Pemred Majalah MATAN
PW Muhammadiyah Jatim
SINDO, 2 Juni 2012
Tanggal 1 Juni
selalu dikenang bangsa Indonesia sebagai hari lahirnya dasar negara Indonesia,
Pancasila. Jika dicermati dari penempatan urut-urutan ideologi bangsa itu,
terlihat jelas bahwa nilai-nilai teistis (keagamaan) telah terumuskan secara
jelas dalam sila Ketuhanan yang Maha Esa. Implementasi empat sila selanjutnya
tentu bukanlah berdiri sendiri, tetapi juga berkait erat dengan pesan ketuhanan
yang termaktub dalam sila pertama.
Jika boleh
disimplifikasikan, nilai-nilai agama (Islam) sudah terangkum secara tepat di
dalam Pancasila. Secara teoritis-filosofis, kelima dasar tersebut telah
menjamin tegaknya sendi-sendi agama (maqashid al-syari’ah) untuk
memelihara kelangsungan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup. Secara teoritis, kepemimpinan model Pancasila seharusnya
mampu memancarkan sinaran etik-moral bagi kerja perubahan di masyarakat dalam
mewujudkan kebaikan kualitatif dan kuantitatif.
Tidak heran jika M.
Natsir, yang kemudian dielaborasi oleh A.M. Fatwa, Pancasila yang menjadi dasar
negara Indonesia merupakan penjelmaan nilai-nilai teistik. Yaitu sebuah sistem
yang mampu mengawinkan dan mengaitkan sistem sekuler dengan nilai-nilai agama.
Tidak ada satu sila pun dari Pancasila yang secara konseptual bertentangan
dengan agama, bahkan keduanya memiliki substansi yang sama dalam memandang
realitas sosial-kemasyarakatan.
Sayangnya,
nilai-nilai teistis yang dikandung Pancasila itu masih jauh dari realitas
keseharian berbangsa dan bernegara. Alih-alih terjadi ragam perbaikan, justru
yang muncul adalah ragam kasus anomali yang bisa dilihat secara kasat mata.
Bukanlah perkara yang sulit untuk menemukan borok peradaban semacam korupsi,
kolusi, nepotisme, penyalahgunaan kekuasaan dalam berbagai derivasinya,
pelanggaran hak asasi manusia (HAM), perusakan lingkungan, kekerasan, dan
kriminalitas.
Realitas yang muncul
justru jauh dari nilai-nilai teistis, yang ironisnya, menggurita dalam aspek
sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. Tidak sedikit elit negeri ini yang
seharusnya menjadi teladan bagi rakyatnya justru terjangkiti penyakit
kemunafikan akut dengan kecanggihan untuk berkilah dan bersikap defensif dari
tanggung jawab, serta kelihaian dalam mengalihkan pokok persoalan. Sifat
predatorian sebagai makhluk ekonomis lebih mengemuka dibandingkan dengan
nuraninya sebagai wali amanat, utusan rakyat, maupun pelindung rakyat. Ketika
sebagian besar rakyat sedang menghadapi berbagai permasalahan sosial yang
bertubi-tubi tanpa henti, mereka justru berlomba-lomba meraih keuntungan pribadi.
Fakta perpolitikan
nasional memang “ramah” terhadap sikap mencari kekuasaan sebagai tujuan utama
daripada pembelaan rakyat. Pada gilirannya, sikap inilah yang melahirkan
perilaku yang senantiasa mengkonsentrasikan diri pada upaya memenangkan kepentingan
primordialisme dengan segala cara, termasuk memanipulasi rakyat! Model
kepemimpinan yang menunjukkan kesungguhan memikul tanggung jawab masih belum
teruji secara materiil di hadapan rakyat.
Artinya, tidak
sedikit pemimpin bangsa ini yang dalam dalam ucapannya selalu
mengagung-agungkan Pancasila, tapi pada saat bersamaan justru melecehkannya. Teori
Pancasila begitu manis diucapkan, tetapi hampir tidak bersentuhan langsung
dalam praktik kehidupan berbangsa dan
bernegara. Tak heran jika Kunto Wibisono (2001) pernah menyindiri bahwa
Pancasila selama ini hanya dijadikan “sebagai serangkaian terminologi dan
phraselogi yang bobot dan tekanannya lebih diarahkan sebagai media politik”.
Bertepatan dengan
peringatan lahirnya Pancasila ke-67 tahun, adalah tepat jika bangsa ini kembali
menggali nilai-nilai teisme Pancasila untuk diimplementasikan dalam
kepemimpinan nasional. Dalam Islam, kepemimpinan adalah entitas
profan yang tidak bisa dipisahkan dari unsur sakralitas. Kepemimpinan adalah
wadah perjuangan yang harus diisi dengan berbagai amalan bagi tegaknya
nilai-nilai Ilahiah, bersanding dengan nilai-nilai kemanusiaan. Imam Al-Mawardi
mendefinisikan tugas utama kepemimpinan adalah meneruskan misi kenabian dalam memelihara
agama serta memberikan kesejahteraan pada warga.
Dalam Islam, prasyarat
utama bagi kepemimpinan teistik adalah kepribadian al-Amien, orang yang
dipercaya atau terpercaya untuk memecahkan persoalan. Untuk melihat amanah atau
tidaknya seorang pemimpin, hal ini bisa dilalui dengan melihat tiga indikator kemunafikan.
Dalam sebuah Hadits muttafa ‘alaih, Nabi menjelaskan ketiganya: jika
berkata bohong, berkhianat ketika diberi kepercayaan, serta ingkar jika
berjanji. Dengan demikian, karakter amanah dapat dibentuk oleh tiga sikap,
yaitu berkata jujur dan benar, memenuhi kewajiban, serta menghormati dan
memenuhi janji.
Sudah tentu untuk
menghasilkan kepemimpinan yang melandaskan pada teisisme bukanlah perkara
mudah. Selain karena pembiakannya harus tumbuh dari dalam dengan kesadaran
sendiri, kemunculannya juga tidak membutuhkan pengawasan eksternal. Implementasi
nilai teistis bisa dilakukan jika seorang pemimpin benar-benar memfungsikan
nuraninya sebagai “pengayom” rakyat, sehingga ada dorongan untuk melakukan
internalisasi nilai-nilai teistis yang agung.
Bagi pemimpin
teistis, agama didayagunakan sebagai salah satu solusi dalam mengatasi berbagai
permasalahan, bukan alat melanggengkan kekuasaan dan legitimasi kepentingaan
kelompok. Para pemimpin harus mampu mengembangkan kesadaran Ilahiah yang menembus batas-batas
etnis, budaya, agama, serta struktur sosial lainnya. Etika moral dasar pemimpin
adalah mendengar suara rakyat, memegangnya secara teguh, dan kesehariannya
tidak boleh lepas dari sinar keadilan, keberadaban, demokrasi, dan
kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian,
praktik politik bukanlah proses sebagaimana yang dimaknai Harold Lasswell;
siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana. Sebab, kepemimpinan teistik adalah
derivasi tugas-tugas kenabian yang tanggung jawabnya bukan saja memajukan
kehidupan rakyat, tapi juga memberi contoh hidup bersih dan terhormat. Sebuah
kepemimpinan yang mampu mentransendenkan diri dari kepentingan-kepentingan
formalistik, legalistik, dan ekslusif, dengan lebih berusaha mencapai
kepentingan-kepentingan yang substantif, integratif, dan inklusif. Allah
a’lam bi al-shawab.